Berpuisi dalam Tinjauan Hadits Nabi

6,687 kali dibaca

Polemik mengenai kebolehan dalam bersastra, seperti bersyair, bermusik, dan sebagainya seperti tidak ada habisnya. Bagi kalangan yang mempermasalahkan hal ini, bersyair atau bermusik merupakan sesuatu yang diada-adakan tanpa hujjah yang cukup sharih. Bersyair dan bermusik (dan tindakan yang menyertainya) dianggap dapat menjauhkan seorang muslim dari Allah. Inilah yang dijadikan illat bagi kalangan yang tidak memperbolehkan bersyair atau bermusik.

Di sini penulis lebih menitikberatkan pada pembahasan tentang syair atau puisi melalui hadits. Dalam beberapa riwayat, Nabi pernah mengemukakan pandangan dan responsnya terhadap sebuah syair, yang mana mempunyai maksud yang sama dengan pelantunannya. Dalam riwayat Bukhari Nomor 6154 (dari Ibnu Umar) dikatakan bahwa,

Advertisements

لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

Artinya:

Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah, daripada ia penuhi dengan syair.

Asumsi yang terbangun setelah kita membaca hadits ini pasti akan mengarahkan pada larangan dalam bersyair. Karena pada redaksi hadits tersebut, Nabi menyebutkan bahwa bersyair tidak lebih baik daripada mengisi perut dengan nanah. Diksi “قَيْحًا” atau “nanah” pada hadits tersebut yang mempunyai konotasi buruk, yang menjurus pada sebuah kejelekan.

Syaikh Musthafa Dib al Bugha, ilmuwan hadits dari Universitas Damaskus, memberikan komentar terhadap hadits tersebut. Beliau mengemukakan bahwa makna sebenarnya dari kata جَوْفُ adalah القلب yang berarti “hati”. Sedangkan, makna dari kata قَيْحًا adalah الصديد الذي يسيل من الدمل والجرح أو هو الأبيض الخاثر الذي لا يخالطه دم, yang artinya “nanah yang muncul dari sebuah luka busuk atau sesuatu berwarna putih pekat yang tidak bercampur dengan darah”.

Sementara itu, Imam as Suyuthi dalam bukunya Asbab al Wurud al Hadis (h. 209) menjelaskan perihal sebab disabdakannya hadits ini. Suatu hari, Nabi sedang berada di kota al ‘Arj (sekitar 78 mil dari Madinah). Kota itu adalah tempat persinggungan berbagai budaya, termasuk sastra dan syair atau puisi. Ketika itu, ada seseorang yang melantangkan sebuah syair di depan umum yang sekaligus di hadapan Nabi. Nabi kemudian bersabda demikian.

Pada literatur lain, Imam Ibn Hajar al Asqalani dalam Fath al Bari (X/ 550) memberikan penjelasan lebih lanjut. Beliau menegaskan bahwa faktor munculnya celaan yang cukup keras sebagaimana riwayat di atas adalah sebuah peringatan bagi orang-orang yang hanya menyibukkan dirinya dengan bersyair. Sehingga, Nabi mengimbau agar mereka kembali ke al-Quran, berdzikir, serta beribadah kepada Allah.

Selanjutnya, Imam Ibn Hajar memberikan pernyataan yang berbunyi,

فمن أخذ من ذلك ما أمر به لم يضره ما بقي عنده مما سوى ذلك والله أعلم

Artinya:

Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallaahu a’lam.

Problematika Produk Seni

Makin banyak orang yang sekiranya mempermasalahkan mengenai kebolehan dalam berpuisi, musik, atau yang sejenis dengannya. Pihak-pihak terkait kerap menyandingkan problema ini dengan kondisi di mana bisa membuat manusia (utamanya Muslim) lalai akan Tuhan. Dengan lantunan bait-bait sastra tersebut, seseorang diasumsikan akan terjerumus pada fatamorgana yang amat memikat, sehingga ia akan lupa terhadap Tuhan.

Dalam riwayat Bukhari Nomor 6145 (dari Ubay bin Ka’ab), Nabi menegaskan bahwa,

إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً

Artinya:

Sesungguhnya sebagian dari syair itu adalah hikmah.

Hadits tersebut tentu amat bertolak belakang dengan hadits sebelumnya (HR Bukhari Nomor 6154) bila dilihat dari muatan yang disampaikan. Karena pada hakikatnya, penggunaan kata “nanah” dengan “hikmah” saja sudah berbeda bila dirunut dengan pemaknaan lughawi belaka. Dalam keilmuan hadits, hal ini disebut dengan ikhtilaf al hadits. Namun, mengapa Nabi mengindikasikan syair dalam dua konotasi berbeda?

Syaikh Musthafa Dib al Bugha kembali memberikan komentar tentang makna “hikmah”. Ia menuturkan bahwa hikmah di sini berarti sebuah ucapan yang berguna untuk mencegah kebodohan. Lanjutnya, hikmah merupakan ucapan yang benar dan selaras dengan kenyataan yang riil.

Apabila mendasarkan konsep dari pernyataan Syaikh Musthafa, maka sebenarnya syair (sastra) adalah representasi dari kehidupan nyata yang digambarkan melalui untaian kata yang indah. Pernyataan ini akan menentang stigma yang berkembang bahwa sastra bisa membuat seseorang lupa dengan Tuhan. Karena, kalaupun sastra dianggap bisa membuat lalai, lantas mengapa tidak, bila sastra dijadikan objek untuk mengingat Tuhan? (sebagaimana yang dipaparkan Imam Ibn Hajar tersebut).

Nabi pun ada kalanya senang terhadap lantunan syair. Ini terbukti dari riwayat Muslim Nomor 4185 yang artinya,

“Dari ‘Amru bin Asy Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafy) ia berkata: ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah SAW. Maka beliau bertanya: ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abish-Shalat?’ Aku menjawab: ‘Ya’. Beliau berkata: ‘Lantunkanlah!’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau pun berkata: ‘Teruskanlah!’ Maka aku pun melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau pun berkata hal yang sama: ‘Teruskanlah!’ hingga aku melantunkan sekitar seratus bait syair.”

Imam an Nawawi menjelaskan hadits tersebut lewat Syarh Shahih Muslim lin Nawawi (h.1572), bahwa Nabi menganggap baik syair Umayyah dan meminta tambahan syair terhadapnya mengenai tema ketahuidan dan hari akhir. Dalam hadits tersebut, terdapat kebolehan dalam pelantunan syair yang tidak mengandung kekejian, tentu sekaligus pembolehan untuk mendengarkannya. Sedangkan, hal yang harus dijauhi adalah bertindak berlebihan.

Kita tentu harus menyikapi fenomena ini dengan bijak dan tidak boleh tergesa-gesa. Banyak orang yang berkecimpung dalam dunia sastra (puisi, musik, dsb) menyelipkan pesan-pesan Islam di dalam karyanya. Bahkan mereka menciptakan intuisi rohani yang mendalam. Sebut saja, yang paling fenomenal adalah Jalaluddin Rumi.

Pada masa sekarang pun, tak sedikit para seniman yang menyelipkan nilai-nilai Islam dalam karya. Beberapa di antaranya adalah Rhoma Irama, grup musik Bimbo, hingga grup gambus kontemporer seperti Sabyan. Selain itu, Habib Husein Ja’far dalam dakwahnya juga sering mengkompromikan bahwa sastra (musik) tidaklah bermasalah. Tidak bisa dimungkiri bahwa mereka berdakwah melalui karya (syair), namun mampu mengingatkan kita kepada Tuhan.

Tak hanya itu, bijaknya kita tidak usah terburu-buru dalam menjustifikasi suatu perkara yang berkaitan dengan sastra. Sebagaimana yang diutarakan oleh Syaikh Musthafa tersebut, bahwa hikmah dalam syair dapat ditemukan dalam untaian-untaian kata yang bahkan cenderung ambigu.

Kita sebaiknya melakukan ijtihad dalam pencarian tersebut, untuk menghindarkan dari kejumudan berpikir (seperti pernyataan hikmah oleh Syaikh Musthafa), karena kita tidak mengetahui secara pasti tentang makna yang terkandung dalam suatu syair. Bisa saja seorang seniman yang dimaksud mempunyai intuisi yang sangat mendalam yang bahkan kita tidak menyangka bahwa itu adalah upaya terhadap mengingat atau dzikr kepada Tuhan.

Selain itu, kita hendaknya tidak terlalu menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang bisa menjauhkan diri dari Allah. Namun, apabila memang tanggung jawab sebagai seorang muslim telah dilaksanakan dengan baik dan tuntas, maka boleh-boleh saja apabila menggunakan sisa waktunya untuk melakukan kegiatan lain, tak terkecuali bersyair atau mendengarkannya. sebagaimana pernyataan Imam Ibn Hajar di atas.

Wallahu A’lam bi as Showaab

Multi-Page

Tinggalkan Balasan