Binatang Buas di Lembaga Pendidikan

903 kali dibaca

Manusia, sesuci apa pun, tidak mungkin menjadi malaikat. Di dalam diri manusia selalu ada dorongan-dorongan sabu’iyah, yakni hasrat buas untuk memangsa manusia lain atau dalam istilah Plautus, dalam Asinaria, homo homini lupus est. Dalam kadar tertentu, dorongan demikian lemah dan bisa ditundukkan. Namun, dalam saat lain, ia bisa jadi  muncul dan berkuasa.

Di lembaga pendidikan, dorongan binatang buas ini di dada peserta didik dan pendidik tidak jarang bertakhta. Kasus-kasus kekerasan hingga yang mengakibatkan korbannya tewas yang dilakukan siswa kepada siswa lainnya bisa kita baca dengan mudah di media. Yang terbaru adalah santri memukul santri lain hingga tewas. Kasus terakhir ini mengejutkan sebab pesantren adalah pendidikan plus. Ia berdiri di atas dua fundamen mulia: ilmu dan agama.

Advertisements

Kita sepakat bahwa tidak ada lembaga pendidikan yang mengizinkan tindak kekerasan macam binatang buas ini. Ketika ada kasus tewasnya siswa atau santri yang dibogem, ditendang, atau dipukul pakai pentungan oleh temannya sendiri, kita jelas diizinkan bertanya tentang apa yang salah dengan lembaga pendidikan tersebut.

Saya pribadi mengamati ada dua hal yang menyebabkan tragedi itu terjadi.

Pertama, pembiaran. Tindak kekerasan itu terjadi karena dibiarkan oleh siswa. Siswa membiarkan temannya dipukuli habis-habisan sebab dia tidak mau menanggung risiko jika melaporkan kasus tersebut kepada pihak lembaga.

Pola kekerasan jenis ini semacam aksi mafia yang bercirikan adanya geng atau kelompok dan juga kuasa disebabkan senioritas. Siswa kelas atas, yang merasa paling senior dan kadang pula diberi kepercayaan oleh lembaga untuk mengurus adik-adik yuniornya, tampil sebagai binatang buas. Mereka tidak hanya melebamkan korban, tapi juga pihak-pihak yang berani melaporkan tindakan mereka kepada pihak berwenang.

Karena ada pembiaran dari siswa, pihak lembaga jelas tidak tahu tentang hal tersebut. Para alumni juga tutup mulut sebab merasa tidak ada gunanya membicarakan hal tersebut ke publik karena bisa-bisa dianggap mencemarkan lembaganya. Alumni yang lain tentu tidak terima jika ada temannya sesama alumni membicarakan aib lembaganya sebab mereka adalah eks pelaku kekerasan itu sendiri.

Para yunior yang dulunya dihantam badai kekerasan oleh seniornya, kelak ketika mereka menjadi senior pula, akan melakukan kekerasan serupa sebab meyakini bahwa tindak kekerasan halal dilakukan sekaligus menjadi ajang balas dendam.

Bisa juga pemangku kebijakan yang memang membiarkan tindak kekerasan itu terjadi, sebab menganggap bahwa ia merupakan metode paling efektif melatih kedisiplinan anak didiknya. Para senior yang diberi mandat oleh lembaga didorong melakukan demikian. Kita tahu, saat ada kesempatan, dorongan binatang buas ini akan mengaum dan perlahan akan menunjukkan taring kebuasannya. Pembiaran demi pembiaran yang terjadi selama puluhan tahun akan mengubah wajah kekerasan menjadi perihal mengasyikkan sekaligus dibenarkan.

Kedua, pembodohan. Relasi yang tidak seimbang antara siswa-guru atau santri-kiai memudahkan terjadinya pembodohan kepada pihak yang lebih lemah, yakni siswa atau santri. Untuk membenarkan tidak kekerasan yang dilakukan lembaga baik lewat tindakan guru, pengurus, kiai, dan seterusnya, mereka menciptakan pembenaran-pembenaran atas tindakan mereka tersebut lewat doktrin yang sulit dipahami akal sehat. Misal, untuk membentuk kedisiplinan, agar mendapatkan barakah, bisa meraih metafakta, dan lain sebagainya.

Maksudnya, ketika siswa atau santri diperlakukan tidak semestinya oleh pihak lembaga, mereka harus menerima dengan lapang dada, sebab itu merupakan proses kedisiplinan, salah satu cara mendapat barakah, atau ilmu metafakta.

Sebaliknya, jika mereka melawan dan memberontak, mereka terancam akan dilabeli siswa yang tidak mau disiplin, tidak akan mendapatkan barakah dan ancaman-ancaman serupa yang sebenarnya artifisial.

Proses pembodohan ini mudah karena memang pihak siswa atau santri sejak awal dilemahkan sebagai objek yang dalam keutuhan nasib masa depannya berada di tangan lembaga. Mereka dipaksa tidak kritis. Mereka dipaksa sami’na wa atha’na dengan keyakinan yang diinstal dalam dada mereka bahwa apa pun yang dilakukan pihak lembaga kepada mereka adalah yang terbaik bagi mereka.

Sekali lagi kita sepakat tidak ada lembaga pendidikan apalagi pesantren yang mengizinkan atau mengajarkan anak didiknya menjadi homo homini lupus est. Jika kemudian fakta mengungkap bahwa kebuasan-kebuasan tersebut dari level mini hingga maksi biasa terjadi di lembaga tersebut, jelas perlu dievaluasi apakah itu karena pembiaran, pembodohan, atau hal-hal lain yang wajib dibenahi dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan