Biografi Kipas Angin

1,190 kali dibaca

Kipas angin di samping ranjang bergerak-gerak ke arah kanan dan kiri, mengirim angin ke seluruh ruangan. Suaranya bergemuruh, seperti larut dalam sebuah percakapan dengan detak jarum jam di dinding kamar. Keduanya sama-sama berperang melawan kesenyapan malam. Angin dari kipas itu menderas ke arah gorden hingga tersingkap-tertutup seterusnya membuat bulan sabit terlihat dari kaca jendela, menggoyang-goyang gelas karet tempat pensil dan spidol, menyingkap lembar-lembar buku, menerbangkan kertas dan benda ringan lainnya.

Jika arah putarnya kebetulan lurus ke arahku, rambutku terurai berantakan menyampiri wajah dan telinga, sebelum akhirnya menyerbu leher bagai wadah es ditempelkan pada kulit. Aku menggigil. Kulihat empat tombol pengatur kecepatan di tangkai kipas itu. Tombol angka 1 tertekan, itu sudah yang paling pelan, sebab di bawahnya sudah tombol off/on yang seandainya dipencet membuat kipas itu henti berputar.

Advertisements

Ibel—yang tidur di tengah-tengah antara aku dan istriku—terlihat sangat nyenyak. Bagai ashabul kahfi yang merindukan silir angin setelah ratusan tahun tertidur di dalam gua. Rambut tipisnya bergoyang oleh desir angin, sesekali terdengar mengorok, seakan sengaja belajar pada gemuruh kipas. Jika kipas itu kumatiakan, atau kunyalakan dalam keadaan diam tak begerak ke kanan dan ke kiri, maka Ibel akan gerah, ia akan bangun dengan sendirinya setelah menggeliat sambil menangis, peluh bertabur di keningnya. Itulah sebabnya kuabaikan kipas itu bergerak terus, mengirim angin ke seluruh ruangan, meski aku sendiri sebenarnya sangat tidak nyaman dengan kipas itu.

Melihat Ibel tidur nyenyak aku sangat bahagia.

Kebahagiaanku melihat Ibel tidur nyenyak melebihi ketidaknyamananku disembur angin. Maka kubiarkan kipas itu berputar dan bergerak demi Ibel, walaupun tak ada yang tahu bahwa angin yang merayapi tubuhku saat tidur akan menyeret dua kenangan ganjil dalam hidupku.

***

Suatu malam yang digegas rinai hujan, aku berteduh di bangunan bekas toko yang emperannya terhubung langsung ke jalan raya. Tak seorang pun ada di sana. Andai tidak ada lalu-lalang kendaraan di jalan itu mungkin aku tidak berani berteduh di  tempat itu.

Aku duduk di bangku kayu tua yang salah satu kakinya sudah lenyap dikikir rayap. Di belakang punggungku, lembaran pintu kayu sepanjang tiga meter tertutup rapat. Catnya mengelupas dan sebagian dibedaki debu, coretan-coretan hitam dan kertas iklan tahun sembilan puluhan. Juga ada sarang rayap meliuk di datar kayu itu. Ujungnya persis melintasi gembok karat yang sudah berpuluh tahun tak pernah bertemu anak kunci.

Di dalam toko itu, aku tak bisa membayangkan keadaannya seperti apa, karena menurut banyak cerita, beragam kejadian aneh berasal dari dalam toko itu; sebagian orang mendengar ada tangis bayi saat dini hari, ada suara orang mengaduh, ada jeritan, suara anjing, suara geluduk benda-benda seperti tengah diadu, suara orang tertawa, dan suara gaib lainnya. Sebagian warga yang berani pernah mengecek ke dalam toko itu, tapi tak ada apa pun di dalamnya, kecuali harum kemenyan menusuk hidung.

Cerita itu membuatku merinding dan hampir saja menyalakan motor untuk pergi menerobos hujan, tapi beruntung tiba-tiba ada seorang nenek memanggul karung tergopoh-gopoh berteduh di toko itu, seluruh tubuh dan pakaiannya basah. Ia berdiri di sampingku sambil mengelap butiran air di tubuhnya, merebaklah bau amis yang cukup membuat perut mual dan terpaksa kututup hidung. Hujan terus menderas, disertai angin kencang dan sentakan petir. Kami berdua duduk terdiam. Tak saling menyapa. Nenek itu mengeluarkan barang-barang bekas dari karungnya. Aku mengira dia seorang pemulung. Tapi ada keganjilan yang kurasa, mengapa ia harus memulung di malam hari.

“Apa kamu sudah punya istri?” tanyanya tiba-tiba tanpa menolehkan wajah. Saya tak langsung menjawab, sebab siapa tahu dia hanya orang gila yang bicara sendiri. Dia mengulangi pertanyaan yang sama sambil menoleh ke arahku.

“Iya. Saya punya istri,” jawabku.

“Tapi belum punya anak, kan?”

“Nenek kok tahu?”

Nenek itu tersenyum, tangannya terus membolak-balik sampah hasil memulungnya malam itu. Ia tak menjawab pertanyaanku.

“Sebentar lagi kamu akan punya anak, tapi kesukaan anakmu akan berseberangan dengan kesukaanmu,” nenek itu lanjut berkata saat tangannya terhenti dan matanya lurus memandangi hujan. Aku ingin merespons pernyataannya, tapi dia nyeletuk lagi.

“Mengalahlah pada kesukaan anakmu untuk hal-hal yang remeh, sebab anak itu emas. Jangan sampai kau sepertiku.”

“Lho? Memangnya nenek kenapa?” aku heran. Nenek itu tak menjawab sepatah kata pun. Ia menyimpul tali sangat erat di bagian ujung karungnya. Wajahnya seperti menahan kenangan pahit.

“Biar kuceritakan nanti saja,” jawabnya kemudian. Ia bergegas ke arah pintu toko yang lapuk. Membukanya pelan-pelan, lalu masuk dan menutup pintu itu kembali setelah melepas seuntai senyum. Pikiranku tak keruan. Ingatan terpaut pada apa yang kukatakan tadi, khawatir nenek itu tersinggung pada pertanyaanku. Beberapa menit mataku beradu tatap dengan linang air hujan yang disorot lampu dan berjatuhan memukul aspal.

“Astaga!” seketika aku merinding. Sejenak menoleh ke arah pintu itu. Apa yang baru saja kulihat sebenarnya peristiwa horor, hanya saja pikiranku tak sadar. Tak mungkin ada nenek-nenek mencari sampah di malam hari. Tak mungkin nenek itu leluasa membuka pintu yang sudah terlihat sangat lapuk dan gemboknya sudah kehilangan anak kuci. Tak mungkin ia tinggal di dalam ruangan yang sudah puluhan tahun tidak digunakan.

Aku lekas menaiki motor, menyalakannya dan melaju menerobos hujan.

***

Bulan setelah aku bercakap dengan nenek misterius itu ternyata istriku hamil. Satu hal yang terus kuingat dari pertemuan ganjil itu adalah perkataan si nenek, bahwa anak itu emas, aku harus mengalah. Hari-hari berikutnya tak ada yang mau berbicara tentang anak denganku sebagaimana nenek itu, padahal aku senang berbicara tentang anak. Aku rindu pada nenek itu meski ia misterius.

Aku ingin ia kembali membicarakan anak, tepat di saat aku menunggu kelahiran anak seperti saat ini.

Suatu pagi yang cerah, aku kembali datang ke bekas toko tua itu. Niatku hanya untuk bertemu si nenek. Setiba kaki memijak lantainya yang lusuh, aku memberanikan diri, membuka pintu lapuk walau tangan sangat gemetar dan jantung berdetak kencang menahan rasa penasaran sekaligus rasa takut. Aku mendorongnya pada bagian yang sudah pecah oleh mulut rayap, sebagaimana si nenek pada malam itu masuk dengan cara santai; hanya mendorong bagian pintu itu sekali saja tanpa membuka gembok, pintu terkuak sendiri.

Tapi pagi itu, sirap pintu lapuk sangat angkuh melawan kekuatan tanganku yang medorongnya dengan kuat. Aku mencobanya dengan dorongan yang lebih kuat lagi, tapi tetap gagal, hanya membuat napas tersengal dan keringat memburai.

“Hai, Nak! Untuk apa kamu bersikeras mau membuka pintu itu?” tiba-tiba ada suara di belakang punggung. Saat kutoleh, ternyata seorang kakek penuh uban berdiri memikul keranjang bambu. Ia  tersenyum menampakkan gigi tunggalnya yang hitam.

Setelah bercakap seperlunya, kami pun duduk di emperan toko sambil merokok dan melihat lalu-lalang kendaraan. Tertawa dan bercerita. Dan tertawa lagi. Hingga kami sampai pada pembahasan tentang anak. Kami masih terus merokok dan terbahak, larut dalam obrolan yang demikian lengket di telinga, terlebih setelah kakek itu mengambil dua buah teh gelas dari keranjangnya dan menyilakanku minum. Aku pun langsung meminumnya tanpa mengecek tanggal kedaluwarsanya. Mungkin karena rasa haus yang terlalu menekan.

“Jabang bayi dalam rahim istrimu berjenis kelamin perempuan,” sekonyong-konyong kakek itu membahas kandungan istriku, seolah ia dukun yang pintar menebak. Aku terkejut dan keget hingga membuka bibir yang sebelumnya erat mengisap ujung sedotan.

“Kakek ini main tebak saja. Kok tahu kalau istriku hamil?”

“Aku bisa melihat dari wajahmu,” jawabnya enteng sebelum meneguk teh tanpa sedotan. Bagiku jawabannya terlalu absurd. Aku menatapnya penuh selidik.

“Bayi yang ada dalam perut istriku itu laki-laki, sebagaimana keinginanku,” aku bertingkah. Tapi kakek itu tertawa, terkekeh, matanya terpejam dan gigi tunggalnya seperti ingin copot.

“Jangan banyak tingkah, syukuri kau sudah dikarunai anak, laki-laki atau perempuan itu tidak penting, yang penting gampang saat melahirkan, istri dan anakmu selamat.”

“Amin, Kek! Doakan ya.”

“Pasti,” jawabnya tegas dan ia merogoh keranjangnya ke bagian paling dasar. Rupanya ia mengambil selembar kipas yang terbuat dari anyaman bambu, lalu diberikannya kepadaku. Aku tidak tahu apa maksudnya. Ditanya pun ia tak menjawab, hanya tersenyum. aku diam mengamati kipas itu dengan perasaan setengah heran, lalu kakek itu pamit dan masuk ke dalam toko bekas itu. Aku terperanjat dan baru sadar, ada keanehan lagi, segera kudorong pintu lapuk itu sekuat tenaga, tapi sangat kuat, kuat sekali.

***

Malam ini aku menatap Ibel tidur nyenyak di antara deru kipas angin yang berputar-putar membuatku menggigil serasa ingin muntah. Pelan-pelan aku mengeja kenangan perihal nenek dan kakek misterius di bangunan bekas toko itu. Apa yang mereka ramalkan ternyata benar, anakku perempuan dan suka pada sesuatu yang tak kusuka; kipas angin itu. Pantas saja kakek itu dulu memberiku kipas bambu, mungkin sebagai simbol kesukaan putriku.

Menurut cerita bibi, bekas toko itu dulu milik sepasang suami-istri yang anaknya mati karena si istri itu keras dan tak mau mengalah kepada anaknya. Setelah anaknya mati, ia baru sadar perbuatan kejamnya. Suami-istri itu mennginginkan anak lagi, tapi keinginan itu sia-sia, hingga keduanya mati bunuh diri di dalam toko itu karena hingga usia kakek-nenek tetap tak punya anak.

Dua hari yang lalu beredar kabar, toko tua itu terbakar hangus dan luluh lantak serata tanah. Aku membayangkan nenek dan kakek misterius yang pernah menemuiku dan masuk ke toko itu pasti mati di dalamnya. Sambil kuduga-duga, merekalah arwah pasangan suami-istri yang dulu bunuh diri di toko itu.

ilustrasi: keepo.me

Multi-Page

Tinggalkan Balasan