“Apa yang paling membuat kalian merasa tidak nyaman?”
Pertanyaan tersebut saya lontarkan saat mengisi sebuah diskusi yang mewajibkan saya mengulas sebuah Novel berjudul Calabai. Tentu saja saya tidak mengharapkan jawaban yang identik atas pertanyaan tersebut. Semua bebas menjawab berdasarkan pengalaman masing-masing. Mendengarkan jawaban yang beraneka ragam membuat saya selalu tersenyum. Biasanya, selepas memberikan apresiasi atas jawaban mereka, saya menawarkan jawaban lain yang saya ambil dari isi novel karya Pepy Al-Bayqunie tersebut.
“Semua jawaban benar, tentu saja, namun dalam konteks ini, saya sepakat dengan novel Calabai, bahwa yang paling membuat tidak nyaman adalah saat kita tidak bisa menjadi diri sendiri.”
Perihal tidak bisa menjadi diri sendiri ini pulalah yang menjadi pokok persoalan dari novel setebal 380 halaman ini. Novel sejarah ini menceritakan perjalanan hidup seorang pemimpin Bissu, Puang Matoa Saidi. Bissu sendiri merupakan penjaga tradisi yang menempati posisi penting dalam sistem sosial masyarakat Sulawesi pada masa pra-Islam. Kedudukan Bissu sangat tinggi di masyarakat, bahkan, mereka dulu menjadi penasihat raja dan dewan adat. Akan tetapi, seiring datangnya Islam, keberadaan Bissu mulai terancam. Mereka dianggap menyimpang dan melawan kodrat Tuhan. Hal ini karena Bissu merupakan manusia dengan keistimewaan yang belum bisa diterima oleh masyarakat.
Bissu adalah manusia paripurna yang telah “lulus” dari kategorisasi jender. Mereka laki-laki secara fisik, namun perempuan secara psikologis. Dijelaskan pula bahwa Bissu adalah tataran tertinggi, sedangkan Calabai adalah tataran rendah yang masih terkungkung nafsu biologis. Tidak berhenti sampai di situ, Bissu sendiri nantinya dibagi lagi menjadi sepuluh tingkatan, dari Cole-cole yang terendah hingga Puang Matoa sebagai Bissu tertinggi.