Bissu dan “Manusia Paripurna”

1,996 kali dibaca

“Apa yang paling membuat kalian merasa tidak nyaman?”

Pertanyaan tersebut saya lontarkan saat mengisi sebuah diskusi yang mewajibkan saya mengulas sebuah Novel berjudul Calabai. Tentu saja saya tidak mengharapkan jawaban yang identik atas pertanyaan tersebut. Semua bebas menjawab berdasarkan pengalaman masing-masing. Mendengarkan jawaban yang beraneka ragam membuat saya selalu tersenyum. Biasanya, selepas memberikan apresiasi atas jawaban mereka, saya menawarkan jawaban lain yang saya ambil dari isi novel karya Pepy Al-Bayqunie tersebut.

Advertisements

“Semua jawaban benar, tentu saja, namun dalam konteks ini, saya sepakat dengan novel Calabai, bahwa yang paling membuat tidak nyaman adalah saat kita tidak bisa menjadi diri sendiri.

Perihal tidak bisa menjadi diri sendiri ini pulalah yang menjadi pokok persoalan dari novel setebal 380 halaman ini. Novel sejarah ini menceritakan perjalanan hidup seorang pemimpin Bissu, Puang Matoa Saidi. Bissu sendiri merupakan penjaga tradisi yang menempati posisi penting dalam sistem sosial masyarakat Sulawesi pada masa pra-Islam. Kedudukan Bissu sangat tinggi di masyarakat, bahkan, mereka dulu menjadi penasihat raja dan dewan adat. Akan tetapi, seiring datangnya Islam, keberadaan Bissu mulai terancam. Mereka dianggap menyimpang dan melawan kodrat Tuhan. Hal ini karena Bissu merupakan manusia dengan keistimewaan yang belum bisa diterima oleh masyarakat.

Bissu adalah manusia paripurna yang telah “lulus” dari kategorisasi jender. Mereka laki-laki secara fisik, namun perempuan secara psikologis. Dijelaskan pula bahwa Bissu adalah tataran tertinggi, sedangkan Calabai adalah tataran rendah yang masih terkungkung nafsu biologis. Tidak berhenti sampai di situ, Bissu sendiri nantinya dibagi lagi menjadi sepuluh tingkatan, dari Cole-cole yang terendah hingga Puang Matoa sebagai Bissu tertinggi.

Menjadi Bissu bukanlah perkara mudah, karena memang selain harus mengalahkan nafsunya sendiri agar lulus menjadi pengemban amanah, dia juga harus ‘dipilih’ oleh semesta. Selanjutnya mereka diberi petunjuk melalui mimpi dan akhirnya dengan serangkain upacara adat disahkan menjadi seorang Bissu.

Berbincang tentang komunitas Bissu, secara sistem jender, banyak antropolog yang mengungkapkan lima jender yang ditemui di Bugis. Graham (2002, hlm. 27), misalnya, memaparkan bahwa sejak dulu masyarakat Sulawesi Selatan telah mengakui lima jenis jender, yaitu uruane (laki-laki), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki), calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan), dan bissu (para-jender). Bila diibaratkan jari tangan, jempol dan kelingking adalah laki-laki dan peremuan, telunjuk dan jari manis adalah calabai dan calalai, sedangkan jari tengah adalah bissu itu sendiri. Saya sudah menuliskan di awal bahwa menjadi Bissu bukanlah hal yang mudah, dari cap yang menyalahi kodrat, hingga nafsu yang harus dikekang sepanjang hidupnya.

Kembali ke novel, kebingungan demi kebingungan juga dirasakan oleh tokoh utama dalam novel tersebut, Saidi. Dia merasa bahwa kondisi dan wataknya itu benar-benar memunggungi agama yang dia kenal sejak kecil. Saidi terus dilanda rasa cemas dan takut. Pergolakan batinnya sering kali membuat dia berkonflik dengan dirinya sendiri dan dengan keluarganya. Singkat kata, karena tidak bisa bertingkah layaknya “lelaki sejati”, dia sering mendapatkan amukan dari ayahnya. Ini pulalah yang membuatnya berlari menjauhi rumah. Pelarian inilah yang nantinya akan membawanya berkenalan dengan komunitas Bissu.

Bagi saya pribadi, bagian yang memberikan “oh iya moment” dari novel terbitan Javanica tahun 2016 tersebut sehingga layak untuk dibahas adalah saat Saidi bertemu dengan salah satu tokoh ulama nyleneh di Jawa.

Diceritakan bahwa saat itu, setelah dinobatkan sebagai Bissu teratas, Saidi harus menghadiri undangan di luar pulau (Jawa). Saat itulah ia bertemu dengan ulama yang nyentrik. Selama ini, sejauh pengalamannya, ulama selalu menentang keberadaan ‘makhluk’ bernama Calabai. Bahkan konflik antara orang agama dan Calabai ini tidak jarang berujung pada kekerasan fisik. Namun sosok ulama yang satu ini malah bertindak sebaliknya. Dia bukannya menghindari Calabai, tapi tanpa enggan ia malah berbaur dengan mereka, membesarkan hati mereka, dan menjadi teman mereka saat yang lain tidak mau melakukannya. Tentu saja hal ini mengundang rasa penasarannya: “Mengapa seorang yang sewajarnya menentang keberadaan mereka, justru tanpa risih merangkul mereka?”

Novel tersebut juga diisi dengan dialog berbobot tentang alasan sang ulama untuk tidak risih dengan manusia-manusia Calabai. Intinya adalah, bahwa yang dilarang dalam agama adalah tindakan, bukan watak atau yang mengarah pada karakter, karena memang karakter atau watak itu sebuah bawaan dari Tuhan. Ia bukan produk yang dibuat-buat dan bisa diubah seenak sendiri.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah, mengapa Tuhan yang katanya Maha Segalanya itu bisa seolah “salah” memasukkan jiwa wanita ke tubuh lelaki atau sebaliknya? Kenapa Tuhan tidak adil dengan membiarkan mereka terkena diskriminasi sepanjang hidupnya? Mengapa Tuhan tidak adil, karena dengan “misplacing” tersebut, orang-orang spesial itu tidak mempunyai kesempatan untuk membangun rumah tangga? Ah, jangankan rumah tangga, bahkan jatuh cinta pun dosa buat mereka.

Jawaban dari rentetan pertanyaan tersebut, sesuai dengan dialog yang ada di novel, sebenarnya cukup sederhana saja. Kata sang ulama tadi, bagaimana apabila yang dianggap “Ketidakadilan Tuhan” tersebut sebenarnya merupakan bentuk kasih sayang Tuhan kepada mereka? Kalau kita mau berpikir terbalik, misalnya, bahwa mereka yang “salah wadah” tersebut sebenarnya adalah orang-orang yang diberikan privilege? Orang-orang spesial yang disuruh Tuhan untuk berpuasa sepanjang hayatnya? Berpuasa dari banyak hal, terutama dari dorongan berahinya? Karena memang ada banyak batasan, baik kultural maupun religi, yang melarang mereka melakukan hal tersebut. Dan kita sama-sama paham bahwa puasa, di antara ibadah lainnya, merupakan ibadah yang paling “intim”.

Bagaimana semisal dengan mekanisme yang tadi, sebenarnya mereka diberikan sedikit “akses lebih” untuk dapat bisa lebih berkonsentrasi mengabdi kepada Tuhannya, tanpa harus repot memikirkan pasangan ataupun anak yang kata Tuhan dalam salah satu firman-Nya adalah ujian? Bagaimana bila, sebagaimana yang ditulis dalam novel tersebut, tidak sedikit yang memilih sendiri dalam hidupnya karena sudah menemukan kekasih kekalnya: Tuhan?

Bisa jadi, bahwa mungkin analogi puasa dan dialog dengan sang ulama tadi merupakan penjelasan tentang keberadaan mereka. Sekali lagi, mereka bukanlah “kesalahan” Tuhan. Mereka ada untuk memberikan pelajaran, bahwa kasih sayang Tuhan sangat beragam bentuknya.
Yang dilarang oleh agama pada mereka adalah “berbuka” dari puasa mereka, dengan “bertindak” mengubah kelamin mereka, mengumbar nafsu mereka dengan sejenis, atau tindakan lain yang mengindikasikan “berbuka sebelum waktunya”. Batasan mereka jelas: tindakan. Mereka adalah orang yang diizinkan oleh Tuhan untuk selalu berjuang mengekang dorongan biologis dan psikis.

Sekali lagi sebagai penutup, bagi saya novel tersebut memberikan pemahaman baru bagi saya bahwa manusia spesial seperti yang ada di novel tersebut adalah orang-orang yang sedang diminta berpuasa. Sehingga, selayaknya orang yang berpuasa, kita wajib menghargainya. Sedangkan, gerakan-gerakan LGBTQ yang saat ini sedang marak adalah mereka yang berusaha untuk melegitimasi, membenarkan secara hukum, bahwa berbuka puasa sebelum saatnyamokel, itu sah-sah saja.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan