Dik Sulastri

979 kali dibaca

“Mas…,” istri Kang Sules memanggil.

“Iya, ada apa, dik?” jawab Kang Sules dengan mesra.

Advertisements

“Besok pagi bisa antar aku ke pasar?” tanya Sulastri.

“Bisa, dik. Berangkat jam enam pagi ya, sebab jam setengah delapan mas harus ngantor,” Kang Sules menyanggupi permintaan istrinya.

Esok paginya, Kang Sules agak terlambat bangun pagi. Subuh jam lima lebih, segera ia bangun dan bergegas mengeluarkan sepeda motor tua kesayangan dan memang menjadi satu-satunya kendaraan di rumah tangga ini. Sulastri yang sedari tadi menunggu, tampak memoncongkan bibirnya sepuluh senti. Telah siap berdandan menunggu di ruang tamu.

“Mas… Mas niat apa tidak sih mengantar pergi ke pasar? Kalau memang tidak ikhlas, ya bilang saja…,” Sulastri meluapkan emosinya.

“Sabar to, dik. Maaf, Kang Sules tadi malam habis jaga di pos kamling. Jadi, ngantuknya tidak bisa ditahan,” Kang Sules berusaha meredam emosi istrinya.

“Halah! Memang tidak niat. Sudah tahu besok pagi mau ngantar istri ke pasar, eh malah enak-enakan jagongan sama temannya.”

“Sudah to dik… sudah. Ini mas sudah terburu-buru. Pagi-pagi jangan diawali dengan kemarahan,” lebih rendah lagi Kang Sules menjawab sambil mengeluarkan motornya.

“Kenapa lagi? Ada apa lagi? Kok masuk lagi?” tanya Sulastri melihat suaminya masuk rumah lagi setelah mengeluarkan motornya.

“Kunci motor, dik. Kamu tahu di mana?”

“Aduh, mas… mas. Memang kamu tidak niat ngantar! Kok ya tidak dipersiapkan sebelumnya.”

Mereka berdua akhirnya kembali ke dalam rumah untuk mencari kunci motor. Kunci motor, kunci lemari, kunci password, kunci jawaban, entah apa pun yang berkaitan dengan “kunci” sering menjadi barang yang selalu dicari ketika dibutuhkan.

“Sudah ketemu dik. Ini di saku jaket mas ternyata,” teriak Kang Sules lega.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan