Buzzer, Pers, dan Santri

1,100 kali dibaca

Jagat maya dan jagat nyata di Tanah Air akhir-akhir ini begitu hibuk dengan perkara buzzer. Banyak debat publik dan pertentangan antarorang atau antarkelompok masyarakat yang bermula dari perkara buzzer ini. Banyak pihak, bahkan dari kalangan pers, yang kemudian mengeluhkannya. Fenomena buzzer dinilai akan bisa merusak sendi-sendi berdemokrasi. Dan kemudian ada pihak yang mengharamkannya.

Kita tahu, istilah ini dialamatkan kepada orang-orang yang “pekerjaannya” menyebarkan konten melalui platform media sosial (medsos) dengan tujuan menyebarkan dan membangun opini. Juga memerangi opini pihak yang berseberangan.

Advertisements

Istilah buzzer sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris, buzz, yang berarti dengung. Maka, buzzer juga berarti lonceng atau alarm atau pendengung. Istilah buzzer mulai banyak digunakan buat menunjuk para penyebar konten di medsos bertepatan dengan pemilihan kepada daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 dan berulang pada pemilihan presiden 2019.

Pada dua peristiwa politik tersebut, para pendukung masing-masing calon memainkan berbagai platform medsos untuk memenangkan jagonya dan menumbangkan lawannya. Sesungguhnya itu merupakan kegiatan politik, atau kampanye, dengan menggunakan platform medsos. Lazimnya sebuah kampanye, ia memang bisa menjadi positive campaign, negative campaign, atau black campaign. Itu hal lumrah saja. Tapi ke sanalah kemudian istilah buzzer dialamatkan.

Namun, dua peristiwa politik ini seakan memang “membelah” masyarakat menjadi dua kelompok atau kubu yang saling berhadapan, saling bermusuhan, secara oposisional yang terus berlanjut hingga hari-hari ini. Dan masing-masing kekuatan tetap menggunakan buzzer, atau ada saja orang yang mau menjadi buzzer untuk yang didukungnya.

Pers Terdesak

Dan di zaman yang dimanja kecanggihan teknologi informasi seperti saat ini, setiap orang memang dengan gampang bisa menjadi buzzer. Per definisi, itu perkara lumrah. Masalah datang ketika konten yang didengungkan secara substantif memang bermasalah, dan sang buzzer mengabaikan norma publik dalam “berdengung”.

Penyebaran konten, baik berupa teks, suara, maupun gambar melalui berbagai platform medsos sesungguhnya merupakan bagian dari apa yang di awal kemunculannya disebut sebagai citizen journalism, jurnalisme warga, setelah adanya jaringan Internet. Melalui jaringan Internet, setiap orang bisa menjadi jurnalis, menjadi wartawan, tanpa harus tergabung dan bernaung di bawah lembaga-lembaga pers konvensional. Tanpa memiliki “kartu pers”, setiap orang bisa dengan mudah berbagi dan menyebarkan informasi, opini, dan semacamnya melalui situs web yang dibuat sendiri, atau blog-blog pribadi, atau berbagai macam platform medsos.

Kemunculan citizen journalism dianggap keniscayaan sebagai buah dari perkembangan teknologi informasi digital. Ia dianggap bisa melengkapi “kekurangan” pers konvensional yang memang memiliki sejumlah keterbatasan. Tak semua peristiwa dan opini, misalnya, dengan berbagai alasan dan pertimbangan dapat diakomadasi oleh pers konvensional. Di “lubang” itulah citizen journalism masuk untuk memenuhi hak-hak dasar publik dalam memperoleh informasi dan menyatakan pendapat.

Era citizen journalism akhirnya memang menggerus pangsa pasar dan sumber daya pers konvensional. Pembaca dan pelanggan media-media konvensional menurun. Sumber-sumber pendapatan media-media konvensional terus terkikis sampai nyaris habis. Kita tahu, sudah banyak media-media konvensional bertumbangan tak kuasa melawan zaman.

Tak hanya itu, sebagai referensi pencarian informasi dan pembentuk opini publik, pers atau media-media konvensional memperoleh lawan setara. Orang tak lagi hanya mengandalkan pers atau media-media konvensional dalam mencari informasi atau berbagi opini. Produk citizen journalism, termasuk berbagai platform medsos, telah berkembang jauh dan bisa menjadi sumber informasi alternatif yang bisa diandalkan. Bahkan, dalam perkembangan terkini, berbagai platform medsos telah menjadi media penyebaran informasi yang lebih efektif dibandingkan dengan jangkauan media-media konvensional. Tidak jarang, untuk memperluas jaringan dan jangkauan pembaca, media-media konvensional justru banyak yang memanfaatkan jejaring medsos —menggunakan buzzer.

Dengan konfigurasi jejaring seperti itu, posisi pers konvensional kian terdesak. Sebab, pers konvensional tak lagi menjadi “kekuatan tunggal” dalam penggiringan dan pembentukan opini publik. Kita tahu, dalam masyarakat kita terkini, pertukaran dan peperangan opini di ruang-ruang publik justru lebih sering dimulai dari dunia maya, dari apa yang didengung-dengungkan oleh para pegiat medsos. Dan buzzer pun telah mengambil alih panggung ruang publik.

Peran Santri

Seperti dikhawatirkan pada awal kemunculannya, hal yang tak diinginkan akhirnya terjadi juga. Produk citizen journalism, termasuk berbagai platform medsos, dari awal kemunculannya dikhawatirkan bisa menimbulkan “kekacauan” ruang publik karena pengunggahan kontennya belum tentu mengikuti standar kerja dan kaidah-kaidah jurnalistik. Dan itulah, memang, yang terjadi di ruang publik kita akhir-akhir ini.

Ruang-ruang publik di jejaring medsos tidak banyak diisi dengan informasi-informasi yang valid dan pertukaran ide atau gagasan yang argumentatif. Konten yang bertebaran dan bersilewaran di jejaring medsos justru mengandung banyak penyesatan informasi (hoax), ujaran kebencian, fitnah, dan pengudaran hal-hal privat dan tabu. Masyarakat kita, yang terbelah secara tajam menjadi dua kubu akibat peristiwa-peristiwa politik itu, terus berperang melalui jejaring medsos itu. Masing-masing pihak menjadi buzzer.

Di mana posisi santri?

Santri tergolong sebagai komunitas yang dapat dibilang paling belakangan memasuki wilayah ini: citizen journalism dan jejaring medsos. Tapi, justru dengan begitu memiliki posisi yang menguntungkan. Sebab, di jejaring dunia maya, santri masih bisa berdiri pada posisi yang “netral” karena belum terkontaminasi oleh kedua belah kubu. Karena itu, di tengah centang-perenang jejaring medsos, santri justru bisa memainkan peran strategis dalam mengembalikan marwah ruang publik dengan menjadi “buzzer kebenaran”.

Sebagai gambaran simplifikasi, misalnya, sebelum ini yang ikut menguasai jejaring medsos adalah kelompok-kelompok radikal berbasis keagamaan. Karena itu, gerakan-gerakan Islam radikal seakan memperoleh panggung dan segala opini mereka menjadi wacana publik. Jika dibiarkan terus berlarut, akan terbangun opini bahwa yang benar adalah segala apa yang didengung-dengungkan oleh kelompok-kelompok radikal berbasis keagamaan itu. Maka, kehadiran santri di jejaring medsos akan memiliki makna strategis untuk meluruskan penyesatan informasi dan opini dari mereka.

Tak ada salahnya dan justru menjadi keharusan untuk menjadi buzzer, sepanjang itu sebagai buzzer kebenaran.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan