Catatan dari Resepsi 1 Abad NU

730 kali dibaca

Jika mencermati lini masa di Internet, kita tahu masih banyak yang belum “move on” dari resepsi satu abad kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 7 Februari 2023 di Gelora Sidoarjo, Jawa Timur. Resepsi yang memang tergolong spektakuler itu sudah lebih dari sepekan masih terus menjadi perbincangan para netizen dan youtuber tak hanya dari Tanah Air, tapi juga dari berbagai negara. Resepsi itu telah menyedot perhatian dunia.

Resepsi itu, yang digelar selama 24 jam nonstop, yang dihadiri jutaan nadhliyin dan disiarkan streaming di kanal Youtube, juga ditonton jutaan orang dari berbagai penjuru dunia. Apa yang tersuguh di sepanjang resepsi itu memang menampilkan wajah dan karakter NU yang sebenarnya. Tanpa bermaksud mengesampingkan keseluruhan acaranya yang penuh makna itu, saya akan memberikan sejumlah catatan terhadap apa yang bakal mempengaruhi masa depan masyarakat Indonesia bahkan dunia.

Advertisements

Yang pertama adalah pertunjukannya, terutama musik dan tari, lebih khusus adalah konser Selawat Asyghil. Banyak musisi ternama Tanah Air yang terlibat dalam resepsi ini, seperti gitaris Tohpati dan Dewa Budjana, Addie MS, Slank, dan koreografer Denny Malik. Tohpati dipercaya membuat aransemen untuk lagu Mars Satu Abad NU karya KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Addie MS membuat aransemen Selawat Asyghil ciptaan Imam Ja’far Ash-Shadiq, dan Denny Malik bertugas menata gerak-tari untuk Banser. Slank tampil sebagai penutup seluruh rangkaian acara.

Dari seluruh rangkaian pertunjukan itu, yang paling membetot perhatian publik hingga ke manca negara memang konser Selawat Asyghil yang diiringi orkestra megah dengan konduktor Addie MS itu. Diiringi aransemen musik yang indah nan syahdu, suara emas empat anak istimewa itu, yaitu Azzam Nur Mukjizat, Sayed Hasan Syauqi Alaydrus, Yasmin Najma Falihan, dan Majda terdengar nyaris sempurna dalam menyanyikan Selawat Asyghil.

Videoklip konser Selawat Asyghil itu kemudian diunggah di berbagai kanal media sosial selama berhari-hari oleh berbagai kalangan, terutama youtuber, dari berbagai negara dan ditonton oleh jutaan orang dari berbagai benua, berbagai agama. Banyak yang merinding, meneteskan air mata, dan berdecak kagum menyaksikan betapa indahnya wajah Islam di Indonesia.

Dari catatan yang pertama ini, ada sejumlah pesan yang bisa ditangkap dari pertunjukan itu. Yang pertama soal perdebatan hukum berkesenian, dalam hal ini yang berkaitan dengan alat musik, musik, nyanyian, tarian, dan semacamnya. Sepanjang untuk tujuan kebaikan dan dilakukan dengan cara yang baik, misalnya untuk syiar Islam dan dakwah, maka berkesenian merupakan bagian dari ibadah. Dus, perdebatan soal hukum halal-haram berkesenian seperti musik, nyanyian, tarian harus dianggap selesai.

Pesan ini perlu ditegaskan lantaran belakangan banyak yang dengan garang mengharam-haramkan musik dan melarang-larang orang berkesenian. Hingga, ada sejumlah musisi beken yang memilih berhenti bermusik setelah “hijrah”, kemudian berkampanye dengan menjadi pendakwah yang mengajak-ngajak orang lain untuk berhenti bermusik, menuding mereka yang masih berkesenian atau bermusik memakan uang haram. Kampanye mereka bisa membuat galau dan meresahkan kalangan masyarakat kesenian yang pemahaman agamanya “cetek”.

Yang kedua, melalui pertunjukan itu, NU ingin menegaskan pesan bahwa jamiyah ini memang mangayomi keragaman. NU diposisikan sebagai rumah keragaman itu. Karena itu, masyarakat Indonesia yang beragam, yang mayoritas muslim, yang profesi dan pekerjaannya dalam berkesenian diharam-haramkan itu, merasa terayomi dan terlindungi oleh keberadaan NU. Musisi Addie MS, sang konduktor orkestra Selawat Asyghil itu, salah satu yang merasa terayomi dan terlindungi ketika oleh NU diminta membuat aransemen musik Selawat Asyghil.

Jihad Melawan Khilafah

Catatan kedua dari resepsi 1 abad kelahiran NU adalah soal penegasannya menolak cita-cita mendirikan sistem khilafah terutama untuk di Indonesia. Pernyataan sikap NU tersebut dibacakan oleh Mutasyar NU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam bahasa Arab, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris oleh Yenny Wahid.

Sejatinya, pernyataan NU yang dibacakan Gus Mus tersebut merupakan salah satu rekomendasi dari Muktamar Internasional Fikih Peradaban I. Muktamar Internasional Fikih Peradaban I sendiri digelar di Sidoarjo sehari sebelum acara puncak resepsi satu abad kelahiran NU. Muktamar ini diikuti ratusan ulama dari berbagai negara. Muktamar ini kemudian menelurkan piagam, salah satunya berupa penolakan terhadap ide pendirian sistem khilafah yang dimaksudkan untuk menyatukan umat muslim ke dalam sistem tunggal satu negara.

Berdasarkan hasil Muktamar ini, NU kemudian membuat rumusan khusus atas sikapnya terhadap cita-cita mendirikan negara khilafah tersebut. Seperti dibacakan Gus Mus, cita-cita mendirikan negara khilafah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan nonmuslim, bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi.

NU berpandangan, cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilafah yang berakar pada tradisi fikih klasik harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat. Sebab, pemaksaan berdirinya negara khilafah justru mendatangkan kehancuran.

Dalam pernyataan yang dibacakan Gus Mus tersebut, juga disertakan contoh nyata terkini. Misalnya, upaya mendirikan negara khilafah yang diusung oleh kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) justru menimbulkan kekacauan dan peperangan di mana-mana, terutama di negara-negara muslim.

Di mata NU, jika pun cita-cita mendirikan negara khilafah tersebut akhirnya berhasil, juga akan menyebabkan runtuhnya sistem negara-bangsa (nation-state) serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia. Sejarah menunjukkan, kekacauan karena perang pada akhirnya akan selalu diikuti dengan penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga, dan harta benda.

Jika itu yang terjadi, maka pendirian negara khilafah justru bisa berlawanan dengan tujuan-tujuan pokok agama atau maqashidu syariah, yang tergambar dalam lima prinsip, yaitu menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga harta.

Sebagai gantinya, menurut NU, cara yang paling tepat untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islamiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau nonmuslim, serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia (ukhuwah basyariyyah). Dan salah satunya bisa dilakukan melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Karena itu, daripada bercita-cita menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara khilafah, NU lebih memilih jalan lain dengan visi baru melalui apa yang disebutnya dengan pengembangan fikih peradaban. Apa yang dimaksud dengan fikih peradaban ini adalah fikih yang akan dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia. Fikih peradaban ini perlu dikembangkan untuk mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia. Visi seperti inilah yang akan diperjuangkan NU pada abad keduanya.

Yang perlu digarisbawahi dari pernyataan yang dibacakan Gus Mus tersebut, bahwa sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia, dengan jumlah anggota (warga nahdliyin) yang mencapai hampir separo populasi Indonesia, sikap NU itu tak bisa dipandang sebelah mata dan tentu memiliki implikasi yang signifikan.

Yang sudah pasti, sikap NU tersebut akan menuai reaksi dan perlawanan semakin keras dari kelompok-kelompok pengusung dan pengasong sistem khilafah. Reaksi dan perlawanan itu sudah mulai muncul ke permukaan di lini masa dunia maya tak lama setelah resepsi satu abad kelahiran NU berakhir. Dengan berbagai cara, mereka akan terus memojokkan dan menggembosi NU.

Karena itu, seluruh elemen bangsa yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah seharusnya mendukung sikap NU tersebut. Sebab, kampanye masif sistem khilafah ini memang membahayakan dan bisa mengancam eksistensi NKRI. Dengan demikian, penolakan NU terhadap sistem khilafah tersebut layak disederajatkan dengan Resolusi Jihad yang diserukan KH Hasyim Asy’ari. Sebab, sama dengan penjajah, pada hakikatnya pendirian negara khilafah juga akan merebut dan menghancurkan negara ini. Maka, melawan upaya pendirian negara khilafah bisa menjadi bagian dari jihad. Jihad membela negara.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan