Emak, Nasi Goreng Bawang, dan Sekelebat Ingatannya

766 kali dibaca

“Buat apa kalian berkumpul, mau minta warisan? Kalian ‘kan tahu, Emak tak punya apa-apa.”

Kedua bola mata Emak berkaca-kaca. Ada samudera bening menggantung di sudut matanya. Aku masih mematung di pinggir pintu kayu, menunggu bulir itu jatuh. Sementara dadaku menahan gemuruh. Sepiring nasi di hadapannya tak disentuhnya sama sekali. 

Advertisements

“Apakah menunggu Emak meninggal dulu, baru kalian mau menjenguk Emak?”

Ucapan Emak makin membuat dadaku sesak. Aku tak berniat menjawabnya, karena bila sudah seperti ini, Emak pasti tak ingin dibantah. Sementara di ruang tamu, ketiga abangku juga berkumpul. Ya, aku, Bang Ali, Bang Bambang, dan Bang Cahyo sama-sama pulang saat mendengar kabar Emak sudah tua dan sakit-sakitan.

Aku pun diutus ketiga abangku untuk membujuk Emak, karena memang akulah anak kesayangannya. Bukannya membeda-bedakan anak, hanya saja karena aku anak terakhir, jadi Emak sedikit memanjakanku. Namun, Emak tetap sayang dengan kami semua.

Semasa kecil kami hanya tinggal bersama Emak. Bapak menikah lagi dengan janda kaya saat usiaku baru tiga tahun. Kehidupan kami sangat memprihatinkan, apalagi Emak harus merangkap menjadi ibu sekaligus bapak. Penghasilannya sebagai buruh di ladang orang hanya cukup untuk makan dan uang sekolah kami berempat. Beruntung, aku dan ketiga abangku bisa tamat SMA berkat kerja keras Emak.

Kini, Emak sedang marah. Namun, marahnya bukan karena kami nakal atau tak mau dinasihati seperti dulu, tetapi karena Emak merasa ditelantarkan oleh anak-anaknya. Emak memang hanya tinggal sendirian. Meski memiliki empat putra, satu per satu anak Emak pergi merantau. Ketiga abangku telah berkeluarga, sementara aku sebentar lagi juga akan menikah. Kesibukan pekerjaan telah membuat kami jarang mengunjungi Emak.

Atas berbagai bujukan dan permohonan, lama-kelamaan akhirnya Emak pun mau menerima kami berempat di rumahnya. Aku menyuapinya kemudian menemani Emak tidur. Kutatap lekat-lekat guratan di wajahnya yang sangat kentara. Sebagian rambutnya pun telah beruban. Betapa waktu begitu cepat berlalu. Emak sudah renta. Rasanya baru kemarin Emak memaksa Bang Ali meminum beras kencur agar bisa nafsu makan, memarahi Bang Bambang saat pulang main dengan kondisi baju kotor, atau mengajari Bang Cahyo yang sulit memahami hitung-hitungan. Kalau diriku hanya bisa tertawa cekikikan melihat mereka dimarahi. Aku jarang sekali mendapat omelan Emak, karena aku tidak pernah membantah ucapannya dan paling rajin dibandingkan ketiga abangku. Ah, betapa aku merindukan masa-masa itu.

***

Pagi-pagi sekali, asap dapur menelusup hidung hingga membangkunkanku dari lelap. Sementara di samping kanan dan kiriku, ketiga abangku masih mendekur pulas. Kami tidur di ruang tamu dengan menggelar tikar, berhubung hanya tersedia satu kamar tidur, yaitu kamar Emak. Segera aku menuju dapur untuk memastikan apa yang terjadi. Dalam kesejukan Subuh, kulihat Emak sudah berkutat di sana. Menghadap tungku kayu untuk menjaga agar apinya tetap terjaga sekaligus mengupas bawang. Aku pun menghampirinya, takut terjadi apa-apa dengan Emak.

Hei, Don, sudah bangun rupanya. Memang, kau ini anak Emak yang paling rajin di antara abang-abang kau itu,” ujar Emak semringah setibanya aku di dapur. Emak menghampiri dan mengelus rambutku yang masih berantakan.

Ada sedikit kelegaan dalam diriku, melihat Emak sudah sehat dan tidak murung lagi. Emak meracik bumbu dengan cekatan, sementara aku hanya duduk di kursi kayu tua sembari melihat tingkahnya yang masih sama seperti dulu. Ah, lagi-lagi aku merindukan masa kecilku. Betapa aku ingin kembali pada masa itu. Apalagi aroma dapur Emak yang masih tetap sama: bau asap dapur yang menyeruak disertai aroma nasi goreng bawang buatannya.

“Jangan melamun kau. Mandi sana, nanti terlambat sekolahnya!” Tiba-tiba Emak membangunkan lamunanku.

Dahiku mengernyit heran.

“Mandi sana! Mulai bandel sekarang, ya. Jangan kau tiru abang kau si Bambang yang pemalas itu,” suara Emak makin meninggi. Di belakang, Bang Ali, Bang Bambang, dan Bang Cahyo menyusulku.

“Ada apa ini rame-rame?” tanya Bang Ali.

“Adik kau si Doni ini, Emak suruh mandi malah diam saja. Nanti kalau terlambat sekolah nangis. Kalian bertiga juga, cepat mandi biar bisa gantian…!” tegas Emak yang makin membuatku bingung.

Seketika suasana hening. Aku dan ketiga abangku saling pandang. Berbagai tanya berloncatan dalam benakku: ada apa dengan Emak? Sesaat kemudian, Bang Ali menyuruh adik-adiknya menuruti saja perintah Emak. Kami pun mandi secara bergantian. Sama persis seperti dulu saat kami masih kecil, tapi bedanya sekarang sudah tidak berebut kamar mandi lagi.

Usai mandi, Emak menyuruh kami berempat berkumpul di meja makan. Kami duduk berurutan. Tidak ada yang mengerti mengapa Emak bertingkah seperti itu.

“Makan kalian…! Emak sudah susah-susah masak, sarapannya harus dihabiskan,” tegas Emak lagi.

Di tangannya sepiring nasi goreng bawang dibawanya. Dulu, nasi goreng itulah yang mengganjal perut kami berempat sebelum berangkat sekolah. Nasi goreng berbumbu seadanya, tanpa kecap, tanpa sosis, bahkan tanpa telur. Rasanya biasa saja, tentu akan kalah dengan nasi goreng yang dijual di restoran atau bahkan nasi goreng pinggir jalan. Namun, kenangannya yang membuat nasi goreng bawang buatan Emak bernilai mahal.

Di meja makan ini pula, semua anak-anaknya merasakan pahit dan manisnya tuah nasihat tanpa koma. Di sela-sela makan, petuah bertubi-tubi datang dan menghujam gendang telinga. Memeras air mata dan membuat dahi terus berkerut. Sampai lupa cara mengunyah gizi makanan yang harusnya berjalan riang di meja makan.[1]

Emak belum berubah sama sekali. Emak memang kerap berbicara dengan nada tinggi, seolah membentak. Namun, bukan berarti Emak tidak sayang pada kami. Cerewetnya adalah bentuk kasih sayangnya dan kami menyadari akan hal itu.

Emak langsung menyuapi kami secara bergantian. Bermula dari Bang Ali dan berlanjut hingga diriku, kemudian kembali ke Bang Ali lagi. Tidak ada yang membantah sama sekali. Hitung-hitung untuk membuat hati Emak bahagia. Kami pun bisa bernostalgia kembali dengan masa kecil.

Aku tidak salah lagi, dapat kupastikan Emak sudah pikun dan menganggap kami masih kecil. Batinku perih sekali melihat kondisi Emak yang seperti ini. Ketiga abangku pasti juga telah menyadari, bahwa ingatan Emak mulai terganggu. Bang Ali dan Bang Bambang menunduk saat disuapi. Sementara Bang Cahyo mengunyah sambil menangis sesenggukan. Memang, sedari dulu Bang Cahyo adalah anak Emak paling cengeng.

“Kenapa menangis? Nilai ulangan Matematikamu dapat empat lagi?” tanya Emak.

Bang Cahyo tidak menjawab. Aku pun langsung menyenggol lengannya agar berhenti menangis.

“Ali, jangan susah makan. Lihat adikmu si Bambang, badannya gemuk dan sehat. Tapi kau yang paling tua, malah kerempeng seperti ini,” lanjut celoteh Emak.

Siangnya, Emak tertidur pulas di kamarnya. Mungkin karena lelah menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Sedangkan aku, Bang Ali, dan Bang Cahyo berunding untuk siapa yang akan merawat Emak. Sebab, kondisi Emak sudah tidak memungkinkan bila harus ditinggal sendirian di sini. Namun, tiba-tiba Emak bangun dan ke luar kamar.

Nah, bagus itu, kalian belajar bareng-bareng. Doni, ajari abang-abangmu Matematika, ya. Kalau Emak cuma bisa penjumlahan dan pengurangan saja, kalau kau ‘kan bisa yang lain juga.”

Aku hanya bisa mengangguk pasrah mendengar titah Emak. Bagimana pun ia sudah pikun, ingatannya hanya seputar masa kecil kami. Sesaat kemudian Bang Bambang datang dengan tergopoh-gopoh. Kepergiannya untuk membelikan makan untuk kami semua, agar Emak tak perlu repot-repot masak lagi.

Emak pun langsung menyambar, “Kau ini, ya, sudah dibilangin jangan jajan terus. Emak sudah tidak punya uang lagi kalau uangnya buat jajan sebanyak itu. Besok uang jajanmu Emak potong. Ingat itu…!”

***

Esoknya, aku berencana membawa Emak untuk tinggal bersamaku. Bukannya abangku yang lain enggan merawat Emak, tapi karena hanya dengan akulah Emak mau menurut. Saat segalanya sudah dipersiapkan, kami pun bersama-sama masuk ke kamar Emak untuk mengabarkan rencana itu.

     Sesampainya di kamar Emak, ia terbaring lemah di atas dipan kayu beralaskan tikar pandan yang sebenarnya sudah tidak layak. Bang Cahyo yang lebih dulu masuk tiba-tiba berteriak memanggil nama Emak. Wajah Emak memucat dan matanya sayu. Kondisinya memburuk lagi. Bang Ali segera menyuruh adik-adiknya mengangkat tubuh Emak ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Namun, tiba-tiba tangan Emak menepis lenganku. Sepertinya ia tak ingin dibawa ke rumah sakit.

Bibir Emak bergetar. Seperti ada yang ingin ia katakan. Kami pun menunggu.                                                         

“Ali, jaga adik-adik kau, ya. Bambang, jangan bandel lagi nyuri mangga di halaman rumah Haji Sarman. Cahyo, belajar yang pintar biar juara kelas seperti adikmu…,” suara Emak memarau. Sudut matanya meneteskan air mata. Bang Ali yang berada paling dekat dengan Emak, mengusap lembut dahi Emak.

“Dan kau Doni…,” ucapannya terputus lagi. “Kau anak Emak yang paling nurut. Jaga persaudaraan dengan abang-abangmu. Anak-anak Emak harus tetap akur.”

“Maafkan kami, Mak…,” air mata kami sama-sama berderai.

Kami berempat menangis merutuki diri sendiri yang sudah tega menelantarkan Emak selama ini. Aku yang menggenggam telapak tangan Emak, tiba-tiba merasakan tangannya kian tak berdaya. Rasa cemas pun melanda. Deru napas dari hidung Emak tak tampak, nadinya pun sudah tak berdetak. Aku mulai menyadari bahwa Emak telah tiada. Ucapan maaf terus terucap. Kucium kaki legamnya berkali-kali, yang konon menyimpan surga di bawahnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan