Bau Amis Laut

2,798 kali dibaca

Aroma siur air laut meriap menusuk hidungku yang sedari tadi melamun di dermaga menunggu perahu-perahu kecil membawa ikan. Aku juga akan menunggu matahari tenggelam tanpa alasan, tanpa waktu yang ditentukan. Jika aku lelah, aku akan kembali, namun jika masih betah, aku akan tetap di sini.

Paling nyaman adalah merasakan desiran angin dan memandang laut yang biru, merasakan aroma amis, asin ikan-ikan para nelayan. Sudah beberapa tahun berada di wilayah Pantura, membuat aku akrab dengan aroma-aroma seperti ini.

Advertisements

Aku melihat puluhan perahu-perahu kecil tertambat di pantai. Senja kemerahan menggantung di langit sebelah barat. Para nelayan akan pulang ke rumahnya masing-masing. Sementara ombak kecil saling berkejaran menghantam bebatuan dan perahu-perahu nelayan yang terombang-ambing.

Di tempat inilah kisah dimulai. Ya, tempat ini adalah tempat bersejarah. Kata masyarakat sekitar, di tempat inilah Mbah Banjar terdampar akibat terempas badai. Perahunya hancur akibat badai, tubuhnya terempas ombak besar, kemudian terdampar di Desa Jelaq.

Ternyata badai itu membawa berkah yang luar biasa. Kedatangan Mbah Banjar melahirkan tatanan kedamaian dan kebahagiaan. Beliau menyiarkan agama Islam di daerah Pantura. Mbah Banjar ditolong oleh tokoh masyarakat di desa itu yang bernama Mbah Mayang Madu, dan diberi tempat tinggal olehnya.

Lama kelamaan Mbah Mayang Madu tertarik dengan ajaran yang dianut oleh Mbah Banjar. Lambat laun, akhirnya penguasa Desa Jelaq itu memilih untuk menjadi muslim dan menjadi hamba Allah yang taat, dan menjadi umat Rasullah yang selalu mengikuti jalannya.

Konon, Mbah Mayang Madu adalah seorang yang dermawan. Ia memberikan seluruh hartanya untuk perjuangan menyebarkan agama Islam. Ia membangun sebuah surau yang tak jauh dari rumahnya dan mencukupi segala kebutuhan Mbah Banjar dalam menyiarkan agama Islam dan membantu perjuangan bersama Mbah Banjar.

Setelah beberapa tahun berjuang menegakkan ajaran Allah, penduduk mulai masuk Islam. Meskipun ada saja penduduk yang tak suka dengan ajaran itu. Mereka berdua merasa kewalahan. Mereka meminta bantuan tenaga pengajar kepada Sunan Ampel untuk membantu perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu di tanah Pantura. Maka diutuslah putranya yang bernama Raden Qasim yang dikenal sebagai Sunan Drajat.

Aku sedang duduk berselonjor kaki di bawah pohon ketapang menghadap laut yang semakin gelap. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Angin semakin ribut. Sebuah tangan perkasa mencengkeram pundakku dengan erat dan kuat. Sekonyong-konyong aku dibuat kaget. Aku menoleh ke belakang. Hatiku mengatakan, ini benar-benar hal yang tidak baik untukku.

Aku kenal betul orang yang menyeretku. Dan ini bukan hal yang pertama kali aku mengalami hal serupa. Dia adalah keamanan pondok, namanya Kang Ali. Santri senior yang sudah paham dengan seluk beluk pesantren. Hampir separo usianya dijalani di pesantren. Sebagai santri senior, dia didapuk menjadi pengurus sebagai ketua keamanan pondok.

“Tenanglah. Semakin kau memberontak, maka akan semakin sakit tanganmu,” ucapnya. Aku tak berucap satu kata apa pun. Yang ada di bayangkanku adalah menguras saptic tank atau menyapu halaman kompleks pondok yang luasnya bukan main.

“Kenapa kau diam saja, apa mulutmu sedang seriawan?” ejeknya. Aku masih membisu dan tidak mau menanggapinya. Dia terus memegangi tanganku dengan sigap, seolah-olah dia khawatir jika aku akan kabur. Sesampainya di gerbang pondok, dia menyuruhku berdiri satu kaki, kedua tangan di kuping. Di hadapan santri santriwati yang berlalu-lalang kembali ke asrama sehabis mengikuti pengajian Diniyah. Hukuman itu semakin menghukumku ketika beberapa santri menertawakan aku. Dia terus mengawasiku di gardu penjagaan.

Setelah beberapa waktu berselang, Kang Ali menyuruh berhenti, lalu aku disuruh menghampirinya. Pandanganku terasa gelap saat melihat sekitar.

“Kenapa kau sering tidak mengikuti kegiatan pesantren?” tanyanya. Aku diam. “Jika kau tahu, mungkin kau juga akan sama sepertiku,” kataku dalam hati.

“Kenapa diam? Aku dengar kau juga tak pernah ikut kegiatan pesantren ya?” ia menyelidik.

“Ada apa, coba jelaskan?” sambungnya. Aku merasa berat untuk berterus terang. Aku masih terdiam. Kang Ali menatapku dengan tatapan tajam. Aku tahu, dia sedang menahan amarah. Aku takut. Dia menahan napas panjang.

“Ada apa, katakan!” bentaknya dengan nada tinggi. Aku tergagap-gagap menjawabnya.

“Aku sering diejek teman-temanku, karena bapakku seorang koruptor,” jawabku dengan wajah murung. Kang Ali terdiam. Kemudian, dia mulai menginterogasi diriku. Terungkap sudah tentang diriku yang sering kabur dari pondok, merokok, sering bolos sekolah, sering bolos mengikuti kegiatan pesantren.

“Aku ditakdirkan untuk menjadi orang tidak baik,” ucapku.

“Kenapa kau bicara seperti itu? Tidak, kau pasti menjadi orang baik. Percayalah,” ucap Kang Ali.

“Darahku sudah tercampur dengan uang haram. Bapakku seorang koruptor. Dia yang memberi makan dengan uang haram selama ini,” ucapku dengan terisak.

Dadaku terasa sesak. Kang Ali terdiam sesekali menunduk, menatapku penuh rasa kasihan. Mungkin dia bisa merasakan impitan yang bergejolak di dadaku. Mungkin dia paham dengan kondisiku yang tak beruntung, meskipun aku tak memaksa orang lain merasakan atau setidaknya memahami diriku.

Setelah bapak dinyatakan sebagai tersangka penggelapan dana desa, tidak hanya aku yang kena imbas dari aib itu. Pak lik, bu lik, nenek, sahabat baik bapak pasti kecewa, khususnya almarhum ibu. Tidak hanya kecewa, tapi keluarga ayah menjadi bahan gunjingan para tetangga. Dan aku menjadi bahan ejekan teman-temanku di pesantren.

Kang Ali memegang pundakku. Dia memberi tatapan yang meneduhkan, seolah-olah memberi sebuah air  yang sejuk di batinku.

“Dalam hal ini, kau tidaklah bersalah. Berhentilah mengutuk diri sendiri. Bapakmu pasti sudah menyesali perbuatannya. Tidak ada alasan, jika kau tidak lebih baik,” ucap Kang Ali. Dia mengambil dua lembar tisu di gardu penjagaan, diserahkan kepadaku untuk mengusap bekas linangan air mata.

Lalu Kang Ali berlalu, berjalan tegap melawati deretan pohon mengkudu yang rindang. Aku mengejarnya, berlari-lari kecil membuntuti dia. Dia tak menengok ke belakang, terus saja melangkah. Selain dia seorang santri, dia adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kanuragan dan kedigdayaan yang tinggi.

Kata orang di lingkup pesantren, Kang Ali orang yang betah berlama-lama bertirakat. Dia sering puasa ngebleng. Puasa yang tak makan tak minum seharian penuh, namun itu dilakukan karena ada amalan tertentu atau ada hajat tertentu. Selain itu, puasa yang biasa dilakukan adalah puasa dawud, yaitu sehari berpuasa, sehari tidak, dan seterusnya, atau puasa mengowot yang biasa dilakukan dengan tidak makan nasi, melainkan makan umbi-umbian.

Bahkan kata orang Kang Ali memiliki aji lembu sekilan yang tak bisa dikalahkan oleh lawan. Setiap lawan menyerang akan selalu meleset dengan jarak pukulan beberapa senti meter. Kang Ali sering diundang dalam pertunjukan pencak silat. Dia bisa menghancurkan tiga batu kumbung dengan satu pukulan. Dia juga memiliki ilmu kekebalan yang menjadikannya dia tidak bisa disayat oleh senjata tajam.

“Tunggu Kang,” panggilku. Dia berhenti, sambil menoleh kepadaku. Dia mengenakan peci hitam, berkemeja hitam, bersarung putih lusuh. Berwajah sangar dengan berewok lebat, bermata tajam, dia begitu berwibawa. Sorot matanya tajam dengan alis tebal, tinggi kekar.

Dia menungguku yang sedang berlari mengejarnya. Sesampainya di hadapannya, aku ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya yang menjadi keinginanku. Angin berdesir sejuk, awan hitam menggulung-gulung menggantung di langit. Dia tahu jika ada sesuatu yang mau dibicarakan.

“Bicaralah,” suruhnya. Dengan kondisi gugup aku mulai berbicara meski tergagap-gagap.

“Aku mau belajar silat dengan Kang Ali, apakah boleh?” tanyaku meminta.

Kang Ali menatap mataku dalam-dalam, lalu berucap, “Boleh saja, asal jangan disalahgunakan untuk menyakiti orang lain. Menindas yang lemah,” ucapnya. Untuk sejenak, aku terdiam dan agak ragu. Dadaku berdegup kencang.

“Belajar silat itu seni dan untuk menjaga diri, bukan untuk kesombongan atau balas dendam,” sambungnya.

“Baik, Kang,” jawabku.

“Nanti malam, setelah kegiatan pondok selesai, temui aku di kantor keamanan,” suruhnya.

“Baik, Kang.”

Sore itu, aku kembali ke asrama untuk bersiap-siap mengikuti salat maghrib berjamaah. Mulanya aku ragu untuk kembali ke asrama. Aku membayangkan jika teman-teman masih mengejekku. Namun aku senang karena nanti malam aku akan belajar silat. Hal itu membuatku merasa lebih baik.

Sesuai dengan yang dikatakan oleh Kang Ali, aku mengunjungi tempat Kang Ali. Aku menunggu di teras kantor keamanan pondok, duduk di kursi panjang, sesekali mengintip di celah-celah gorden di balik kaca. Dia mengurusi anak-anak yang melanggar. Beberapa waktu berselang, pintu terbuka dari dalam.

“Tunggu sebentar,” ucap Kang Ali. Aku menunggu kembali. Sesaat kemudian, dia membuka pintu kembali dan menguncinya. Aku diajak di sebuah tempat. Aku berjalan membuntutinya. Malam itu, bulan memang tampak lebih terang dari pada malam-malam sebelumnya. Dia mengajakku ke sebuah tempat yang ternyata di tempat batu-batu besar itu berada. Sesampainya di tempat yang sudah ditentukan, dia menyuruhku meditasi sejenak dengan membaca doa-doa tertentu.

Kemudian dia melatihku ilmu kanuragan. Meskipun aku agak kesulitan, namun aku belajar sungguh-sungguh. Mulai dari membuat kuda-kuda, menangkis, memukul, dan teknik tendangan. Aku berlatih dari jam sepuluh malam sampai jam satu dini hari, malam Selasa dan malam Jumat.

Aku mulai percaya diri setalah aku belajar silat. Aku mulai disegani dan sudah tidak ada lagi yang berani mengejekku. Teman-temanku sudah mengetahui jika aku belajar silat kepada Kang Ali, seolah-olah aku berlindung dari nama besar Kang Ali.

Beberapa bulan kemudian, aku minta diajarkan aji lembu sekilan, dengan alasan biar tidak ada musuh yang bisa menyerangku. Kang Ali menyanggupinya, asal aku menyanggupi persyaratannya, yaitu tidak boleh disalahgunakan dan harus sanggup untuk tirakat.

Aku berjanji pada diriku sendiri untuk mempergunakan ilmu itu dengan bijak dan menanggung segala risiko. Aku mulai berpuasa mutih yang diawali hari Senin sampai malam Kamis dengan hanya makan nasi dan air putih.

Malamnya tidak tidur dan terus membaca doa yang sudah diajarkan Kang Ali. Hari Senin seperti puasa-puasa pada umumnya. Badan tidak terlalu payah. Setelah hari Selasa, aku mulai kepayahan. Badanku lemas tak bertenaga. Tidak ada asupan protein dan kalori, membuat tubuh ini begitu tak bertenaga, ditambah dengan kurang tidur.

Semua kegiatan, dari mulai kegiatan formal pesantren maupun nonformal pesantren semuanya terbengkalai. Tubuhku tak mampu melakukan itu semua. Alhasil, hari terakhir, aku mulai menyerah, karena tubuhku dalam kondisi suhu tinggi, kepala berdenyut pusing dan lemas tak berdaya. Akhirnya aku putuskan untuk segera membatalkan tirakat itu.

Malam setalah kegiatan pesantren, aku kembali menemui Kang Ali. Sekitar pukul sepuluh malam lebih tiga puluh menit, aku ke kantor keamanan pesantren untuk menemui Kang Ali. Seperti biasa, aku mengintip dari luar melalui kaca jendela yang tertutup gorden berwarna biru. Melalui celah gorden, aku melihat ada beberapa santri yang sedang menjalani bimbingan konseling. Kang Ali sedang mengurus santri-santri yang bermasalah itu.

Setelah beberapa saat, sunyi pecah oleh suara pintu yang terbuka, kriett.  Kang Ali segera menemuiku. Aku disuruh masuk. Setelah duduk bersila, aku menceritakan, jika tirakatku telah gagal.

“Sudah kuduga, kau akan gagal. Kau belum layak menerima ilmu itu,” ucap Kang Ali.

“Sudahlah, belajar dulu dengan sungguh-sungguh. Kamu belajar ilmu yang penting dulu, seperti ilmu akidah, ilmu fikih, ilmu-ilmu alat, dan pelajaran-pelajaran sekolah. Setelah kau sudah belajar ilmu-ilmu itu, kau boleh mempelajari ilmu-ilmu hikmah,” sambungnya.

Aku mengangguk. Setelah berpamitan, aku kembali ke asrama. Malam semakin larut. Setiap malam sebelum tidur aku sering berada di pagar pembatas, menikmati udara malam sebelum tidur, melihat Desa Banjaranyar yang terdiri dari laut, perahu-perahu kecil, gunung-gunung kapur, pabrik kapur, lampu bangunan, asrama putri dan pelabuhan, yang bisa aku lihat dari lantai tiga asrama.

Aku mencium siur angin aroma khas laut. Hal itu mengundang sebuah rindu yang tak ringan. Ya, bila aku berada di pagar pembatas asrama, ditambah malam yang semakin larut, angin berembus dingin, aku teringat tentang kampung halaman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan