Yang Ditangisi Nek Asna Tiap Idul Adha

714 kali dibaca

Di pagi yang masih buta, seusai melaksanakakan salat Subuh, Nek Asna mematung di teras rumahnya sambil memegang keranjang. Air matanya berlinang menatap puluhan buah jambu yang berserakan di bawah pohonnya.

Pohon jambu itu berbuah lebat, segar dan harum menggiurkan sejak puluhan tahun silam. Namun, tidak satu pun Nek Asna pernah memakannya dengan alasan tidak tega. Nek Asna juga sangat melarang siapa pun untuk memungut apalagi memetik buah jambu itu mekipun sudah busuk apalagi masih segar.

Advertisements

Buah-buah jambu yang berjatuhan itu Nek Asna pungut dan ia bawa ke dalam kamarnya setiap senja. Yang masih segar Nek Asna letakkan di dalam lemari, sementara yang busuk diletakkan di tempat khusus serupa bak mandi besar yang ia buat puluhan tahun lalu.

Setelah sinar matahari mulai menyemburat, Nek Asna bergegas untuk memetik bunga pohon jambu itu dengan iringan air mata yang berlinang. Nek Asna bahkan sampai menggunakan galah untuk menjangkau bunga pohon jambu yang berada di ketinggian. Setelah memperoleh sekitar separo keranjang, Nek Asna langsung berangkat ke pemakaman, ia menaburkan bunga pohon jambu itu di atas kuburan Jekpar sambil mengaji. Setelah itu Nek Asna memeluk kuburan itu lantas menangis sejadi-jadinya. Memang, setiap hari raya Idul Adha, seperti sekarang ini, Nek Asna tidak pernah lupa melaksanakan kegiatan seperti itu sejak 51 tahun lalu.

***

16 Februari 1970

Setelah selesai melaksanakan salat Idul Adha di masjid, Jekpar mengajak Asna berkeliling ke rumah-rumah tetangga untuk bersalaman. Baju parukat berwarna putih bermotif bunga, kerudung berwarna senada, kain sampir berwarna cokelat bermotif batik dan terumpah cantik yang terbuat dari kayu yang ia kenakan membuatnya terlihat sangat anggun dan cantik di jamannya. Serasi dengan Jekpar yang mengenakan baju batik berwarna gelap, kain sampir yamg juga gelap, terumpah kayu dan songkok hitam yang menghiasi kepalanya. Keduanya berjalan beriringan, hingga orang-orang menganggap mereka bertunangan.

“Akhirnya kalian sudah bertunangan,” ucap Ke Sabolla. Mereka saling tatap keheranan, lantas tertawa.

Mereka memang tidak bertunangan, mereka hanya sebatas teman sekaligus tetanggaan yang rumahnya bersebelahan. Sejak kecil mereka selalu bersama hingga menginjak usia remaja.

Setiap kali berpindah dari rumah tetangga satu ke rumah tetangga yang lain, di perjalanan, mereka selalu menghitung uang yang mereka peroleh dari pemberian para tetangga.

“Kau dapat berapa?” tanya Jekpar sambil melirik pada dompet lusuh yang diimpit ketek Asna.

“Seribu lima ratus rupiah,” jawab Asna.

“Banyak sekali, curang kau!”

Idih, enak saja bilang curang, emang kau dapat berapa?”

“Lima puluh rupiah.”

“Syukurin!” Ledek Asna lantas tertawa dan mencebikkan bibirnya.

Huft!, dasar! Coba saja tetangga-tetangga tidak menyangka kita tunangan, pasti aku akan mendapat uang yang sama bahkan lebih banyak ketimbang kamu,” keluh Jekpar.

Memang, uang yang seharusnya diberikan pada Jekpar, oleh para tetangga malah diberikan pada Asna karena menganggap mereka bertunangan. Katanya, pasangan laki-laki harus mengalah. Hadiah uang akan diberikan kepada pasangan perempuan karena pasangan laki-laki tidak perlu memegang uang, cukup yang perempuan saja yang menerima.

“Kamu kan pasangan laki-laki, uangnya aku kasih pada Nak Asna, yang berhak memegang uang adalah perempuan,” ucap salah satu tetangga. Jekpar dan Asna hanya pasrah. Mereka sudah berkali-kali menjelaskan bahwa mereka tidak bertunangan. Tapi, tetangga itu tidak percaya, hanya tertawa.

Mendengar Jekpar berbicara seperti itu, Asna terdiam, ada rasa sakit yang menyundut-nyundut hantinya, ia kecewa pada Jekpar. Beberapa hari yang lalu, mereka sudah saling mengungkapkan perasaan bahwa mereka saling mencintai, bahkan masing-masing orang tuanya sudah tahu. Kedua orang tua mereka sudah mempunyai keinginan untuk menjodohkan mereka.

“Tapi, semoga saja kita lekas bertunangan,” lanjut Jekpar lantas tertawa. Asna senang mendengarnya. Pipi Asna memerah.

“Kapan?”

“Bila sudah tiba waktunya,” jawab Jekpar sambil tertawa.

Huft, dasar tidak pemberani!”

“Lihat saja nanti.”

Setelah lelah berkeliling ke rumah-rumah tetangga, Asna dan Jekpar duduk di atas lincak di depan rumah Asna.

“Mari ikut aku!” ajak Jekpar pada Asna setelah sedikit hilang rasa lelah keduanya.

“Ke mana?” tanya Asna, bingung.

Bukannya menjawab, Jekpar malah langsung menarik tangan Asna menuju rumahnya. Jekpar mengambil sebuah bibit tanaman di pekarangan rumahnya dan kemudian membawanya kembali ke rumah Asna. Asna hanya terdiam, bingung melihat apa yang dilakukan Jekpar.

“Tunggu di sini,” pinta Jekpar sambil meletakkan bibit tanaman itu.

Asna tak menjawab, hanya mengerutkan dahinya karena semakin bingung.

Jekpar datang dengan membawa cangkul. Jekpar memang sudah tahu betul tentang apa-apa yang ada di rumah Asna. Termasuk tempat cangkul milik ayah Asna.

Jekpar mulai menggali tanah, Asna yang sedari tadi nyerocos bertanya, Jekpar tak menjawabnya. Setelah membuat galian yang tidak terlalu dalam, mungkin 30 cm, Jekpar kemudian menanam bibit tanaman itu.

“Oh, mau nanam tanaman ternyata, membuat orang bingung saja!”

“Makanya, mikir, sudah tahu aku mengambil bibit dan cangkul, masing saja bengong, masak mau main petak umpet?!” jawab Jekpar sambil membersihakan tanah di tangannya.

“Terus, fungsi dan tujuannya?!”

Jekpar menarik napasnya dengan dalam, mengembuskannya dengan pelan. Jekpar memandang wajah Asna. Asna malu, pipinya memerah.

“Rawat tanaman ini! Siram sampai berbuah! Ini bibit jambu, buahnya adalah yang paling kau sukai,” ujar Jekpar. Asna sangat senang, Asna mengangguk dan tersenyum.

“Terima kasih, aku berjanji akan merawat jambu ini,” balas Asna. Jekpar mengangguk-angguk senang.

“Hari ini hari raya Idul Adha, salah satu hari besar umat Islam. Aku sengaja menanam di hari ini, karena untuk menunjukkan rasa cintaku yang juga besar padamu. Sebenarnya, aku ingin menanam di hari Raya Idul Fitri kemarin. Tapi, saat itu aku kan sakit,” jelas Jekpar sambil menarik tangan Asna untuk duduk di atas lincak. Tak ada kata yang terucap dari mulut Asna. Asna hanya tersenyum karena saking senangnya.

“Nanti, jika jambu ini sudah berbuah, aku akan melamarmu,” kata Jekpar. Jantung Asna berdebar. Keduanya saling tatap sambil tersenyum.

“Amin!” Ucap Asna pelan.

“Ya Rabba al-Alamin,” tambah Jekpar.

Asna benar-benar merawat jambu itu dengan penuh perhatian. Tak ada hari yang ia lewati tanpa menyiram jambu itu. Asna tak sendirian, ia selalu ditemani Jekpar yang juga satu hari pun tidak pernah absen. Seolah-olah, mereka anggap jambu itu seperti buah hati mereka sendiri.

Namun, sebelas bulan berselang, tepatnya setelah jambu itu mulai menyembulkan bunga, Jekpar mulai sakit-sakitan. Kata dukun, Jekpar hanya mengidap penyakit ringan. Asna tidak terlalu khawatir. Setiap hari Asna selalu berada di rumah Jekpar yang terbuat dari anyaman bambu, sama seperti rumahnya. Asna pulang ke rumahnya hanya untuk menyiram jambu itu. Setelah itu, ia kembali lagi ke rumah Jekpar untuk merawat sang pujaan hatinya itu.

Satu bulan berselang, tepatnya saat hari raya Idul Adha, dan setelah jambu itu berbuah untuk pertama kalinya, Jekpar menghadap Tuhan. Perut Jekpar membuncit dan terlihat bengkak. Kata dukun, Jekpar telah disihir orang jahat.

Mendengar kabar itu, Asna lansung pingsan. Setelah tersadar Asna mengamuk seperti orang gila dan terus menangis hingga mayat Jekpar disemayamkan. Asna seolah-olah tidak sanggup untuk melanjutkan hidup.

Beberpa tahun setalah kejadian pilu itu, Asna tetap tak henti-henti menangis, pohon jambu itu tetap ia rawat sepenuh hati. Meski banyak lelaki yang mendatangi ayahnya untuk meminangnya, Asna tetap tidak berkenan, rasa cintanya pada Jekpar tidak pernah luntur sedikit pun dan tidak akan pernah tergantikan. Asna memutuskan untuk tidak bersuami dengan siapa pun dan sampai kapan pun.

Tidak tega melihat Asna yang terus-menerus seperti itu, ayahnya berinisiatif untuk menebang pohon jambu itu. Namun, Asna sangat melarangnya. Bahkan, Asna nekat mengatakan akan bunuh diri jika pohon jambu itu ditebang.

“Ini adalah bukti cintaku dengan Jekpar,” ucap Asna suatu waktu pada ayahnya.

***

Sekarang, di hari raya Idul Adha ini, usia Nek Asna sudah menginjak 71 tahun. Nek Asna tetap tidak berkenan untuk bersuami. Nek Asna hidup sendirian, seluruh keluarganya telah meninggal puluhan tahun silam. Sementara, Pohon jambu itu terus berbuah lebat. Selebat cinta Asna pada Jekpar, lelaki yang menanam pohon jambu itu bersamanya dulu, 52 tahun lalu.

Musala Instika, 08 Juli 2022.

ilustrasi: lukisan kurt cobain.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan