Bila Santri Telat Kiriman

1,486 kali dibaca

Pada masa saya nyantri, kiriman dari rumah bukan uang, tapi bekal berupa beras (beserta lauk awetan) untuk dimasak di pondok. Setidaknya itu pengalaman saya sebagai santri di Pondok Pesantren Annuqayah, termasuk santri (mungkin tidak semuanya) yang semasa dengan saya. Santri yang satu pondok dengan saya, model kirimannya hampir sama dan tidak jauh berbeda. Belum lumrah dikirim berupa rupiah dalam bentuk nontunai, melalui bank misalnya. Saat itu nomor rekening bagi saya masih dalam hayalan.

Pada suatu hari, kiriman saya telat umtuk beberapa hari. Sebenarnya hal seperti ini sesuatu yang lumrah. Biasanya kiriman yang sedianya satu bulan, masih bersisa untuk beberapa hari ke depan. Setidaknya dua atau tiga hari masih bisa makan dari sisa sebulan. Namun saat itu, beras saya benar-benar ludes. Tidak bersisa sedikit pun, dan itu artinya saya harus menahan lapar entah sampai kapan waktunya.

Advertisements

Keluarga saya memang sederhana. Tetapi bukan berarti kere-kere amat. Kalau hanya untuk makan tidak pernah kekurangan. Kalau tiba-tiba kehabisan, dan perlu upaya untuk memenuhinya, itu sudah biasa. Entah mengapa saat itu kiriman saya telat. Saya tidak tahu pasti. Mungkin karena ada satu kepentingan yang membuat anggota keluarga saya tidak bisa berkunjung ke pesantren.

Biasanya, yang berangkat untuk mengantarkan kiriman adalah kakak perempuan saya. Atau sesekali ayah saya sendiri yang datang berkunjung. Momen seperti itu benar-benar diharapkan oleh santri, utamanya santri dalam satu kamar. Sebab, biasanya orang tua yang berkunjung membawa menu masakan yang dapat dinikmati bersama-sama. Dan kebersamaan itu hingga detik ini kenangannya masih tetap terasa.

Telat ya, telat saja. Itulah yang terjadi. Hingga saat itu saya memutuskan untuk puasa. Kiriman telat, tidak ada sisa apa-apa, maka solusinya ya, puasa. Mending diniatkan dari awal untuk puasa sunah, sekalian sebagai alibi dari kiriman yang lambat. Benar saja, saya pun puasa dan hanya berbuka seteguk dua teguk air. Kemudian langsung menuju masjid untuk memusatkan pikiran pada zikir agar rasa lapar tidak begitu terasa.

Jadi teringat pada masa Rasulullah yang harus menahan lapar dengan cara membebatkan batu di bagian perut. Tentu hal yang demikian jauh lebih parah dari apa yang telah saya rasakan. “Tidak ada apa-apanya,” begitu pikir saya pada saat itu.

Indahnya, dan ini bagaikan rasa surga dunia, esok paginya ayah saya datang tanpa dinyana tanpa disangka. Pikiran saya, mungkin dua atau tiga hari kiriman baru datang. Tetapi, syukur alhamdulillah, ternyata puasa saya langsung dibalas ole Allah keesokan harinya. Itu artinya, hari itu bagai sebuah hari raya. Saya beserta teman-teman merayakannya dengan makan bersama-sama. Sementara persediaan beras untuk dimasak sudah ada.

Pengalaman itu tidak akan pernah saya lupakan hingga kapan pun. Dan ayah (alm) saya adalah pahlawan tanpa pamrih dan pahlawan tanpa tanda jasa. Semoga Beliau (ayah saya) mendapat Rahmat Allah di alam sana. Aamiin.

Dalam dunia kepesantrenan, seingat saya, hanya satu kali terjadi keterlambatan kiriman. Selebihnya tepat waktu dan tidak perlu puasa karena kiriman telat. Tetapi puasa sunah tetap saya lakukan, semisal Senin-Kamis dan lain-lain, sebagai ibadah sunah agar mendapat Rahman dan Rahim Allah swt.

Itulah kisah dunia pesantren saya terkait kiriman telat. Kalian punya pengalaman kiriman telat? Atau lainnya saat jadi santri? Mari berkisah agar orang lain dapat mengambil hikmah dari kisah kita. Setidaknya dapat solusi dari sebuah problem dengan tindakan bijak dan berhikmah. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan