Corona dan Siapa Kita

1,285 kali dibaca

Melalui Sampar, dengan gamblang Albert Camus menggambarkan karakter-karakter asli manusia ketika menghadapi absurditas hidup. Terbit pada 1947 dalam bahasa Prancis dengan judul La Peste, novel ini mengisahkan bagaimana Oran, sebuah kota yang tenang, tiba-tiba berubah menjadi kuburan masal setelah sampar mewabah.

Semua bermula ketika seekor tikus tergeletak mati di jalanan. Membusuk. Ah, cuma seekor tikus mati. Namun, ketika hari-hari berikutnya semakin banyak tikus mati bergeletakan di jalanan, warga Oran mulai bertanya-tanya. Cemas. Dan, kecemasan berubah menjadi horor ketika tidak ada lagi tikus yang mati, namun gejala pembengkakan bernanah mulai menjangkiti tubuh-tubuh warga kota. Rupanya itu gejala yang mengantar maut. Wabah itu, pes, terus menyerang dengan ganas, hingga mengakibatkan lebih dari 100 kematian setiap hari.

Advertisements

Yang pertama terbaca dari Sampar adalah ini: manusia seringkali abai pada isyarat, pertanda, gejala. (Ah, toh cuma seekor tikus yang mati. Tapi dari sanalah kemudian semuanya bermula). Hewan biasanya justru lebih peka terhadap pertanda alam ketimbang makhluk berakal yang bernama manusia.

Yang selanjutnya terbaca dari Sampar adalah ini: drama! Wabah selalu berubah menjadi panggung drama, terutama bagi manusia-manusia pemain watak. Dalam panggung drama Sampar, warga Oran adalah penonton yang pasif, pasrah, tak berdaya. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu giliran. Giliran untuk dikucilkan, dikarantina. Giliran untuk ditumpuk, ditimbun bertindihan bersama mayat-mayat lain dalam kuburan masal.

Tapi tidak demikian dengan para pemain wataknya: ada Dokter Bernard Rieux yang tetap tekun bekerja tapi tidak lagi untuk mengobati dan menyembuhkan, melainkan sekadar mendiagnosa —stempel bagi setiap orang untuk dikarantina; ada Rambert, wartawan oportunis yang memanfaatkan posisinya untuk bisa kabur dari Oran yang lockdown; tentu saja ada pastor Paneloux yang membuat horor kian mencekam melalui khutbah-khutbahnya yang menyebut bahwa pandemi adalah murka Tuhan atas kota yang bergelimang dosa. Dan bintang panggungnya adalah para politisi, dengan atau tanpa nama, yang membuat semakin kusut keadaan, hingga Oran benar-benar menjadi kota mati.

Sampar tentu saja tidak lahir dari ruang hampa. Jauh sebelum Sampar terbit, telah banyak wabah global yang telah menjungkirbalikkan tananan dunia. Misalnya saja, ada yang disebut Black Death dan Flu Spanyol. Keduanya adalah pandemi global yang menelan korban ratusan juta jiwa dari berbagai negara dan bangsa. Black Death yang terjadi pada tahun 1350, yang merupakan wabah pes yang membunuh ratusan juta jiwa, akhirnya meruntuhkan sistem feodalisme Eropa, tapi sekaligus juga mendorong munculnya kolonialisme.

Semula, pada 1918, ketika Flu Spanyol mulai menyebar di negara-negara yang terlibat Perang Dunia I seperti Jerman, Inggris, dan Prancis, wabah yang telah membunuh banyak tentara ini ditutup-tutupi. Tujuannya untuk menjaga moral dan semangat tempur para serdadu. Namun, di Spanyol, negara yang masih netral, koran-koran masih bebas memberitakannya, termasuk saat flu menyerang Raja Alfonso XIII. Dunia menyangka flu itu datang dari Spanyol dan memberinya cap sebagai Flu Spanyol.

Tingkah polah manusia dalam menghadapi pandemi global itu yang tergambar dalam Sampar. Tapi kita, yang hidup di era yang disebut sebagai puncak kecerdasan manusia, era 4.0, di lingkungan generasi milenial, ternyata masih mewarisi karakter-karakter dari Sampar ketika berhadapan dengan Corona. Di panggung drama baru dengan lakon Corona, masih ada Rieux yang alpa pada pertanda, yang baru bertindak ketika semua sudah terlambat. Masih ada Paneloux yang membawa-bawa surga di tangan kanan dan neraka di tangan kiri, dan terus membiarkan pandemi tetap menjadi teka-teki. Juga masih ada Rambert, orang yang pandai memanfaatkan posisinya untuk menyelamatkan diri sendiri, tak peduli siapa menunggu giliran mati. Di panggung Corona ini, juga masih sesak oleh politisi yang membuat keadaan semakin gaduh sampai akal sehat runtuh.

Berhadapan dengan pandemi, ternyata kita masih tak beranjak dari karakter yang dibangun Camus justru ketika sudah hidup di era teknologi 4.0. Seperti filsafatnya Camus, manusia adalah makhluk yang absurd. Ia memang tak pernah berhenti belajar, tapi juga tak kunjung mau mengerti, tak kunjung mau memahami, apa yang telah dipelajari. Persis seperti dongeng Sisifus.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan