Di pagi yang masih buta, seusai melaksanakakan salat Subuh, Nek Asna mematung di teras rumahnya sambil memegang keranjang. Air matanya berlinang menatap puluhan buah jambu yang berserakan di bawah pohonnya.
Pohon jambu itu berbuah lebat, segar dan harum menggiurkan sejak puluhan tahun silam. Namun, tidak satu pun Nek Asna pernah memakannya dengan alasan tidak tega. Nek Asna juga sangat melarang siapa pun untuk memungut apalagi memetik buah jambu itu mekipun sudah busuk apalagi masih segar.
Buah-buah jambu yang berjatuhan itu Nek Asna pungut dan ia bawa ke dalam kamarnya setiap senja. Yang masih segar Nek Asna letakkan di dalam lemari, sementara yang busuk diletakkan di tempat khusus serupa bak mandi besar yang ia buat puluhan tahun lalu.
Setelah sinar matahari mulai menyemburat, Nek Asna bergegas untuk memetik bunga pohon jambu itu dengan iringan air mata yang berlinang. Nek Asna bahkan sampai menggunakan galah untuk menjangkau bunga pohon jambu yang berada di ketinggian. Setelah memperoleh sekitar separo keranjang, Nek Asna langsung berangkat ke pemakaman, ia menaburkan bunga pohon jambu itu di atas kuburan Jekpar sambil mengaji. Setelah itu Nek Asna memeluk kuburan itu lantas menangis sejadi-jadinya. Memang, setiap hari raya Idul Adha, seperti sekarang ini, Nek Asna tidak pernah lupa melaksanakan kegiatan seperti itu sejak 51 tahun lalu.
***
16 Februari 1970
Setelah selesai melaksanakan salat Idul Adha di masjid, Jekpar mengajak Asna berkeliling ke rumah-rumah tetangga untuk bersalaman. Baju parukat berwarna putih bermotif bunga, kerudung berwarna senada, kain sampir berwarna cokelat bermotif batik dan terumpah cantik yang terbuat dari kayu yang ia kenakan membuatnya terlihat sangat anggun dan cantik di jamannya. Serasi dengan Jekpar yang mengenakan baju batik berwarna gelap, kain sampir yamg juga gelap, terumpah kayu dan songkok hitam yang menghiasi kepalanya. Keduanya berjalan beriringan, hingga orang-orang menganggap mereka bertunangan.