Filosofi Sarung

9,193 kali dibaca

Pada zaman baheula, setidaknya saat saya masih nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, era 1980-an, sarung menjadi identitas dan entitas para santri. Saat itu, bisa dikatakan jarang atau tidak ada santri yang beraktivitas tanpa menggunakan sarung. Apalagi kalau mau berangkat ke sekolah. Dapat dipastikan semua santri memakai sarung. Celana hanya dipakai pada saat olah raga, pramuka, dan ketika ada ujian dari Departemen Agama.

Sarung adalah khas pakaian (bawah) Nusantara, khususnya Madura. Di pulau garam ini, dalam setiap aktivitas selalu memakai sarung. Dari kegiatan formal, semisal menghadiri undangan, maupun aktivitas keseharian, umpama membajak sawah atau mencangkul di ladang. Masyarakat Pulau Madura ini tidak akan lepas dari sarung. Biasanya pada saat bekerja, keberadaan sarung hanya nempel di badan, diikat di pinggang atau diselempang di bahu.

Advertisements

Sebenarnya, sarung bukan hanya milik orang Madura atau Jawa. Di daerah lainnya, seperti di Sunda, Aceh, dan lainnya juga memakai sarung, meski dengan atribut penggunaan yang berbeda. Itu artinya, di Indonesia sarung bukan sesuatu yang baru, namun telah menjadi ciri khas suatu bangsa.

Entitas Fisik

Dalam suatu keterangan, sejarah keberadaan sarung dimulai sejak abad ke-14, dibawa oleh pedagang Arab dan India (artikel Ariska PA, di Kompas, 10/08/2018). Sejak saat itu identitas sarung menjadi entitas keseharian orang Indonesai. Dalam setiap gerak aktivitas masyarakat tidak lepas dengan pakaian yang sangat sederhana ini.

Secara fisik, sarung merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua sisinya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Ini adalah arti dasar dari sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Dalam pengertian busana internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah).

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, lahirlah model sarung yang berbentuk celana (celana sarung) yang dipopulerkan oleh Ustadz Bukhari/Uje (alm). Sarung model ini sudah ada, namun keberadaannya belum dapat mengalahkan model sarung yang sebelumnya. Model tradisional tanpa adanya jahitan yang jlimet, resliting, ikat pinggang, dan atau buah kancing.

Filosofi Sarung

Santri, yaitu mereka yang belajar di pesantren —dulu disebut kepesantrenan— memiliki ciri dan kekhasan, yaitu memakai sarung. Saat saya masih mondok (ungkapan lain belajar di pesantren), masih menggunakan sarung dan tabu (tapi sudah mulai diterima) untuk memakai celana. Bahkan, pada saat liburan dan pulang ke rumah, memakai sarung merupakan identitas yang tak terpisahkan dengan santri.

Saat ini, pemakaian sarung sudah mulai berkurang. Ketika berkunjung ke pesantren saya (Pesantren Annuqayah, Sumenep), saya melihat santri yang belajar formal sudah tidak nampak ada yang memakai sarung. Tetapi, kalau ke masjid, salat lima waktu, masih setia dengan penggunaan sarung.

Realitasnya, sarung adalah alat untuk menutup, di samping sebagai penghangat ketika musim dingin. Sementara, dalam ajaran Islam ada kewajiban menutup aurat, yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Aurat laki-laki dari pusar sampai lutut. Sedangkan, untuk perempuan seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Mungkin saja ada ikhtilaful ulama dalam teknis menutup aurat. Tetapi, ajaran Islam tentang menutup aurat ini sudah pasti dan jelas.

Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita, apabila telah baligh (mengalami haid), tidak layak tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan telapak tangannya).” (HR Abu Dawud)

Sementara melalui perkataan Syaikh al-Albâni dalam kitabnya Irwâ’ 1/297-298, dan Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah Nomor 2252, dijelaskan bahwa aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Meski terdapat kelemahan sanad dari beberapa hadits yang ada, namun antara satu dengan lainnya saling menguatkan. Sehingga, hadits tentang aurat laki-laki dapat dihujjahkan dari pusar sampai lutut.

Adapun, filosofi yang mungkin dapat dijadikan telaah keabsahan logika, di antaranya adalah, pertama, bahwa sarung merupakan pakaian yang sangat longgar. Itu artinya, kita harus selalu berusaha memberi ruang kebaikan kepada orang lain demi terjadinya sifat dan sikap takwa kepada Allah Swt.

Kedua, sarung tidak terikat dengan ikat pinggang, resleting, dan buah kancing. Ini menjadi filosofi bagi kita bahwa kita harus melepas ikatan-ikatan rasa tamak, takabur, dan sifat negatif lainnya.

Ketiga, sarung dapat dijadikan berbagai kemanfaatan. Seperti untuk menutup aurat, mengusir rasa dingin (selimut), sebagai alas duduk, bahkan dapat dijadikan sebagai penutup kepala di kala panas matahari. Itu artinya, kita harus menjadi seseorang yang siap ditempatkan di mana saja. Mampu memberikan manfaat kepada siapa saja, serta dapat berperan sebagai apa pun (yang bernilai positif) di tengah kehidupan bermasyarakat.

Itulah tiga filosofi sarung yang dapat dijadikan pelajaran demi kehidupan yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Filosofi sarung hanya sebagai pembanding dalam memberikan kemanfaatan. Dan yang terpenting adalah, bahwa karakter individu perlu pemahaman yang baik dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Perlawanan Budaya

Sarung adalah, juga, sebagai identitas budaya suatu bangsa. Sebagai budaya yang perlu dilestarikan dan dirawat agar tidak tergerus oleh arus perjalanan zaman. Meskipun, sarung bukan ajaran Islam, namun identitas ini menjadi karakter yang telah mengakar dalam perjalanan sejarah bangsa. Oleh karena itu, melestarikan budaya merupakan tindakan arif dan bijak demi marwah dan martabat bangsa.

Pada zaman penjajahan, sarung identik dengan perjuangan melawan penjajah. Sarung juga identik dengan kaum santri. Sementara kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan sarung. Salah satu pejuang yang konsisten memakai sarung adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang ulama penting dalam Nahdhatul Ulama (NU).

Pada suatu waktu, KH Abdul Wahab Hasbullah dipanggil ke istana oleh Presiden Sukarno. Menurut protokol istana, tamu yang datang harus memakai jas dan celana. Sementara, KH Abdul Wahab Hasbullah memakai jas, tapi masih menggunakan sarung, bukan celana sebagaimana layaknya. Hal ini menunjukkan bahwa KH Wahab konsisten melakukan perlawanan terhadap budaya Barat. Biar penjajah tahu bahwa perlawanan terhadapnya bahkan dalam hal berpakaian.

Bukan berarti KH Abdul Wahab Hasbullah mengharamkan penggunaan celana. Tetapi, sebagai entitas perlawanan terhadap penjajah dan budaya Barat, sekaligus melestarikan identitas bangsa yang menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai karakter yang tidak dapat dikebiri begitu saja. Hal yang seperti ini perlu kita pertahankan demi tegaknya harkat dan martabat bangsa.

Lain halnya dengan Kiai M Faizi dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Sarung, Madura, dan Inferioritas”. Beliau pernah mengalami hal yang kurang berkenan sehubungan dengan sarung. Dalam keseharian, penyair dan pimpinan Pondok Pesantren Annuqayah ini identik dengan sarung. Ke mana pun Beliau pergi, termasuk acara formal sekalipun, selalu mengenakan sarung. Suatu ketika ada temannya yang —mungkin— mau berkelakar mengatakan, “Lho ada yang khitan tah, kok pakai sarung?” Hal ini dipandang sebagai kritik sarkastik karena Beliau sudah dewasa. Maka, berkenaan dengan sarung, menurut M Faizi, sampai terjadi pada hal yang inferior sekalipun.

Sarung bukan berasal ajaran Islam, itu sudah pasti. Dalam Islam tidak ada kewajiban memakai sarung sebagaimana yang biasa kita gunakan. Namun, menutup aurat merupakan salah satu kewajiban dalam Islam. Dan sarung adalah salah satu alat yang dapat digunakan sebagai penutup aurat.

Memakai sarung sudah absah untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Tetapi perlu diingat, bahwa sarung dapat dibuat dengan bahan yang sangat tipis. Bahan sarung yang transparan, tembus pandang, tidak mencukupi untuk dikatakan sebagai penutup aurat. Oleh karena itu, kita wajib memakai sarung yang dapat menutupi aurat dengan segala bentuk syarinya. Diperoleh dengan cara halal, tidak untuk bermewah-mewahan, dan digunakan dalam kemaslahatan (halal).

Santri, sarung, dan entitas budaya merupakan keragaman dalam kehidupan. Akan lebih arif dan bijak, jika apa yang kita pakai dapat memberikan ruang kemaslahatan. Santri memakai sarung merupakan suatu keniscayaan. Sedangkan, keniscayaan lainnya adalah santri memakai celana. Tidak ada kelebihan di antara keduanya di sisi Allah Swt, kecuali niat dan takwanya. Semoga kita termasuk dalam koridor niatan yang baik dan ketakwaan yang terbaik. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan