Dialog Akhir Ramadan

1,039 kali dibaca

Bulan Ramadan sudah memasuki fase terakhirnya. Musala sudah mulai maju shafnya. Biasanya, musala yang berukuran 15×30 meter itu terisi 9-10 shaf, kini tinggal 3-4 shaf saja. Jika tarawih sudah sampai 8 rakaat, beberapa jamaah pun mulai meninggalkan barisan. Praktis, lebih banyak diisi orang tua dan anak-anak yang pada beberapa rakaatnya memilih berhenti, lalu duduk di tempatnya.

“Kamu mau ke mana Seto? Baru selesai kok langsung kabur saja?” di serambi musala Ahsan membuka pembicaraan sehabis tarawih.

Advertisements

“Bukan urusanmu Ahsan,” jawaban Seto yang nampak tersinggung dengan pertanyaan Ahsan tadi.

“Ramadan sudah hampir berakhir. Kamu harusnya lebih baik. Juga sedih jika bulan ini akan segera meninggalkan kita semua,” Udin ikut bersuara.

“Kalau aku sangat bahagia. Kita bisa bebas melakukan apa saja,” jawab Seto dengan santainya.

“Kamu itu keliru. Bulan Ramadan berakhir harusnya turut bersedih. Masak kamu lupa nasihat Kiai Salman,” suara Lukman yang sedikit lebih keras meski masih jelas terdengar suara anak-anak seusia ibtidaiyah atau tsanawiyah sedang tadarus di ruang utama.

“Aku ingat, masih ingat. Hanya saja, aku ingin jujur sebagai manusia biasa saja.”

“Sebagai seorang muslim, kamu tidak boleh berkata begitu Seto. Bulan ini sudah jelas bulan yang paling mulia dan banyak berkah pahalanya. Apalagi ini sudah memasuki 10 hari yang terakhir.”

“Saya tahu, Ahsan. Saya tidak membicarakan bulannya. Tapi manusianya. Tak perlulah kita menjadi manusia munafik.”

“Tidak semua orang begitu Seto, seperti pikiranmu,” Lukman berdiri dari duduknya.

“Hanya sedikit orang yang berterus terang seperti aku. Harusnya kamu malah sedih jika minyak goreng langka, harga BBM naik, apa-apa naik. Itu yang kita sedihkan.”

“Tapi kita masih bisa beli. Hidup kita di sini juga baik-baik saja. Tidak usah kita pusingkan berita-berita di luaran sana, Seto.”

“Kalian hanya mengurusi isi perutmu sendiri. Tidak ikut berjuang di garis depan menyuarakan penderitaan. Ya, pantas saja, kamu sudah enak bekerja di sana.”

Dialog yang biasanya berlangsung adem dan nyaman sekadar meramaikan musala, kali ini berlangsung dengan keganasan dan ketegangan. Seto terus menangkis pendapat kawan-kawannya yang kian meradang. Meski tidak berimbang dalam jumlah, Seto terus berusaha tenang dan memberikan perlawanan.

“Kamu lihat Seto. Di bulan yang mulia ini, masjid musala di seluruh penjuru menjadi hidup. Tadarus dan pengajian semakin digalakkan. Pedagang makanan, minuman, hingga pakaian semua kebagian rezeki.”

“Kamu juga lihat Seto. Sekolah dan kantor jam dikurangi. Kegiatan amal terus digalang dan didistribusikan. Kita bisa khusyuk beribadah di bulan ini. Nikmat mana yang hendak kamu dustakan?”

“Aku justru ingin Idul Fitri segera tiba. Manusia benar-benar kembali suci. Sudah sering aku lihat orkestrasi sedekah dan berbagi hanyalah konten belaka. Sudah sering aku lihat orang berpuasa hanyalah mendapat lapar dan dahaga, menggunjing sana-sini. Sudah sering aku lihat orang beribadah yang berujung riya’ di depan sesamanya.”

“Kamu jangan suudzon dulu. Jangan hal kecil yang kamu lihat, lantas kamu generalisasikan sehingga semua salah menurutmu.”

“Lalu maumu bagaimana Seto? Orang-orang cukup salat fardlu dan tarawih di rumah saja biar tidak kelihatan riya’? Tidak usah puasa jika semua kamu anggap hanya mendapat lapar dan dahaga? Tidak perlu sedekah dan berbagi jika memang mensyaratkan foto dokumentasi?”

“Lihatlah! Ridlo, tetangga kita yang sedang mengaji itu. Masih ibtidaiyah sudah lancar membaca Qur’an dan lainnya bergiliran ingin membaca. Inilah Ramadan di kampung kita dan Sebagian besar wilayah Indonesia.”

“Aku hanya ingin kalian sesekali menjadi manusia merdeka. Itu saja,” kalimat Seto sembari meninggalkan musalla begitu saja tanpa berpamitan. Sandal using begitu cepat saja dipakainya hingga tubuhnya menembus kegelapan malam.

“Apa Seto sedang ada masalah ya?” tanya Udin kepada rekan yang tersisa; Ahsan dan Lukman.

“Apa ada perkataan kita yang dianggap salah ya?”

“Apa karena kuliahnya yang tak kunjung lulus?”

“Baru-baru ini ibunya menjual sawahnya.”

“Sepeninggal ayahnya, Seto lebih sering uring-uringan.”

Mereka sejatinya sahabat karib sedari kecil. Teman sepermainan. Dipersatukan pada jenjang ibtidaiyah di desa mereka. Garis ikhtiar dan nasib yang membuat mereka berbeda. Udin dan Ahsan mengambil jurusan hukum Islam sedangkan Lukman jurusan keguruan. Ketiganya pun sudah bekerja meski berstatus tidak tetap. Bahkan, Ahsan tahun ini sudah siap melangsungkan pernikahan.

Seto, dengan suaranya yang lantang, sering menyuarakan hal yang sebenarnya di luar nalar. Memilih kuliah di jurusan umum membuatnya terlahir sebagai sosok yang lebih berani. Ia sering menjadi juru bicara dalam beberapa aksi. Tak gentar pada siapapun dan tak canggung berucap apapun. Semasa kecil pun, ia selalu yang terdepan jika disuruh mengumandangkan azan atau takbir keliling.

———–

“Seto tak nampak salat ya?” tanya Ahsan begitu tarawih selesai.

“Sudah sejak awal memang ia jarang ke musala. Paling salat di rumah sama ibunya,” jawab Udin.

“Tadi waktu berangkat, aku melihat Bibi Surti, juga berangkat tarawih ke musala,” jelas Lukman perihal kehadiran ibunya Seto.

Ketiganya bergegas menuju rumah Seto yang berjarak setengah kilometer dari musala. Meski kemarin berdebat Panjang, tampak raut kekhawatiran pada wajah-wajah mereka. Mereka segera ingin menenangkan batin Seto.

“Assalamualaikum. Seto. Assalamualaikum Bibi Surti,” Ahsan mulai mengucapkan salam di depan pintu rumah Seto yang tengah terbuka.

“Waalaikum salam. Masuk, Le. Kalian duduk dulu di ruang tamu,” tampak suara Bibi Surti mempersilakan.

“Seto di rumah Bi? Kok tadi saya tidak melihatnya di musala,” tanya Lukman begitu melihat Bibi Surti.

“Tidak tahu, Le. Akhir-akhir ini Seto sering mengunci diri di kamar. Jika ditanya, sering uring-uringan. Bibi bingung menghadapinya.”

“Kemarin kami juga merasakan keanehan seperti itu. Seto tidak seperti dulu. Sekarang Seto di mana, Bi?”

“Seto tidak di rumah. Tadi pagi pamit. Ingin ziarah ke makam bapaknya sekaligus lebaran di rumah neneknya.”

“Tapi Seto tidak berkata apapun sebelumnya ke Bibi?”

“Tidak. Hanya saja, beberapa hari yang lalu, Seto merasa minder dengan kalian semua. Kalian sudah lulus dan kerja. Seto malah di-DO dari kuliahnya. Terlalu lama tidak lulus katanya. Pingin kumpul dengan kalian, tapi sungkan karena kalian sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.”

“Padahal kami malah ingin bantu Seto. Saya juga kaget kok sekarang mudah tersinggung.”

“Ada lagi pesannya kepada Bibi sebelum pergi. Mbok, jika teman-temanku datang ke rumah menanyakan keadaanku, berarti aku masih dianggapnya teman. Jika tidak pernah datang ke rumah, saya ingin tetap di rumah nenek saja.”

Ahsan, Lukman, dan Udin merasakan ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Ingin segera menyelesaikan semuanya. Ahsan langsung mengambil ponselnya. Menelepon ke nomor Seto.

“Pulanglah Seto. Siapa yang mengumandangkan takbir jika kamu berlebaran di sana?” kalimat Ahsan kepada Seto.

“Iya Seto. Seperti biasa, hari pertama lebaran kita keliling ke tetangga sekitar. Hari kedua kita silaturrahim ke guru-guru kita. Hari ketiga kita sowan ke ndalem Kiai Salman,” Lukman meraih ponsel yang dipegang Ahsan.

“Aku ingin di sini dulu, Ahsan, Lukman, Udin. Setelah lebaran usai, aku pasti kembali.”

“Apa yang kamu cari di sana? Kamu tidak sedang dalam amarah kan?”

“Tidak. Aku ingin menjadi manusia merdeka dan apa adanya. Tidak ada yang pernah tahu riwayatku.”

Seto tetiba menutup panggilan teleponnya. Tanpa salam. Tanpa titik yang tergurat tandas. Rintik hujan mulai membasahi halaman. Ketiganya berpamitan. Dan ini menginjak malam ke-27, semoga ada doa-doa kebaikan dari para sahabatnya untuk menjemput takdir baik Seto.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan