Bila Santri Lomba Cas-cis-cus…

746 kali dibaca

Setiap akhir sanah (akhir tahun), di Pondok Pesantren Annuqayah—pada era saya— selalu diadakan kegiatan berbagai macam lomba. Ada banyak hal yang diperlombakan, seperti karnaval, cipta puisi, menulis cerpen, majalah dinding, tenis meja, bulu tangkis, dan lain sebagainya.

Salah satu lomba yang saya ikuti bersama Syafi’i (lagi-lagi Syafi’i, seperti yang saya tulis di lain artikel bahwa Syafi’i adalah teman karib, akrab, dan dekat) adalah kontes atau lomba percakapan Bahasa Inggris.

Advertisements

Meskipun kami (saya dan Syafi’i) tidak ama-amat pintar dalam berbahasa Inggris, namun saya terdaftar sebagai siswa (pilihan) di kelas khusus Bahasa Inggris yang tutornya langsung datang dari Amerika Serikat, yaitu Rob Beadecker. Sementara Syafi’i tercatat sebagai guru Bahasa Inggris (setelah duduk di bangku kuliah) di MTs I Annuqayah. Jadi dengan dasar itu dapat disimpulkan bahwa kami mumpuni (sedikit) dalam hal ke-Inggris-an. Ini bukan sebuah kesombongan, tetapi sebuah pilihan untuk tahadduts binni’am; (membincangkan nikmat Tuhan).

“Ikut lomba Bahasa Inggris, yuk,” ajak Syafi’i pada saat itu di antara sekian banyak santri yang berlalu lalang di halaman madrasah.

“Hah?! Ikut lomba Bahasa Inggris?” saya terkejut karena sama sekali tak ada persiapan.

Ayuk la…, yang penting tampil,” desak Syafi’i meyakinkan dan di-iyakan oleh saya.

Jadilah kami dengan persiapan minimalis mengikuti lomba percakapan Bahasa Inggris. Entah apa yang akan kami ungkapkan pada saat tampil. Pastinya, sebagaimana Syafi’i bilang, berbekal “PD” dan yang penting tampil. Yang terpikir saat itu adalah, hanya terkait dengan “what’s your name, how are you, where do you come from, what’s are you doing,” dan seterusnya.

Waktu acara lomba pun tiba. Saya deg-degan, saya yakin Syafi’i juga demikian. Tapi kami tidak saling memberi tahu. Sendiri dalam kegalauan, dan sepi dalam gemeteran. Sesaat sebelum naik panggung, saya baca bismillah dan teman-temannya. Saya lirik Syafi’i, ia begitu tenang. Membuat hati saya juga serasa damai. Meskipun “PD” saja tidak cukup, tetapi pada saat itu kami benar-benar berbekal kepercayaan diri.

Saya naik panggung lebih dulu. Mengenalkan diri, introduction, mengungkapkan nama, asal, dan lain sebagainya. Semua berjalan lancar. Tidak ada hambatan sama sekali. Kemudian, Syafi’i naik panggung. Kami pun ber-cas-cis-cus dengan semangat dan antusias. Tepuk tangan dari hadirin membahana. Kami merasa di atas angin, mendapat applous dari para yang hadir. Terakhir, saya menyanyi. Entah lagu apa yang saya nyanyikan. Tentu masih dalam Bahasa Inggris, karena kontes ini adalah kontes percakapan Bahasa Inggris.

Bagitulah kisah saya dan Syafi’i saat masih mondok dulu. Banyak kenangan yang dapat kami ungkap. Sebagai bagian dari catatan sejarah. Ada yang niscaya untuk dijadikan contoh, ada juga sebagai pelajaran untuk tidak diikuti. Semua ada hikmah, jika kita berupaya untuk mengambil hikmah. Saya berharap setiap kisah memberikan pencerahan untuk dijadikan cerminan dalam kehidupan.

Bagaimana akhir dari lomba itu? Alhamdulillah, ternyata kami mendapat juara. Sebuah kesuksesan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Persiapan yang minim, kemampuan yang terbatas, hanya ke-PD-an yang menjadi dasar. Meski demikian, kemampuan kami dalam Bahasa Inggris cukup lumayan.

Setidaknya, saya sendiri sudah beberapa kali berjumpa dengan para turis dari luar negeri dan mampu berkomunikasi, walaupun dengan kata dan kalimat yang sederhana. Terkahir, saya berjumpa dengan ssorang turis pada saat mendaki di Gunung Lawu. Mereka berasal dari Kanada dan sudah beberapa hari “tersesat” di wilayah Indonesia.

Kontes percakapan Bahasa Inggris memang sudah berlalu. Kini tinggal kenangan dengan segala nostalgianya. Jika saya bertanya kepada Syafi’i, apakah masih ingat dengan kejadian itu? Saya tidak yakin, bahwa Syafi’i menjawab ingat. Sebab, bagi sebagain orang, sesuatu yang berlalu dianggap angin saja. Tidak memberikan nuansa jejak yang harus diingat sepanjang masa.

Bagi saya yang suka menulis, jejak masa lalu adalah kenangan yang akan menjadi sejarah yang akan ditulis dengan “tinta emas”. Semoga kisah ini bermanfaat dan menginspirasi banyak orang, walaupun dengan topik yang sangat sederhana. Wallah A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan