Cinta Rumi(t)

1,292 kali dibaca

Kata orang cinta bisa mengubah segalanya. Yang berakal menjadi tidak. Yang berteman menjadi tidak. Yang dulu akur menjadi tidak. Tapi bila itu memang yang sesungguhnya, bukankah kata sifat itu menghubungkan dua sisi menjadi satu dan bukan sebaliknya.

Hah, aku tak tahu Rumi, apa kau menciptakan kata-kata cinta sebagai sebuah senjata bagi para budak-budaknya. Mengatasnamakan hal itu untuk mengesahkan segala tindakan, agar semua menjadi absah “karena ini cinta”.

Advertisements

Aku mengelus buku kumpulan kata-kata Rumi di atas dek sekolah tingkat tiga. Menjelang sore aku kembali ke rumah, menunaikan Ashar lalu kumpul ke tongkrongan. Baru melepas helm, Si Cek sudah rapi dengan kunci motor di tangan, jaket kulit KW dengan potongan klimis.

“Cek, mau ke mana?”

“Mau kencan.”

“Sama siapa?”

“Biasa…,” ujarnya menggampangkan.

“Masih sama Enti, balik lagi lu?”

Cek hanya nyelonong tanpa mendengar kata-kataku lagi. Sebelum dia pergi, aku meneriakinya “Batu lo Cek!”

Itulah yang kadang kupertanyakan pada Rumi. Apakah cinta sebuta itu hingga membuat orang menjatuhkan diri pada lubang yang sama.

Aku hanya memegang kepala sembari berwajah heran. Masuk ke tempat tongkrongan ada Mas Sot sedang khusuk menyimak gawainya.

“Jajan mas,” kuambrukkan satu kresek penuh snack di depannya.

“Ho-ho-ho…  perayaan apa nih?”

“Gak ada, cuma uang jajan lebih aja.”

Kami sedikit sibuk dengan permainan masing-masing. Aku dengan Rumi yang belum tuntas. Dan Mas Sot dengan gawai dan headset-nya yang membuat gemas. Bagaimana tidak, tanpa suara dia hanya senyam-senyum sendirian.

Aku menanyakan keberadaan yang lainnya. Saat itu kami menaruh kesibukan masing-masing. Mulai membahas berbagai hal, hingga pada akhirnya Cak Bag datang. Dengan Motor Win 100-nya, dari kejauhan suara khas kenalpotnya dapat didengar.

Lengkap dengan helm bogo klasik masih menempel pada kepala dia mengucap salam yang sama lengkapnya.

“Eh, Si Cek mana?”

“Kencan sama Enti,” sahut Mas Sot dengan mengunyah keripik kentang.

“Lagi, balik lagi!? Emang susah,” Cak Bag menggelengkan kepala.

“Karena cinta duri menjelma mawar, karena cinta cuka menjelma anggur segar…,” aku meletakkan buku Rumi di atas meja.

Tak lama kami berbincang, Mas Sot mengangkat pantatnya. Bersamaan dengan slide story WA-ku yang tepat pada foto Si Cek dan pacarnya yang tengah mesra kencan di luar sana. “Ke mana Mas?” tanya Cak Bag.

“Bentar ada urusan, gak lama kok,” jawabnya.

Tak lama Mas Sot keluar, masuk Kang Oce ke sana. Disusul dengan Al Him yang napasnya sedikit terengah. Kalimatnya yang terbata-bata. Cak Bag menyuruhnya tenang, diulurkan segelas air agar napas dan uratnya tak lagi tegang.

“Aku lihat si Cek boncengan sama mantanya!” seru pemuda fasih Al-Quran itu tergagap.

Kami hanya saling menatap, dan sesekali menyungingkan bibir. Karena sedari tadi kami telah bergelut dengan pembahasan itu; jadi kami tak terlalu kaget.

“Tadi aku lihat mereka lewat di depan pondok,” kata Al Him polos.

“Gimana Him?!”sahut Cak Bag memastikan.

“Di depan pondok?!” ulang Kang Oce memastikan.

“Gak ada orang pondok yang ngeliat kan?”

“Tadi sih cuma aku sama Gareng.”

Kang Oce dan Cak Bag saling menatap sesaat. Kedua alis mereka sedikit berkerut, lalu mereka kembali menyandarkan punggungnya pada punggung kursi yang tegap. Cak Bag terlihat sedikit gelisah dengan menggaruk-garuk kepala. Kang Oce menyedot rokoknya dalam-dalam lalu mengembuskan kuat-kuat ke udara.

***

Beberapa hari berlalu. Aku sendiri baru bisa menyanggupi ajakan kawan-kawan hari ini. Itu pun aku harus bergelut dengan hujan di jalan. Tak ingin merasa bersalah karena telat, aku sengaja membawa banyak cemilan.

Sampai di tongkrongan, belum juga melepas helm Aku merasa ada suasana tegang di sana. Tak ayal ketika aku masuk, mereka berlima telah melingkar di satu meja yang sama.

Aku segera ikut duduk karena disuruh Mas Sot. Suasana hening sejenak. Lalu ketika Cak Bag menandaskan puntung rokoknya ke dalam asbak, entah mengapa hatiku tiba-tiba berkata “akan ada drama malam ini.”

Cess, suara puntung Kang Oce habis. Lanjut kepunyaan Al Him, Mas Sot, Si Cek. Dan terakhir suara bungkus kripik kentang yang kubuka, kresek…kresk.

“Jadi gini lo Cek, kita sih terserah lu mau gimana. Asal masih dalam koridor.”

“Loh kan aku pacarannya wajar Kang.”

“Iya, tapi ini kan masih lingkup desa. Mbok ya yang santun. Apalagi statusmu sekarang ustaz,” Kang Oce mencoba menjelaskan.

Mas Sot menyulut kembali rokoknya. Mereka masih bertukar argumen. Aku masih mengunyah keripik kentang.

“Gini lo Cek. Semua kan ada batasnya. Asal kamu tahu batasmu, kami sebagai kawan tak akan mengusik.”

Si Cek hanya mengiyakan, tak berani menjawab lagi.

Keesokan harinya aku dipanggil Mas Sot. Disuruhnya aku menjemput di depan pondok seusai mengaji. Lantas, kami memasang helm masing-masing tanpa kutahu akan ke mana.

Sepersekian menit selanjutnya. Dari kejauhan Mas Sot melihat sesuatu. Dia menghentikan langkahnya sejenak. Dan ternyata Cek dengan pacarnya lewat depan kami. Dengan senyum menyapa tanpa perasaan bersalah atas janjinya malam tadi.

Mas Sot terdiam, tapi ada bara di matanya. “Aku seperti dikencingi tepat di depan mukaku.” Kami menggeber motor pada kecepatan sedang. Pada dua jam kemudian kami sampai.

Aku hanya terpana. Itu adalah kompleks pondok putri.

“Kita ngapain di sini?”

Senyum kecil Mas Sot menghias wajahnya. Kami membawa beberapa barang dari sana. Dalam perjalanan Mas Sot menyampaikan segala kekesalannya tentang si Cek.

Mas Sot tak pernah langsung melampiaskan amarahnya. Sama juga seperti kisah cintanya, sama-sama rahasia.

“Bagiku jika aku memang mencintai sesuatu, maka cinta itu untukku, tak ada yang boleh tahu. Ya menurut Rumi begitu,” kelakarnya. Kami sampai di rumah. Barang-barang itu turun di teras Mas Sot. Aku pamit pulang.

Hari berikutnya kami kembali kumpul di tongkrongan. Bruuakk… Si Cek masuk dengan muka tampak kusam. Kami hanya melirik satu sama lain. Dan semua tampak diam. Si Cek mencoba meluapkan kegalauan. Namun kami tak hirau.

Lantas Mas Sot membuka pintu. “Lah ngapain diem-dieman… Nih jajan.”

Semua anak tongkrongan terpana. Ada berbagai jajan yang umumnya ada di pernikahan, atau lamaran.

“Mas ini siapa yang nikah?” tanya Cak Bag.

Lalu Mas Sot mengangkat jarinya dan ada cincin melingkar di jari manisnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan