Dua Titipan Mbah

1,767 kali dibaca

Langit masih pekat. Mbah Usup, laki-laki setengah abad, itu bangun menuju dapur kemudian meletakkan panci yang berisi air segelas ke atas kompor. Setelah api menyala, lelaki separo baya itu menuju musala peninggalan leluhurnya yang berada di depan rumahnya. Kebiasaan Mbah Usup adalah membersihkan Musala Al-Mudzakir sebelum dipakai salat subuh. Kali ini, Musala Al-Mudzakir berantakan karena kemarin malam ada orang, yang diduga maling, masuk. Tumpukan bangku TPA berserakan dan kapet-karpet menggunung di pojokan.

Dengan sisa-sisa tenaga, Mbah Usup mengangkat satu per satu bangku-bangku itu lalu disusun rapi di bagian musala. Usai menggulung karpet yang beserakan, Mbah Usup menuju pojokan utara belakang ruang musala. Di sana ada gundukan karpet. Ketika dibongkar untuk dirapikan, terlihat orang yang tergeletak terbujur di antara karpet.

Advertisements

“Astagfirullah, Mbah Tri… Mbah Tri…,” Mbah Usup memanggil istrinya dengan nada histeris. Mbah Faiq, istri Mbah Usup, pun berlari ke arah musala.

“Ada apa Mbah Kung? Mbah Kung tidak apa-apa?”

“Aku tak apa-apa, ini ada mayat atau orang pingsan!” Tangan Mbah Usup menunjuk gundukan kapet.

“Astagfirullahaladzim… Astagfirullahaladzim…. Lekas panggil RT atau polisi Mbah! Ini gawat!”

“Sebentar, lihat Mbah Tri! Ia masih bernapas. Ambilkan minyak angin dan teh hangat.”

Seketika Mbah Faiq melangkah ke rumah untuk mengambil teh. Sementara Mbah Usup membongkar tumpukan karpet yang mengubur tubuh membujur itu. Setelah Mbah Faiq menyerahkan minyak angin, dioleskanlah minyak itu di perut dan hidungnya kemudian tersadarlah ia.

“Alhamduliilah kamu sadar.” Kata itu keluar dari mulut Mbah Usup yang teriringi senyum.

Orang itu siuman dengan wajah kaget serta ketakuan. Ia hendak membangunkan tubuhnya dan hendak meninggalkan musala.

“Tenanglah, jangan terburu-buru. Tunggu kondisimu pulih. Minumlah dulu teh hangat ini! Siapa namamu, Mas?” Mendengar perkataan lembut Mbah Usup, hati Slamet menjadi tenang.

“Slamet, Mbah.”

Tangan Mbah Faiq menarik tangan Mbah Usup. Tarikan itu mengisyaratkan untuk mengajakak Mbah Usup bicara empat mata di tempat yang tidak terdengar oleh Slamet.

“Mbah Kung, itu mungkin maling yang kemarin malam dikejar-kejar sama masyarakat.”

“Kan masih mungkin, kalau bukan bagaimana? Bukankah nanti akan timbul fitnah?”

“Tapi lihatlah wajahnya ketakutan ketika kita menemukannnya.”

“Sudahlah kita khusnudzon dulu. Lagi pula kita belum punya bukti bahwa dia maling yang dikejar-kejar kemarin malam. Sudah, tak perlu menggibahkan anak muda itu, lebih baik kamu masak buat sarapan.”

Tangan Mbah Usup membawa kopi, ubi goreng, dan sebungkus rokok. Langkahnya menuju musala. Telihat Slamet sedang menikmati teh hangat. Dilemparkan salam kepada Slamet.

“Assalamuaikum, Mas.”

“Waalaikusalam, mohon maaf Mbah. Saya izin bermalam di musala ini.”

“Ya Mas, ini rumah Allah. Siapa saja boleh berkunjung ke sini.  Silakan nikmati ubi dan rokoknya,” tawar Mbah Usup kepada Slamet.

“Saya, Mbah Usup, yang merawat musala Al-Mudzakir.”

“Mohon maaf, saya izin menginap di musala sini. Kemarin malam saya dikejar massa. Saya mohon perlindungan Mbah, jangan diserahkan kepada mereka,” ujar Slamet penuh iba kepada Mbah Usup

Mbah Usup tercengang. Tidak menyangka orang yang bersembunyi adalah orang yang dikerjar orang-orang kemarin malam. Slamet terus bercerita tentang kejadian yang membuatnya ia gelap mata. Ia lapar, makanya sampai berniat menggondol motor yang terpakir di depan ruko. Baru mendekati motor yang diincar, ia diteriaki maling oleh seseorang. Akhirnya, Slamet memutuskan berlari tak tentu arah hingga ia masuk ke Musala As-Salam. Karena dirasa kurang aman, akhirnya ia pindah ke tempat yang agak jauh hingga akhirnya sampai Musala Al-Mudzakir di desa Sumberasri.

***

Semenjak Slamet tinggal di Musala Al-Mudzakir, semua terlihat rapi. Walaupun kondisinya sederhana, tangan Slamet mampu membuat Musala Al-Mudzakir bersih tertata.

“Kamu rajin Met, anak-anak juga suka kamu ajar.”

“Ini berkat bimbingan Mbah.”

***

Sudah sepuluh tahun lebih Slamet tinggal di Musala Al-Mudzakir sebagai marbot. Di kala senggang, Slamet mengisinya dengan menimba ilmu agama kepada Mbah Usup. Mbah Usup memang seorang kiai desa, tetapi keilmuannya mumpuni karena ia sangat suka membaca berbagai kitab. Mbah Usup juga sering bertukar pemikiran dengan kiai dan dus-gus di Pondok Miftahul Mubtadiin Krempyang untuk menambah ketajaman ilmunya.

“Hari ini aku mau menjemput Wasik, karena pengabdiannya di Pondok Al-Hikmah Purwoasri telah berakhir. Kamu ikut ya, Met?”

“Ya, Mbah.”

Wasik adalah anak bungsu Mbah Usup. Sejak MI, Ia mondok di Al-Hikmah, salah satu pesantren besar di Kediri. Sekarang Wasik tumbuh menjadi wanita yang cantik. Selain mondok, ia juga kuliah di IAIN Kediri. Banyak orang yang sudah melamar Wasik, tetapi belum ada yang mampu mendapatkan hati Wasik atau sesuai dengan kriteria Mbah Usup.

***

Setelah berpamitan dengan Kiai Nashir, Pengasuh Pesantren Al-Hikmah, akhirnya Wasik diboyong pulang. Di dalam mobil, Mbah Usup membuka pembicaraan.

“Wasik, aku sangat bangga sekarang kamu sudah menyelasaikan pengabdianmu. Kamu juga berhasil menjadi sarjana. Sekarang, saya tanya kepadamu apa keinginanmu setelah ini?”

“Saya ingin mengajar, Bah. Mewujudkan cita-cita Abah mendidik warga desa Sumberasri agar berakhlakul karimah.”

“Kamu tidak ingin melamar pekerjaan di tempat lain dulu? Kamu tahu ‘kan jika kamu memilih mengajar itu harus ikhlas?”

“Ya Bah, tekad saya sudah bulat. Sebelum saya pulang, Abah Nashir juga berpesan ‘Jika kamu pulang mengajarlah walaupun yang kamu ajar itu adikmu!’”

TPA Al-Mudzakir memiliki lebih dari seratus murid. Mbah Usup, Mbah Faiq, dan Slamet terkadang kewalahan mengajar.

***

Slamet dipanggil Mbah Usup. Setelah datang, Slamet didudukkan.

“Met, aku sudah tua sehingga tenagaku tidak sekuat muda dulu. Setelah kupikirkan bersama Mbah Faiq, kami memutuskan menitipkan dua hal kepadamu untuk kamu rawat dengan sebaik mungkin. Aku harap kamu menerimanya.”

“Injih, Mbah. Insyaallah.”

“Aku sudah mengenalmu lama. Aku dan Mbah Faiq yakin Insyaallah kamu bisa menjaganya dengan baik. Yang pertama, aku titip Musala dan TPA Al-Mudzakir. Yang Kedua, anakku, Wasik. Aku harap kamu menjaganya, Met.”

Hati Slamet terguncang. Tak menyangka Wasik, seorang wanita yang sempurna di matanya, akan dijodohkan dengannya.

“Titipanku yang pertama wajib kamu terima. Sementara, masalah aku menitipkan Wasik, aku akan menanyakan dulu kepadanya setelah kamu menyanggupinya.”

“Injih Mbah, saya menerima jika menurut Mbah itu terbaik.”

“Baik, Met. Semoga saja Wasik setuju terhadap perjodohan ini.”

***

Sebelum peristiwa perjodohan itu, Slamet menemui Pakde, orang gila yang dulu sering disedekahi dan dimintai doa. Entah berapa tahun Slamet tidak pernah menemuinya karena ia harus menata kehidupan barunya sebagai marbot Musala Al-Mudzakir.

“Masih ingat aku, Pak De?” Slamet sambil memberikan nasi pecel tumpang dan sebungkus es teh.

Pak De langsung membuka bungkusan nasi lalu melahapnya. Sementara Slamet, masih percaya Pakde menyimak perkataannya dengan saksama.

“Aku berterima kasih, berkat doamu aku sekarang menemukan jalan keselamatan dunia dan akhirat. Kali ini aku minta doamu, semoga lekas ketemu jodoh yang salihah.”

Slamet memang memiliki kebiasaan unik sejak dulu. Setiap punya rezeki lebih, ia menyedekahi orang gila yang hidup menggelandang kemudian meminta doanya.

***

“Sik, aku sudah lama mengenal Slamet. Ia pemuda yang baik.”

“Ya Mi. Saya merasa begitu, Mas Slamet memang baik. Ia ikhlas membantu Abah bekerja di sawah.”

“Kamu tahu maksudku?”

“Insyaallah Bah. Saya menurut saja, dawuhipun Abah.”

“Aku hanya ingin mempertegas maksudku dan Abahmu, Sik. Kamu sudah tahu keseharian Slamet. Abah juga telah mengajarkan banyak ilmu fikih insyaallah tak akan kalah dengan lulusan pesantren. Menurutku, dia seorang lelaki yang salih. Insyaallah bisa menjadi imammu.”

Injih Mi. Saya menurut saja dengan keputusan Abah dan Umi.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan