Buah Mangga Pengantar ke Surga

3,298 kali dibaca

Pohon mangga di halaman gubuk Nenek Salimah akhirnya berbuah untuk pertama kalinya. Tak sia-sia ia menanamnya. Kini buahnya bergelantungan di ranting pohon mangga yang tingginya hanya sepadan dengan badan manusia. Pohon mangga itu berbuah empat biji. Dua di ranting yang menjulur ke utara, duanya lagi di ranting yang menjulur ke selatan. Dahannya yang masih kecil, seukuran ibu jari manusia, nampak melengkung ke bawah, tidak terlalu kuat untuk menanggung beban buah mangga yang  besarnya hampir sepadan dengan kaki manusia.

Setiap hari Nenek Salimah memeriksa keempat buah mangganya. Menurut perkiraannya, dua buah mangga yang menjulur ke utara lebih meyakinkan untuk jatuh lebih dulu. Di samping warnanya yang sudah menguning, tangkainya juga sudah menampakkan tanda-tanda akan mengering. Ia yakin, satu atau dua minggu lagi salah satu dari kedua buah mangga itu akan jatuh. Dan sisanya, dua mangga yang rantinganya menjulur ke selatan, ia niatkan untuk disedekahkan ke suarau Kiai Mus.

Advertisements

Sudah sejak dua tahun yang lalu Nenek Salimah ingin bersedekah buah-buahan saat merayakan  Maulid Nabi Muhammad SAW di surau Kiai Mus. Tapi karena ia tidak punya cukup uang untuk membeli buah-buahan, harapannya pun tidak bisa ia wujudkan. Kebetulan waktu itu ada tetangganya yang menebang pohon mangga. Nenek Salima meminta salah satu dahannya untuk di tanam, dengan harapan buahnya dapat dipetik saat bulan maulid tiba.

Saat peringatan Maulid Nabi tinggal seminggu, keempat buah mangga Nenek Salima masih belum juga jatuh. Tiga minggu lalu, Nenek Salima sangat yakin kedua buah mangga yang menjulur ke utara itu akan jatuh minggu ini. Warnanya yang sudah menguning, dan tangkainya yang sudah mulai mengering, sangat menguatkan dugaannya. Tapi kenyataannya, dua buah mangga itu masih bergelantungan di ranting yang sudah kering itu. Ingin rasanya Nenek Salima memetik salah satu buah mangganya. Tapi perkataan mendiang ibunya dulu selalu menghantui pikirannya.

“Jangan sekali-kali kamu memetik buah pertama pohon mangga, kecuali salah satu dari buahnya itu jatuh sendiri.”

Nenek Salimah tertegun di hadapan pohon mangganya, maksud hendak memetiknya digagalkan oleh ingatan tentang pesan ibunya itu. Ia pun kurang tahu penyebab ibunya melarang memetik buah pertama pohon mangga. Tapi karena takut berdosa —sebab tidak mematuhi pesan orang tua, akhirnya Nenek Salima memilih pergi dari hadapan buah mangganya, dengan wajah kecewa.

“Mungkin Tuhan masih belum mengizinkan saya bersedekah di bulan maulid ini,” gumam Nenek Salimah dengan suara pelan penuh kesedihan.

***

Senja memerah, cahaya jingga tergurat di ufuk barat. Matahari sejengkal tenggelam, seakan mengintip orang-orang yang ramai menuju surau Kiai Mus. Mereka membawa berbagai jenis buah-buahan: salak, rambutan, mangga, dan berbagai jenis buah lainnya. Nenek Salima menatap murung di depan gubuknya, sambil sesekali menatap mangganya yang belum juga jatuh. Ia putus asa, keinginannya untuk bersedekah di bulan maulid kali ini sepertinya akan gagal lagi.

“Gusti, dosa apa yang telah hamba lakukan, sampai Engkau tak merelakan satu buah mangga pun untuk hamba sedekahkan,” gumam Nenek Salima dengan wajah menatap tanah. Perlahan air matanya pun jatuh, membasahi pipinya.

Setelah matahari benar-benar tenggelam, azan maghrib terdengar mengalun dari surau Kiai Mus. Nenek Salima yang sedari tadi duduk termenung di depan gubuknya tersadar saat mendengar suara azan. Tidak seperti bulan maulid yang sudah-sudah. Maulid kali ini Nenek Salima hanya berdiam diri di gubuknya. Ia tidak pergi surau Kiai Mus karena merasa malu, sebab sudah hampir tiga tahun ia tidak membawa buah-buahan untuk merayakan maulid Nabi di surau Kiai Mus.

Gelap semakin menyelimuti kampung, terdengar lantunan selawat Nabi bergema dari surau Kiai Mus. Perlahan suara selawat itu mengalun ke gubuk Nenek Salimah, lalu menyusup ke relung hatinya. Tanpa terasa air mata Nenek Salima jatuh. Terbesit dalam hatinya keinginan untuk pergi ke surau Kiai Mus. Tapi rasa malu menahannya. Deru angin dan suara binatang malam tertindih suara selawat dari surau Kiai Mus. Pelan mulut Nenek Salima juga mengikuti bacaan selawat itu, dengan air mata yang tak henti jatuh.

Setelah pembacaan selawat selesai, suara orang-orang yang pulang dari surau Kiai Mus terdengar jelas di telinga Nenek Salimah: gelak tawa dan senda gurau mereka bergema di telinganya. Wajah-wajah gembira mereka tergambar jelas di benak Nenek Salima. Ia seakan melihat dengan jelas orang-orang yang datang dari suarau Kiai Mus itu penuh rasa kebahagian, karena telah merayakan sekaligus menyedekahkan buah-buahan. Nenek Salima murung, mengingat niatnya tak juga terkabulkan.

***

Keesokan harinya, tersebar kabar yang menggegerkan para penduduk kampung: Nenek Salima di temukan mati di atas ranjangnya, tanpa luka sedikit pun. Buah mangga di depan gubuknya pun akhirnya terjatuh, terbentur penduduk kampung yang berdesakan— dengan wajah penasaran— mendatangi gubuk Nenek Salima untuk mencari tahu sebab kematiannya. Tapi kematian Nenek Salima tak ada yang bisa memberi penjelasan secara pasti, selain hanya jawaban “ takdir Tuhan”.

Satu minggu setelah kematian Nenek Salima, Kiai Mus bermimpi, dan menceritakan mimpimnya kepada para jamaahnya: ia bermimpi bertemu Nenek Salimah di surga, berteduh di bawah pohon mangga yang berbuah sangat lebat.

Yogyakarta, 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan