“Buat apa kalian berkumpul, mau minta warisan? Kalian ‘kan tahu, Emak tak punya apa-apa.”
Kedua bola mata Emak berkaca-kaca. Ada samudera bening menggantung di sudut matanya. Aku masih mematung di pinggir pintu kayu, menunggu bulir itu jatuh. Sementara dadaku menahan gemuruh. Sepiring nasi di hadapannya tak disentuhnya sama sekali.
“Apakah menunggu Emak meninggal dulu, baru kalian mau menjenguk Emak?”
Ucapan Emak makin membuat dadaku sesak. Aku tak berniat menjawabnya, karena bila sudah seperti ini, Emak pasti tak ingin dibantah. Sementara di ruang tamu, ketiga abangku juga berkumpul. Ya, aku, Bang Ali, Bang Bambang, dan Bang Cahyo sama-sama pulang saat mendengar kabar Emak sudah tua dan sakit-sakitan.
Aku pun diutus ketiga abangku untuk membujuk Emak, karena memang akulah anak kesayangannya. Bukannya membeda-bedakan anak, hanya saja karena aku anak terakhir, jadi Emak sedikit memanjakanku. Namun, Emak tetap sayang dengan kami semua.
Semasa kecil kami hanya tinggal bersama Emak. Bapak menikah lagi dengan janda kaya saat usiaku baru tiga tahun. Kehidupan kami sangat memprihatinkan, apalagi Emak harus merangkap menjadi ibu sekaligus bapak. Penghasilannya sebagai buruh di ladang orang hanya cukup untuk makan dan uang sekolah kami berempat. Beruntung, aku dan ketiga abangku bisa tamat SMA berkat kerja keras Emak.
Kini, Emak sedang marah. Namun, marahnya bukan karena kami nakal atau tak mau dinasihati seperti dulu, tetapi karena Emak merasa ditelantarkan oleh anak-anaknya. Emak memang hanya tinggal sendirian. Meski memiliki empat putra, satu per satu anak Emak pergi merantau. Ketiga abangku telah berkeluarga, sementara aku sebentar lagi juga akan menikah. Kesibukan pekerjaan telah membuat kami jarang mengunjungi Emak.