Branding Ekonomi Syariah

1,248 kali dibaca

Sudah beberapa tahun terakhir, temannya seorang teman dirundung galau. Ia sudah mengambil keputusan, tapi telah demikian lama tak berani mengeksekusi keputusannya itu. Ia sudah lama bekerja di sebuah bank umum swasta papan atas. Jabatannya senior manajer. Gajinya lumayan gede. Ia segera tumbuh sebagai keluarga kelas menengah, dengan masa depan yang lumayan baik.

Namun, sudah lama ia berniat cabut, resign. Niatan itu muncul segera setelah ia mendengar ceramah perkara riba dari seorang ustaz dalam sebuah forum pengajian. Menurut sang ustaz yang menyitir ayat Al-Qur’an, riba adalah haram dan harus dijauhi. Bank konvensional adalah riba dan harus dijauhi. Bekerja di bank konvensional sama artinya dengan memakan riba: haram selamanya. Karena itu ia ingin segera memulai babakan baru dengan berpindah kerja ke bank syariah atau berwiraswasta yang menurutnya akan jauh dari ekosistem ribawi.

Advertisements

Setelah mendengar ceramah sang ustaz, temannya seorang teman itu langsung mengajukan pengunduran diri. Sayangnya, pengunduran dirinya ditolak sehingga ia tak bisa cabut begitu saja. Ia tetap bekerja di sana dengan diliputi kegalauan karena merasa diri terus menerus memakan uang riba, namun tak juga kuasa pergi menjauh.

“Kenapa tidak berhenti sepihak saja, langsung keluar begitu saja,” teman saya bertanya kepada temannya itu.

“Kalau berhenti sepihak saya bisa kena penalti, tidak dapat pesangon,” jawabnya enteng.

Teman saya langsung terbahak, “Ha-ha-ha…” Sebab, pesangon dari bank papan atas memang tergolong jumbo.

Belakangan, fenomena yang dialami oleh temannya seorang teman seperti ini cukup banyak. Banyak profesional muslim yang bekerja di berbagai perusahaan besar nan bergengsi, di perusahaan global dengan berbagai bidang pekerjaan modern, tiba-tiba berhenti lantaran menganggap ekosistem di perusahaan-perusahaan tersebut atau bidang-bidang pekerjaannya ribawi. Mereka memilih “hijrah” dan kemudian bekerja atau berusaha apa saja yang dianggap tak ribawi. Belum bisa diprediksi trennya akan terus seperti apa dan bagaimana dampaknya terhadap daya saing generasi muslim di pasar global.

Yang pasti, saya termasuk orang yang gelisah membaca fenomena seperti itu. Bahwa riba adalah sesuatu yang dihukumi haram, suara juhmur ulama sudah bulat. Namun, tafsir atas apa yang disebut sebagai riba dan bagaimana pengukurannya tetap debatable selama berabad-abad. Karena itu saya meninggalkan perkara hukumnya, dan lebih memilih membaca apa yang terjadi di balik fenomenanya. Fenomena labeling syariah terhadap semua aspek kehidupan yang belakangan cukup marak di Tanah Air.

***

Sebagai orang yang dibesarkan di Jawa Timur dari lingkungan keluarga muslim, saya justru cukup gelisah ketika membaca pernyataan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang dimuat JawaPos.com pada Kamis, 15 Desember 2022. Di bawah judul berita “Masih Ada Fobia Ekonomi Syariah di Jawa Timur”, Khofifah menegaskan bahwa yang menyebabkan perkembangan ekonomi syariah di wilayahnya tak seperti yang diharapkan karena masih banyak masyarakat yang fobia terhadap ekonomi syariah.

Rupanya, dalam beberapa tahun terakhir, Jawa Timur tergolong daerah yang getol membangun perekonomian syariah di banyak sektor. Di mana-mana digalakkan enclave-enclave ekonomi syariah dengan beragam turunannya. Misal, wisata halal, rumah potong hewan halal, dan tentu saja ada koperasi syariah dan bank syariah. Namun, karena perkembangannya belum sesuai harapan, disebut banyak masyarakat yang masih fobia terhadap ekonomi syariah.

Ada sejumlah persoalan dalam klaim dan labeling syariah tersebut. Pertama, karena label syariah diidentikkan dengan ajaran Islam, maka ekonomi syariah identik dengan ekonomi Islam. Konsekuensinya, fobia terhadap ekonomi syariah bisa dicap sama dengan fobia terhadap ekonomi Islam. Maka, orang yang tak tidak menggunakan (produk) ekonomi syariah disebut fobia ekonomi syariah, yang akan sama artinya dengan fobia Islam, anti-Islam. Setidaknya akan disisihkan ke dalam kelompok yang tak mendukung perkembangan Islam.

Generalisasi seperti ini jelas sangat berbahaya, sebab akan membelah dan memperhadapkan secara berlawanan antara kelompok masyarakat yang pro-ekonomi syariah dengan yang tidak menggunakan produk ekonomi berlabel syariah. Akan membelah masyarakat yang bisa jadi juga sama-sama Muslim menjadi “kami” yang mendukung kemajuan ekonomi Islam dan “mereka” yang tak. Persoalan pilihan ekonomi bisa menjadi perkara surga dan neraka.

Mungkin kita alpa memikirkannya. Dalam persoalan yang pertama ini, di mana penggalakan kegiatan ekonomi syariah diperuntukkan guna mendorong kemajuan perekonomian umat, memang sebuah niatan yang mulia. Namun, pelabelan syariah juga mengandung bahayanya sendiri. Sebab, narasi serba syariah ini telah identik dengan dan menjadi strategi dari kelompok-kelompok radikalis, ekstremis, dan teroris dalam menyusupkan atau menginfiltrasikan paham mereka. Maka, labelisasi serba syariah ini sangat mungkin akan diboncengi mereka.

Jika mencermati apa yang sering disampaikan oleh seorang pengamat ekstremisme-terorisme, Gus Islah Bahrawi, pemboncengan terhadap labelisasi serba syariah ini bukan tidak mungkin terjadi. Dalam menerapkan konsep al wala wal bara, kelompok pengusung ideologi transnasional, yang radikalis dan ekstremis, pertama-tama memang membuat garis pemisah yang tegas antara yang syariah dan yang bukan syariah, yang Islam dan yang bukan Islam, yang sekeyakinan dan yang tidak. Setelah perbedaan itu diberi garis pemisah yang tegas, selanjutnya adalah penganjuran kebencian terhadap yang berbeda, terhadap yang berada di seberang sana. Ketika kebencian itu telah mengkristal sedemikian rupa, selanjutnya adalah penganjuran untuk memerangi terhadap semua hal yang dianggap berbeda, yang dianggap salah. Wujud amaliyahnya adalah terorisme itu.

Penjelasan itu mungkin terlalu simplifikatif. Tapi sistem kerja pengusung ideologi transnasional itu, dalam hal ini adalah Wahabi-Salafi, terbukti demikian adanya. Lebih-lebih, label syariah dalam konstalasi global saat ini memang telah menjadi “trade mark” mereka. Karena itu, proyek labelisasi serba syariah terhadap semua aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara ini memang layak dikritisi. Sebab, jika benar terjadi pemboncengan, dan seluruh aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara telah diberi label syariah, kita akan tergagap-gagap karena selangkah lagi tinggal dasar negara yang belum diberi label syariah.

Para penyebar Islam di Nusantara, terutama Wali Songo, sebenarnya telah memberi contoh terbaik bagaimana menyebarkan nilai-nilai Islam tanpa harus menggunakan pendekatan formalisme agama. Contohnya adalah wayang. Meskipun, Sunan Kalijogo telah melakukan sedikit modifikasi bentuk dan isi cerita pewayangan, ia tak serta merta menyebutnya sebagai “wayang syariah”. Namanya tetap wayang, isinya yang disesuaikan dengan nilai-nilai luhur dari ajaran Islam.

***

Persoalan kedua memunculkan kerancuan pada esensialitas keduanya, antara yang syariah dan yang nonsyariah. Pertanyaan sederhananya seperti ini: apakah setiap kegiatan ekonomi yang tidak diberi label syariah dengan sendirinya tidak syari atau bertentangan dengan syariah, dan itu berarti haram? Secara esensialis, ini pertanyaan otomatis ketika ada keharusan untuk mem-branding satu kegiatan ekonomi dengan label syariah, dan yang lain tidak, dan yang tidak menggunakan ekonomi syariah disebut fobia ekonomi syariah.

Kita akan menjadikan keberadaan bank syariah sebagai contoh dalam kasus ini karena seluruh instrumennya telah tersedia secara legal-formal. Munculnya bank-bank syariah di Indonesia dimulai sejak awal 1990-an dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kemudian, bank-bank konvensional diwajibkan memiliki unit usaha syariah (UUS) yang pada tahap selanjutnya harus spin off, berdiri sendiri menjadi bank syariah. Munculnya bank-bank syariah ini didasari oleh tafsir hukum yang menyebut bahwa praktik perbankan konvensional adalah ribawi, mengandung riba, dan tidak syari. Maka di Indonesia kemudian muncul dua sistem perbankan, yang satu dengan sistem syariah dan yang lain sistem konvensional —sebutan terakhir ini sebenarnya juga mengandung kerancuannya sendiri.

Berdasarkan tafsir hukumnya, begitu bank-bank syariah dibentuk, diharapkan seluruh umat Islam Indonesia yang populasinya mencapai 90 persen dari total penduduk berbondong-bondong atau bermigrasi dari bank konvensional ke bank syariah. Tapi nyatanya itu tidak terjadi. Bahkan, hingga tiga dekade kemudian, market share perbankan syariah di Indonesia belum pernah menyentuh di angka 7 persen dari total market perbankan nasional. Apakah ini berarti mayoritas masyarakat muslim Indonesia fobia terhadap ekonomi syariah?

Ada beberapa kemungkinan kenapa hal itu terjadi. Kemungkinan pertama, tak ada hukum tunggal terhadap praktik perbankan konvensional apakah termasuk ribawi atau bukan. Nyatanya banyak ulama yang berpendapat bahwa praktik perbankan konvensional tidak tergolong riba. Bahkan, Lembaga Fatwa Mesir, Darul Ifta, menegaskan bahwa praktik perbankan konvensional tidak tergolong riba, masih sesuai dengan syariat, termasuk sistem bunganya. Dengan fatwa itu, tak ada larangan bagi muslim untuk memanfaatkan jasa bank konvensional.

Kemungkinan kedua, justru bank-bank syariah yang tidak atau kurang compatible dengan perkembangan ekosistem perekonomian dunia, terutama sistem keuangan global, yang saling terhubung ke dalam jejaring yang demikian kompleks. Karena karakteristik dan batasan-batasan yang dibuatnya sendiri, perbankan syariah tidak memiliki daya saing seperti yang dimiliki bank-bank konvensional. Contohnya adalah apa yang terjadi Provinsi Aceh. Di provinsi ini yang boleh beroperasi hanya perbankan syariah, dan bank-bank konvensional harus hengkang dari sana. Apa yang terjadi? Aceh tetap menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia, dan beberapa kelompok masyarakat mulai menyuarakan keinginannya agar bank-bank konvensional boleh beroperasi kembali di sana.

***

Persoalan ketiga, proyek labelisasi syariah ini justru dapat menggiring umat Islam ke dalam ghetto-ghetto baru, kantung-kantung kemiskinan baru, karena memisahkan diri dari sistem ekonomi global sebagai sebuah keniscayaan, yang dicap sebagai tidak syari. Apa yang terjadi pada temannya seorang teman di awal tulisan ini adalah contohnya. Dia tak sendirian. Begitu banyak generasi muslim yang seperti dia. Dan ketika semakin banyak generasi muslim yang seperti ini, akan semakin banyak negeri-negeri muslim yang kian tertinggal jauh dari kemajuan peradaban. Sebab, dunia akhirnya sepenuhnya berada dalam genggaman “mereka”.

Riset dan kajian mendalam yang dilakukan oleh Ahmet T Kuru, yang tersaji dalam buku Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: Global Historical Comparison (2019), membuktikan hal tersebut. Negeri-negeri muslim, yang menerapkan syariah atau hukum Islam secara kaku, keras, dan tertutup tanpa adanya tafsir kontemporer yang kontekstual, cenderung terbelakang di berbagai bidang kehidupan, terutama di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi dan industri, dan kesehatan. Dengan kondisi seperti ini, mustahil orang Islam mampu mengemban misi sebagai khalifah di Bumi, tujuan sebenarnya kita diturunkan ke planet ini. Karena itu, kita perlu hati-hati membuat branding syariah. Selain terus akan diintai dan diboncengi oleh kaum radikalis-ekstremis, bisa menyebabkan dunia muslim makin tersuruk di belakang panggung sejarah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan