“Berjilbab itu Hak, Bukan Kewajiban”

1,119 kali dibaca

Setiap memasuki tahun ajaran baru, hampir selalu muncul kegaduhan akan adanya “pemaksaan” terhadap siswi untuk mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri. Yang terbaru dan membetot perhatian publik adalah apa yang terjadi di wilayah DI Yogyakarta dan DKI Jakarta.

Seperti diberitakan berbagai media, seorang siswi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta merasa dipaksa untuk mengenakan jilbab. Peristiwa itu terjadi pada 26 Juli 2022. Hari itu, siswi tersebut dipanggil ke ruangan guru Bimbingan dan Konseling (BK) —sebelumnya disebut BP, Bimbingan dan Penyuluhan. Di situ, ia disuruh oleh guru BK untuk mengenakan jilbab.

Advertisements

Merasa tertekan, siswi itu kemudian mengurung diri di kamar mandi sekolah, menangis sesenggukan, lalu menghubungi orangtuanya melalui telepon genggam. Kepada orangtuanya, siswi itu minta dijemput dan tak mau lagi sekolah di situ.

Pada waktu yang hampir bersamaan, hal serupa terjadi di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 46, Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Dalam peristiwa ini, seorang siswi mengaku ditanya oleh gurunya soal agamanya. Setelah siswi tersebut mengaku muslim, sang guru masih bertanya lagi kenapa tak mengenakan jilbab. Peristiwa ini kemudian oleh siswi tersebut dilaporkan kepada orangtuanya. Peristiwa ini pun memperoleh pemberitaan luas di media massa dengan tajuk “pemaksaan pemakaian jilbab”.

Dalam peristiwa ini, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X telah mengambil tindakan tegas. Kepala SMAN 1 Banguntapan dan tiga orang guru yang terlibat kasus pemaksanaan jilbab dinonaktifkan untuk sementara. Mereka dianggap melanggar ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam bagi peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Sementara, untuk peristiwa serupa di Jakarta dianggap tidak ada kasus lantaran apa yang terjadi dianggap “sekadar mengingatkan sesama muslim”.

Relasi Kuasa-Religi

Kita tahu, ini bukan peristiwa yang pertama. Dan mungkin hanya peristiwa yang kebetulan terekam oleh media. Tahun-tahun sebelumnya, hampir di tiap ajaran baru, muncul peristiwa serupa di sejumlah daerah.

Kenapa kasus-kasus seperti ini masih terus terjadi, masih terus terulang? Sebab, dalam relasi keberagamaan, seringkali kita salah posisi, offside, berada di luar garis yang semestinya. Gambarannya kira-kira seperti ini. Jika kita mewajibkan seorang siswi atau pelajar putri mengenakan jilbab di lingkungan pesantren atau madrasah atau sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh lembaga-lembaga keagamaan, jelas masih relevan dan hal itu mungkin tidak ada masalah. Sebab, para siswi tersebut memang berada di lingkungan lembaga pendidikan khusus keagamaan, dimiliki oleh lembaga pendidikan keagamaan.

Namun, berbeda halnya jika kita mewajibkan para siswi, meskipun muslim, mengenakan jilbab di lingkungan lembaga pendidikan publik, seperti SDN, SMPN, dan SMAN atau SMKN, misalnya. Tentu akan menimbulkan masalah. Kenapa? Sebab, lembaga-lembaga pendidikan tersebut bersifat publik, sekolah umum yang didirikan oleh negara dan dibiayai dari dana-dana publik alias pajak rakyat. Dan publik atau rakyat Indonesia beragam latar belakang agamanya. Semua harus memperoleh kedudukan dan hak yang sama di lembaga-lembaga publik, di dalamnya termasuk lembaga pendidikan.

Termasuk, meskipun para siswi yang belajar di SDN, SMPN, dan SMAN atau SMKN adalah seorang muslimah, tetap offside atau tidak pada tempatnya jika kita mewajibkan mereka untuk mengenakan jilbab. Sebab, di sini, berlaku hukum bahwa berjilbab yang dianggap sebagai bagian dari menjalankan perintah agama berdasarkan keyakinan merupakan hak, hak asasi, tapi bukan kewajiban. Karena itu, memaksa seseorang menggunakan haknya sama dilarangnya dengan yang sebaliknya. Memaksa atau mewajibkan seorang siswi berjilbab sama dilarangnya dengan melarang seorang siswi mengenakannya.

Mungkin benar bahwa apa yang terjadi di SMAN 1 Banguntapan itu sekadar “tutorial” pemakaian jilbab terhadap seorang siswi. Mungkin benar bahwa apa yang terjadi di SMPN 46 Jakarta Selatan itu sekadar “saling mengingatkan sesama muslim”. Tapi jangan lupa di situ ada relasi kuasa, relasi kuasa berbalut religi.

Dalam relasi guru-murid, sekolah-siswa, pemegang atau pengendali kuasanya adalah pihak pertama. Sedangkan, posisi murid atau siswa sebagai subordinat dalam relasi tersebut. Murid atau siswa selalu berada di bawah bayang-bayang kekuasaan guru atau sekolah.

Dalam konteks relasi kuasa seperti ini, “tutorial” itu bisa berarti pemaksaan; “mengingatkan” bisa berarti memerintah atau mewajibkan. Sebab, seorang siswa akan merasa dirinya berada di bawah ancaman jika tidak mengindahkan “tutorial” atau “peringatan” itu. Itulah kenapa, dalam kasus ini, ada seorang ahli yang menyebut telah terjadi “kekerasan psikis”. Sebab ada relasi kuasa di situ. Beda halnya jika “tutorial” itu diberikan oleh orangtua di rumah. Beda halnya jika “saling mengingatkan sesama muslim” itu dilakukan oleh seorang teman sambil bermain kelereng. Di situ sonder relasi kuasa.

Kesalahan menempatkan posisi, offside, seperti inilah yang perlu diluruskan. Sebab, jika tidak, kasus-kasus seperti ini akan selalu terulang dan bisa menjadi bahan gorengan pihak-pihak tertentu. Akan menjadi bahan framing yang penuh peyorasi. Misalnya, akan muncul tudingan adanya gerakan anti-jilbab atau Islamofobia. Terbukti, sudah ada sejumlah kelompok yang memberikan dukungan terhadap apa yang dilakukan kepala sekolah dan guru-guru SMAN 1 Banguntapan itu. Bahkan, siswi yang diberi “tutorial” itu pun mulai terkena rundungan.

Padahal tak seperti itu yang terjadi. Bahwa, di hadapan republik, di hadapan hukum publik, menjalankan perintah agama sesuai keyakinan masing-masing merupakan hak, hak asasi setiap orang. Artinya, di hadapan republik, di hadapan hukum publik, termasuk di sekolah-sekolah publik, menjalankan perintah agama sesuai keyakinan masing-masing itu bukan kewajiban yang bisa dipaksakan —bagaimana pun modusnya. Yang dilarang adalah memberangus atau membatasi setiap warga negara menggunakan hak-haknya. Dengan demikian, misalnya, di sekolah-sekolah umum negeri, memaksa siswi berjilbab itu sama hukumnya dengan melarang mengenakannya. Dan sebaliknya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan