Bila Santri (Mau) Jadi Wartawan

1,056 kali dibaca

Entah karena bisikan dari mana, saat dimasukkan pondok (ingat: saya tidak mondok, tapi dimasukkan ke pondok), saya justru mulai menyukai dunia tulis-menulis. Saat teman-teman santri yang lain belajar mengaji, saya malah lebih sering belajar nulis-nulis puisi, atau yang sebangsanya. Sendiri.

Ndilalah ada pengurus pondok yang ngonangi. Maka, ketika pondok mengadakan imtihan, berbagai acara digelar, saya “dihukum” untuk membaca puisi di atas panggung, berdeklamasi. Sendiri.

Advertisements

Itulah pengalaman saya yang pertama dan terakhir membaca puisi di atas panggung.

Tapi makin hari, gairah belajar menulis itu makin menjadi-jadi, dan puncaknya ketika saya kuliah sambil tetap nyantri. Tapi saya tak punya guru dalam artian harfiah. Saya belajar menulis secara otodidak, dari semua tulisan yang ada di depan mata. Dari buku, majalah, koran, dan tulisan dalam bentuk apa saja.

Saat membaca, saya tak begitu peduli pada isinya. Saya lebih peduli pada bagaimana cara para penulis itu menuangkan ide atau gagasannya ke dalam tulisan. Mulai dari gaya menyusun struktur tulisan, gaya pemakaian bahasa, gaya merangkai kata per kata, dan sebagainya. Tahun kedua kuliah saya terbilang sudah bisa menulis. Terbukti, selain di majalah kampus, beberapa tulisan saya dimuat di Jawa Pos dan Surya, dua harian terbesar di Jawa Timur saat itu.

Karena sudah terlalu dalam “terperosok” ke dalam dunia tulis-menulis itulah, begitu lulus kuliah, target saya cuma satu: menjadi wartawan, jembatan emas untuk menjadi penulis emas.

Bukan perkara mudah. Sebab, dikurung di pesantren dan dikuliahkan di IAIN oleh orang tua itu tujuannya cuma satu: agar anaknya menjadi kiai, mubaligh, atau guru ngaji. Lah, ini malah mau jadi wartawan! Titisan dari mana?! Maka, perkara terberat saat itu bukan tes menjadi wartawan, tapi mendapat restu ibu!

Memberani-beranikan diri, saya sungkem untuk minta restu. Jawaban ibu seperti yang sudah diduga.

“Aku tak suka anakku jadi wartawan. Pekerjaan apa itu wartawan,” kata ibu saya sambil nyusur tembakau. Saya hanya bisa menunduk.

“Tapi kalau itu memang sudah jadi tekadmu, kewajiban seorang ibu itu hanya mendoakan. Selebihnya urusanmu sendiri,” ibu menyambung ucapannya.

Antara mau menangis atau tersenyum, saya mencium tangannya, lalu berlalu.

Selesai? Belum. Setelah ibu, seorang santri juga harus minta doa kepada kiainya. Maka, saya sowan kiai yang menjadi guru ngaji saya dulu, dulu sekali.

“Pak Kiai, mohon doa, saya mau ikut tes menjadi wartawan,” begitu saya minta didoakan.

Pak Kiai geleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Mau jadi wartawan?” tanya Pak Kiai. “Kamu tahu apa syarat menjadi wartawan?”

Pertanyaan Pak Kiai begitu menohok, dan saya cuma berani menatap lantai.

“Syarat menjadi wartawan itu cuma satu, tak tahu aturan. Tak tahu sopan-santun. Lihat waktu Muktamar NU di Situbonda, para kiai duduk rapi di bawah, para wartawan malah petakilan gak karu-karuan. Ada yang naik-naik ke meja untuk memotret, memfoto.”

Kata-kata Pak Kiai serasa menampar kuping, dan saya cuma berani menatap lantai.

“Tapi kalau itu memang maumu, ya sudah, sebagai kiaimu aku hanya bisa mendoakan.”

Saya segera mengambil tangannya, mencium telapak tangannya tiga kali, lalu berlalu.

Dan benar, saya akhirnya memang menjadi wartawan. Dengan profesi itu, saya menjelajah ke banyak tempat, ke berbagai bidang ilmu dan keahlian, ke berbagai komunitas masyarakat, tapi tidak ke dunia santri. Bertahun-tahun menjalani profesi wartawan, entah kenapa saya nyaris tak pernah mengunjungi pesantren, nyaris tak pernah berelasi dengan orang-orang pesantren, dengan dunia santri.

Tahu-tahu, entah didorong oleh apa, setahun lalu ada yang menarik-narik tangan saya untuk berkumpul di jejaring duniasantri. Tiba-tiba ada duniasantri.co. Sepertinya saya sedang “dihukum” untuk menjadi khodam. Bukan khodamnya kiai, tapi khodamnya para santri yang meminati dunia tulis-menulis. Mungkin karena “kuwalat”.

Multi-Page

2 Replies to “Bila Santri (Mau) Jadi Wartawan”

Tinggalkan Balasan