Bulan Ramadan sudah memasuki fase terakhirnya. Musala sudah mulai maju shafnya. Biasanya, musala yang berukuran 15×30 meter itu terisi 9-10 shaf, kini tinggal 3-4 shaf saja. Jika tarawih sudah sampai 8 rakaat, beberapa jamaah pun mulai meninggalkan barisan. Praktis, lebih banyak diisi orang tua dan anak-anak yang pada beberapa rakaatnya memilih berhenti, lalu duduk di tempatnya.
“Kamu mau ke mana Seto? Baru selesai kok langsung kabur saja?” di serambi musala Ahsan membuka pembicaraan sehabis tarawih.
“Bukan urusanmu Ahsan,” jawaban Seto yang nampak tersinggung dengan pertanyaan Ahsan tadi.
“Ramadan sudah hampir berakhir. Kamu harusnya lebih baik. Juga sedih jika bulan ini akan segera meninggalkan kita semua,” Udin ikut bersuara.
“Kalau aku sangat bahagia. Kita bisa bebas melakukan apa saja,” jawab Seto dengan santainya.
“Kamu itu keliru. Bulan Ramadan berakhir harusnya turut bersedih. Masak kamu lupa nasihat Kiai Salman,” suara Lukman yang sedikit lebih keras meski masih jelas terdengar suara anak-anak seusia ibtidaiyah atau tsanawiyah sedang tadarus di ruang utama.
“Aku ingat, masih ingat. Hanya saja, aku ingin jujur sebagai manusia biasa saja.”
“Sebagai seorang muslim, kamu tidak boleh berkata begitu Seto. Bulan ini sudah jelas bulan yang paling mulia dan banyak berkah pahalanya. Apalagi ini sudah memasuki 10 hari yang terakhir.”
“Saya tahu, Ahsan. Saya tidak membicarakan bulannya. Tapi manusianya. Tak perlulah kita menjadi manusia munafik.”
“Tidak semua orang begitu Seto, seperti pikiranmu,” Lukman berdiri dari duduknya.
“Hanya sedikit orang yang berterus terang seperti aku. Harusnya kamu malah sedih jika minyak goreng langka, harga BBM naik, apa-apa naik. Itu yang kita sedihkan.”
“Tapi kita masih bisa beli. Hidup kita di sini juga baik-baik saja. Tidak usah kita pusingkan berita-berita di luaran sana, Seto.”