ibadah haji

Deprimordialisasi Haji dan Kurban

879 kali dibaca

Pemerintah memberangkatkan 92.825 jemaah haji asal Indonesia pada tahun ini. Mereka berangkat dari 13 embarkasi haji, dengan 241 penerbangan. Haji menjadi impian seorang muslim sebagai penggenap rukun Islam dengan keterangan “jika mampu”. Realitanya, banyak masyarakat yang dipandang “tidak mampu” justru bisa berangkat haji daripada mereka yang sebenarnya sudah sangat mampu.

Sebagai bagian rukun, ibadah haji harus diniatkan dalam keadaan apapun. Perkara kelak bisa terlaksana atau tidak merupakan hak Allah. Dari niat harus dimulai dengan menyisihkan harta untuk bisa berkunjung ke kakbah. Niat dan istikamah itulah yang memudahkan jalan mereka yang bisa berangkat haji meski tidak punya penghasilan lebih.

Advertisements

Berharap setiap ritual ibadah haji menghasilkan output kemabruran yang tercermin dalam dua dimensi, yakni ilahiah dan sosial masyarakat. Dimensi ilahiah adalah kemabruran haji berdasarkan persepsi Allah. Sehingga tidak pantas orang lain menghakiminya sebagai pemburu gelar haji. Sementara dimensi kedua adalah sosial masyarakat yang merupakan manifestasi dari perilaku sosial dari kemabruran haji.

Dalam struktur peribadatan rukun Islam sebelum berhaji adalah puasa dan zakat. Puasa merupakan bentuk ibadah vertikal tentang pengabdian hamba kepada Tuhan. Sedangkan zakat adalah manifestasinya dengan pengabdian kepada sesama. Demikian halnya dengan haji yang harus mencerminkan kedua dimensi tersebut secara spiritual, moral, dan sosial.

Meskipun dipahami sebagai ibadah eksklusif dari kacamata biaya, para ulama menyusun kitab yang menjelaskan manfaat ibadah lain yang setara dengan ibadah haji. Misalnya tidak meninggalkan salat jamaah di masjid, zikir setelah salat subuh berjamaah sampai terbit matahari kemudian menjalankan salat sunah dua rakaat, dan pergi ke masjid untuk menuntut ilmu atau mencari kebaikan.

Namun ibadah haji tetap harus diniatkan dan diusahakan oleh setiap muslim sebagai penyempurnaan agama. Kesempatan berhaji adalah peluang untuk menyelenggarakan penjernihan diri kembali. Tercerahkan pada empat tataran: intelektual (objektivitas berpikir), spiritual (kejernihan jiwa, kebersihan hati, ketulusan perasaan, serta kepekaan rohani), mental (ketenteraman, elastisitas dan relaksitas, kedamaian, keseimbangan), serta moral (integritas sosial, kemanusiaan, sikap demokratis).

Deprimordialisasi disimbolkan dalam ibadah ihram. Menuruh Profesor Quraish Shihab, ihram terambil dari kata haram yang dari segi bahasa berarti sesuatu yang terhormat atau terlarang akibat kehormatannya. Allah ingin menunjukan kepada makhluk-Nya bahwa tidak sepanjang hidupnya manusia boleh memelihara kebodohan untuk hanya pernah mencapai tingkat primordialisme hidup.

Manusia harus melepaskan segala aksesori kehidupan seperti popularitas, jabatan, kekayaan, dan lain sebagainya ketika memutuskan melaksanakan ibadah haji. Ihram harus bisa dimaknai sebagai proses hidup bahwa segala hal yang bersifat keduniawian adalah sementara.

Seharusnya haji memiliki ketajaman untuk menyaksikan betapa sejarah kita terlalu bergelimang primordialisme budaya, primordialisme negara dan ras, dan primordialisme yang menerjemahkan dirinya melalui formalitas kekelompokan. Seperti halnya ihram, ibadah haji mengajak manusia untuk kembali sungguh-sungguh menjadi manusia.

Ada orang yang tak pernah punya kesanggupan ekonomi untuk berhaji, tapi kualitas kepribadiannya mencapai tingkat haji. Bahkan ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menabung uang untuk naik haji, tapi menjelang berangkat, ia terpanggil untuk menolong keterdesakan darurat ekonomi tetangganya. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang rajin berkali-kali naik haji, tapi kualitas kepribadiannya, mentalitas pribadi, dan moralitas sosialnya tak kunjung haji.

Primordialisme Kurban

Idul Adha atau hari raya kurban merupakan peringatan mengenang peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim atas mandat Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail. Pesan di balik peristiwa tersebut adalah bagaimana seseorang mesti rela dan ikhlas melakukan apa pun untuk Allah.

Kurban berasal dari kata qaraba-yaqrabu, bermakna mendekat. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 35). Esensi pendekatan kepada Allah adalah dengan berjihad atau mengorbankan segala hal untuk agama dan kemaslahatan umat.

Dalam kaidah fikih, kurban adalah prosesi penyembelihan hewan ternak seperti; kambing, sapi, dan onta. Hewan ternak sesungguhnya tamsil dari dominasi hawa nafsu dan syahwat. Tamsil segala kesesatan dan keburukan, kebodohan, kedengkian, buruk sangka, kemalasan, ketakaburan, kecintaan pada hal-hal material dan aspek lainnya yang harus disembelih.

Haji dan kurban merupakan deprimordialisasi budaya manusia agar kembali fitri. Berangkat haji berarti proses kembalinya manusia ke asal untuk kembali menjadi Abdullah (hamba Allah, di atas sekadar humanisme), kemudian Khalifatullah (wakil Allah untuk memanajemen sejarah), syukur kemudian Najibullah (mewakili visi-visi), dan Waliyullah (mandataris utama yang diserahi sejumlah kecil rahasia-Nya).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan