Dokter Liem

2,941 kali dibaca

Poliklinik yang berdiri di atas tanah wakaf Kiai Sanusi tidak pernah sepi sejak dokter Liem membuka praktik di desa yang terpencil ini lima tahun lalu. Entah dengan alasan apa, dokter Liem mau-maunya berpraktik di desa yang jika dalam kalkulasi materi, jauh dari kata menguntungkan.

Penduduk desa ini mayoritas bekerja sebagai petani tradisional, berpikiran tradisional, dan menjalani kehidupan yang masih tradisional. Ketika mereka mendatangi dokter Liem untuk berobat, yang dibayarkan adalah upah recehan, jauh dari tarif yang seharusnya. Bahkan, terkadang mereka membayar dengan hasil panen; setengah karung beras, satu ayam jago, pisang setandan, telur bebek selusin, kelapa lima biji, dan bentuk keluguan lainnya. Dokter Liem tetap menerimanya, tidak menuntut, tetap mengulas senyum dan ungkapan terima kasih, serta ucapan, “Semoga lekas sembuh dan jangan lupa bahagia…”

Advertisements

Dokter Liem tinggal dengan asistennya, Lik Sigit dengan istrinya, Bulik Sri warga pribumi, yang selalu setia menemani hari-hari dokter Liem. Jika stok obat habis, Lik Sigit kebagian tugas membeli di gudang farmasi kota. Bulik Sri mengurusi keperluan dan kebutuhan dokter Liem untuk memasak, mencuci, dan urusan rumah lainnya.

Dari Lik Sigit dan Bulik Sri, penduduk sedikit tahu riwayat dokter Liem. Istrinya telah meninggal, anak-anaknya telah sukses juga bekerja sebagai dokter di rumah sakit kota. Sementara alasan dokter Liem membuka poliklinik, yang Lik Sigit tahu, hanya ingin mengabdikan sisa umur dan kemampuan medisnya. Tidak lebih! Maka, kedatangan dokter Liem disambut ramah penduduk desa.

Inilah yang unik. Sebelum dokter Liem menangani pasien, selalu didahului sebuah percakapan singkat. Sekadar guyonan, celetukan untuk memancing tawa, menceritakan anekdot, atau sebatas menanyakan bagaimana kabar hewan ternak pasien di rumah. Tak ayal, penduduk sangat akrab dengan dokter Liem tanpa peduli asal-usulnya. “Jika orang berbuat baik, maka yang ditanyakan bukan agamanya, sukunya, atau darimana asalnya,” adalah pemeo yang pantas tersemat pada sosok dokter Liem.

“Kepala saya sakit, dok,” keluh Pak Sukarman, satu-satunya guru SD dengan status PNS di desa terpencil ini.

“Oo… sakit. Saya tahu sejak kapan sakitnya sebelum saya memeriksa,” dokter Liem memulai keakrabannya.

“Lo kok bisa dok? Memang sejak kapan saya sakit kepala?” Pak Sukarman bertanya.

“Biasanya manusia mengalami pusing ketika tanggal tua. Kalau tanggal muda biasanya akan sembuh sendiri.”

Jawaban dokter Liem membuat Pak Sukarman tertawa kecil, kemudian tawanya harus terhenti karena rentetan bersin mengikutinya.

“Lo… bersin juga ya? Saya juga tahu, sejak kapan Pak Sukarman mengalami bersin-bersin.”

Pak Sukarman sambil menyeka hidungnya dengan tisu terperangah, “Lo, dokter Liem kok bisa tahu juga, kapan mulai saya bersin?”

Dokter Liem mulai berkelakar, “Pak Sukarman bersin-bersin karena melihat kelas kotor, sampah di sekolahan kotor, rambut siswa yang acak-acakan, dan baju yang seringkali tidak dirapikan. Tapi, saya juga tahu kapan sembuhnya.”

“Kapan, dok?”

“Biasanya akan sembuh jika dapat tunjangan dan gaji tiga belasnya cair. Bersinnya akan hilang seketika.”

Pak Sukarman tersenyum tanda menyetujui. Dokter Liem memang pandai berakrab-akraban. Dengan siapa berbicara, tema yang akan dibicarakan, dan pilihan bahasa yang digunakan, cenderung sesuai dengan usia dan pengalaman pasien yang diajak berbicara.

“Ibu sakit apa?” tanya dokter Liem kepada Bu Darsih, pasien berikutnya.

“Ini dokter, kulit saya gatal-gatal. Lihat nih, sampai merah saya garuk-garuk,” jawab Bu Darsih sambil menggaruk tangannya.

Dokter Liem melihat tangan Bu Darsih, “Oo… ini. Saya tahu penyebab gatal-gatalnya.”

“Karena apa, dok? Makanan atau apa?”

“Bukan! Bukan karena makanan. Gatalnya ini disebabkan oleh tetangga Bu Darsih yang baru beli TV.”

“Ah, yang benar, dok?”

“Lo, benar. Gatalnya bisa akan bertambah. Kalau ada tetangga Bu Darsih beli kulkas atau beli baju baru, sepeda baru, gatalnya bisa gawat. Gatal ingin menyaingi, ha-ha-ha….”

Begitulah, dokter Liem di tengah kelakarnya, selalu menyelipkan nilai-nilai filosofis. Tetap lucu, namun selalu ada makna. Bu Darsih yang mendengarnya hanya cengar-cengir kuda, seperti tersindir.

Pasien terakhir hari ini tiba giliran, Lik Sigit memanggilnya. Tampak anak seumuran SMP datang sembari menggigil, koyo menempel empat di dahinya.

“Dokter, saya sakit demam, panas!” sambil menunjuk kepalanya.

“Masih sekolah?” tanya dokter Liem.

“Iya, masih sekolah. Di SMP Inpres, dok,” jawab anak tersebut.

“Pantas. Ini sakitnya bisa kambuh lagi meski sudah diobati. Kambuh lagi kalau ada PR, ada ulangan, apalagi ulangan dadakan. Tapi, bisa sembuh dengan sendirinya, kok. Tanpa diobati.”

“Obatnya apa dokter?”

“Bukan, bukan obat. Kepala panasnya bisa sembuh ketika gurunya sakit, ada jam kosong, atau nyontek tidak ketahuan, lalu dapat nilai tinggi. Ha-ha-ha….”

Paklik Sigit pernah menanyakan alasan dokter Liem tentang hal itu. “Dokter, kenapa kok setiap memeriksa pasien, dokter selalu ada saja basa-basinya?”

Dokter Liem terkekeh. “Ya, mereka ke sini sudah dengan penyakit. Masak saya tambahi lagi? Ya sesekali selorohan saya ada yang bermakna, ada yang tidak. Tergantung mereka mengerti atau tidak.”

“Apa ada pengaruhnya, dokter? Itu kan penyakit ‘tampak’?” lanjut Paklik Sigit.

“Tergantung, mereka sangat antusias memeriksakan penyakit tampak itu. Sedangkan, ada yang lebih ganas?”

“Lebih ganas? Maksud dokter?”

“Penyakit hati! Iri, dengki, kikir, ambisius, berdusta, ghibah, mau menang sendiri, dan sebagainya.”

“Iya, saya mengerti maksud dokter. Itu kan macam penyakit hati. Tapi, obrolan ringan dokter apakah berpengaruh pada kesembuhan mereka?”

“Tergantung, bisa iya, bisa tidak. Asal mula penyakit semua datang dari lambung. Bukankah dalam Islam kita mengenal halalan thoyyiban. Makan makanan halal dan dari cara mendapatkan yang baik.”

“Waduh, dokter Liem kok ilmu agamanya luas sih?” Paklik Sigit terperangah.

“Ha-ha-ha… bukan masalah luas atau tidak. Tapi, yang sedikit namun dijalankan kiranya lebih bermakna.”

Dokter Liem memang masih belum lama mengenal Islam, sekitar lima tahunan. Seluruh warga desa mengetahuinya. Namun, ketika pembagian zakat atau hibah, dokter Liem dengan halus menolaknya.

“Saya bukan mualaf, saya seorang pemimpin di poliklinik. Mualaf masih harus diyakinkan, sedangkan saya sejahtera dan haqqqul yakin dengan Islam,” begitulah alasan yang diungkapkan dokter Liem.

Tuhan Maha Adil. Selalu memunyai proporsionalitas untuk menyempurnakan. Siang dengan malam, langit dengan bumi, matahari dengan rembulan, lautan dengan daratan. Musuh dan kawan, setia dan selingkuh, pemberani dengan pengecut, begitu aneka rupa warna dunia. Sebaik apa pun manusia, tiada sempurna menjadi barang wajib. Dicela, dihina, dimaki, depan-belakang, bukanlah sesuatu yang aneh.

Kiranya, ketika sesuatu yang dirasakan manusia paling baik terjadi dalam hidupnya, pasti akan datang suatu kejadian yang buruk menanti setelahnya. Begitulah, alam memperingatkan manusia agar tidak terlarut dalam kesenangan dan selalu bersiap mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi di depan.

Kabar “bakti” kemanusiaan dokter Liem di desa, tersiar dan mendapatkan respons dari pemerintah daerah. Suatu hari Dinas Kesehatan meninjau poliklinik dokter Liem. Maka, berdasarkan prestasi dokter Liem dan wujud apresiasi, poliklinik dokter Liem akan dibangun oleh pemda setempat, dua lantai. Tukang dan kuli bangunan diambil dari masyarakat sekitar, bukan dari pemborong. Di sinilah awal kericuhan.

Siang yang teramat terik, tukang dan kuli bangunan yang bekerja membangun poliklinik dokter Liem berkumpul istirahat. “Eh, kamu tahu, kan, pengawas dari proyek ini diketuai langsung oleh dokter Liem?” Pak Dayat mengawali.

Pak Wanto pun menjawab, “Iya, tahu. Memang kenapa, Yat?” tukang dan kuli lain yang terdiri dari tujuh orang lainnya, diam menyimak.

Pak Dayat melanjutkan, “Tadi pagi dokter Liem bilang pada saya, kalau dia sekarang lagi rapat di kabupaten membahas pembangunan Poliklinik ini.”

Pak Dodik penasaran, “La, memang yang dibahas apa, Yat?”

“Saya dengar sendiri dari dokter Liem, karena efek pandemi, berpengaruh juga pada proyek ini. Ada dua pilihan, kalau gaji tidak dikurangi, maka ya jumlah karyawan yang dikurangi,” terang Pak Dayat.

Mereka berdelapan khawatir dan mulai cemas. Karena memang situasi pandemi sekarang, segala macam pekerjaan susah didapat. Hasil tani yang tidak lagi memuaskan, padi yang diserang hama potong leher, jagung yang diserang ulat, harga kayu yang anjlok, melengkapi nasib nestapa desa ini.

“Eh, ada yang dating,” kejut Pak Dayat setelah melihat mobil sedan warna hitam berplat nomor warna merah mendekat. Rupanya anggota DPRD yang menjadi pemrakarsa dari proyek poliklinik ini.

Assalamualaikum bapak-bapak. Saya mau meninjau bangunan ini. Bolehkah saya ditemani?”

Semua berdelapan tidak menjawab. Gusar, karena memikirkan gaji atau jumlah tenaga yang dikurangi. Anggota DPRD itu tampak bingung, karena tidak ada yang menanggapinya. Maka Pak Dayat memberanikan diri.

Waalaikumsalam, Pak! Begini, saya tadi mendengar dari dokter Liem yang sekarang lagi rapat di kabupaten. Tentang proyek ini, apakah benar gaji kami akan dikurangi atau jumlah tenaga yang dikurangi?”

Dengan wibawanya, anggota DPRD itu pun tersenyum, seolah mengerti kesulitan mereka dan mampu memecahkannya.

“Lo-lo, itu tidak benar. Pembangunan poliklinik ini tetap diteruskan. Gaji tidak ada yang dikurangi. Jumlah pekerja juga tidak. Semua tetap, kalau mungkin ditambah. Asal mengikuti dan menuruti kemauan saya.”

Delapan orang tukang dan kuli semuanya terperanjat. Sejak saat itu muncul desas-desus kalau dokter Liem yang menggelapkan uang, koruptor. Sebagian warga desa tampak terpengaruh, tetapi ada juga yang tidak. Lik Sigit dan Bulik Sri ikut dalam mosi ketidakpercayaannya.

Sampai suatu malam, sebuah mediasi dilakukan warga dengan dokter Liem. Grusa-grusu, mudahnya termakan omongan orang, dan iming-iming tambahan gaji, menjadi awal tidak munculnya titik temu. Keterangan dokter Liem tidak diterima. Maka, berdasarkan keputusan malam itu, dokter Liem harus pindah dan Pak Lurah diminta segera mencari penggantinya yang baru.

Lik Sigit sedih mendengarnya. Dokter Liem yang tengah bersiap meninggalkan desa, pamit kepada Lik Sigit dan Bulik Sri, “Saya minta maaf atas segalanya. Lik Sigit dan Bulik Sri boleh percaya atau tidak. InsyaAllah, nanti akan terlihat siapa yang salah, siapa yang benar. Saya pamit.”

Lik Sigit dan Bulik Sri tak kuat menahan haru. Dokter Liem yang jelas-jelas berbakti mengabdi pada desa yang bukan tempat kelahirannya, harus terusir, bukan karena profesi atau kekhilafan dari keahliannya, ini di luar kapasitas dokter Liem, yang minim pengetahuan tentang birokrasi dan politik.

Begitulah, semenjak itu pengawasan pembangunan Poliklinik dua lantai diawasi langsung oleh anggota DPRD tersebut, yang ditemui Pak Dayat waktu lalu.

Tampak dua truk pembawa bahan bangunan, semen, pasir, besi, dan beberapa material lainnya sudah tiba dan menunggu untuk diturunkan. Segera, Pak Dayat dan beberapa kawan kuli lainnya membantu menurunkan untuk siap digunakan.

Ketika bersiap mencampur semen, anggota DPRD tersebut tadi tiba-tiba berteriak mencegah. “Stop! Stop! Semennya cukup. Dua belas pasir untuk satu semen. Ukurannya dikurangi,” perintahnya.

“Lo, biasanya ditambah, Pak?” Pak Dayat menimpali.

“Sekarang dikurangi. Mulai hari ini dan seterusnya. Kayu, besi, semen, semuanya dikurangi. Ini keputusan saya,” dengan nada tinggi anggota DPRD itu mengarahkan.

“Ini bangun gedung, Pak! Kata dokter Liem, membangun gedung adalah perlambang kepribadian. Kalau gedung ini kuat, berarti yang mbangun jiwanya kuat. Kalau gedung ini ringkih, berarti yang mbagun jiwanya juga ringkih.”

Naik pitamlah anggota DPRD itu, “Halah! Filosofi sesat! Sudah turuti saja. Jangan banyak komentar!”

Semua menurut demi gaji tambahan yang dijanjikan. Pembangunan poliklinik pun sudah mencapai delapan puluh persen, sebentar lagi rampung. Naas, ketika berdelapan tukang dan kuli bangunan istirahat di lantai satu, tiba-tiba bangunan ambruk menimpa semuanya. Lik Sigit dan Bulik Sri yang tidak jauh dari tempat kejadian kaget dan segera mendekat, tapi tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka memanggil nama kedelapannya. “Daayaaattt! Waaanttooo! Dooodiiiikkkkkk!” Tak ada sahutan. Diam dalam senyap. Ajal menjelma membayangi.

Lik Sigit segera memberitahu dokter Liem melalui telepon yang dipinjamnya dari Pak Sukarman. Sehari kemudian Dokter Liem mendatangi Lik Sigit dan mantan polikliniknya. “Ehhmm, inilah yang kutakutkan, Lik. Semuanya telah terjadi,” gumam dokter Liem.

“Iya, dokter. Betapa banyak tangisan dan raungan, istri, anak, kerabat, orang tua dan tetangga. Gara-gara takut tidak dapat tambahan, iman tidak kuat, omongan orang mudah didengarkan, pertimbangan hilang, nyawa pun melayang,” Lik Sigit sembilu pilu. Tampak sembab kedua matanya, mengenang kedelapan orang yang dikenal akrab dengannya.

“Ayo Lik Sigit, salat Maghrib dulu,” ajak dokter Liem.

“Mari, dok. Ehh, sebentar ada yang tertinggal,” kata Lik Sigit.

“Apa Lik?”

“Sarung, kopyah, sajadah….”

Temaram sore menjelang dalam ruang tentram. Kemuning barat nampak, matahari mulai redup mengantuk. Manusia pekerja, biasanya akan pulang beristirahat, setelah lelah mencari penghidupan. Beduk maghrib bertalu, Hayya ‘alal falah..Mari menuju kemenangan…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan