Bapak

1,894 kali dibaca

Siang itu terik matahari sedang santer. Kulit cokelatku pun tercubit olehnya. Aku yang baru saja pulang dari bermain merengek pada Bapak supaya dibelikan sepeda baru, melihat sebagian besar teman sekolahku sudah punya sepeda. Tersisa diri ini yang belum memiliki benda itu. Cemooh dari teman-teman pun makananku sehari-hari karena belum bisa mengendarai kendaraan yang dikayuh itu.

“Kapan kita beli sepeda, Pak?” tanyaku.

Advertisements

“Besok, ya, kalau Bapak dapat job. Sekarang lagi sepi orang buat rumah. Jadi, Bapak belum punya uang,” balas Pak Hamdi.

Bapakku seorang buruh bangunan. Beliau hanya mengandalkan panggilan para pelanggan untuk mendapatkan uang. Tak ada lagi yang bisa beliau kerjakan, kecuali hanya berkebun di tanah sekitar rumah.

“Cepat, lho, Pak. Aku pengin sekali belajar naik sepada. Biar kayak teman-temanku,” rengekku lagi.

“Iya, iya. Bapak usahain.”

Percakapanku dengan Bapak terputus begitu saja saat azan dhuhur berkumandang dari masjid ke masjid di desa kami. Bapak mengajakku pergi ke masjid bersama untuk salat berjemaah salat dhuhur. Kebetulan posisi rumah sederhana kami di samping masjid. Jadi, bisa dengan cepat sampai ke sana. Tepat saat aku dan Bapak sampai masjid, imam baru saja takbiratul ihram. Kami pun bisa mengikutinya, sehingga tak menjadi makmum masbuk. Selepas salat berjemaah aku melihat Anwar di halaman masjid bersama sepeda barunya.

“Syukri, ayo main sepeda denganku,” ajak Anwar seraya memperbaiki letak sarungnya supaya tak mengganggunya dalam bersepeda.

Aku segera mengedarkan penglihatanku, mencari sosok Bapak. Kepala kuputarkan ke segala arah. Namun, aku tak mendapati Bapak. Lantas kaki ini berlari kencang masuk kembali ke dalam masjid. Ternyata Bapak sedang salat sunah di sana. Aku putuskan untuk menunggu Bapak sejenak, setelah mengetahui beliau sudah pada takhiyat akhir.

“Pak, aku izin main sepeda dengan Anwar, ya, Pak. Dia mengajakku.” Aku meminta izin beliau, seusai Bapak merampungkan salat sunahnya.

Bapak hanya berdehem sembari masih khusyuk dengan zikirnya. Segera kulangkahkan kaki dengan cepat menghampiri Anwar di luar masjid. Senyum sahabatku itu sudah tampak dari kejauhan, melihat antusiasku mendekatinya.

“Yok, kita main sepeda di lapangan aja, ya,” ujarku.

“Oke.”

Aku pun segera naik, duduk di belakang Anwar sebagai pembonceng. Tak mungkin aku berada di depan, karena sampai saat itu aku belum mahir mengendarai sepeda. Kueratkan cengkeraman kala Anwar mengebut. Hal itu membuat kami bahagia dan tergelak-gelak sepanjang jalan menuju lapangan di desa kami.

“Coba kamu latihan pakai ini, Syukri,” tawarnya kepadaku.

“Terima kasih. Aku pinjam, ya.” Lantas aku mengambil alih sepeda biru itu setelah mendapat izin si empunya.

Beberapa kali percobaanku menaiki sepeda itu gagal. Terjatuh. Akan tetapi, hal itu menambah semangatku untuk belajar terus, hingga akhirnya pelan-pelan aku bisa. Aku bisa dengan baik mengayuh dan menggunakan sepeda. Anwar mengajakku pulang setelah kami puas bermain. Matahari pun sudah mengarah ke barat. Artinya waktu asar segera tiba.

***
Saat pulang sekolah penglihatanku menangkap sepeda baru di teras rumah. Apa ayah sudah membelikanku sepeda baru? Ayah sudah punya uang? Tanpa berpikir panjang lagi derap langkahku yang semula pelan kini menjadi lari. Dengan napas yang masih naik turun aku memandangi sepeda itu. Nyata. Ini benar-benar sepeda asli, bukan mimpi. Tanganku memegang setiap sudutnya.

“Pak, ini sepeda siapa?” tanyaku saat tiba-tiba Bapak menyembul dari balik pintu rumah.

“Ini sepeda untukmu, Nak,” ucap Bapak seraya mengelus pelan kepalaku.

“Alhamdulillah. Terima kasih, Pak.” Spontan aku memeluk Bapak yang berdiri di sampingku.

“Sama-sama. Jadilah anak yang saleh untuk Bapak dan Ibu, ya. Sukses dunia dan akhirat. Aamiin.” Bapak mendoakanku. Tanganku pun spontan menengadah, lalu kuusapkan ke wajah.

Kami tinggal di rumah sederhana itu hanya bertiga. Aku, Bapak, dan Ibu yang sedang sakit stroke. Aku dengar dari Bapak, Ibu menderita penyakit itu sudah lama sekali setelah melahirkanku. Beliau hanya bisa duduk dan sesekali tersenyum. Semua aktivitasnya Bapak yang membantu, terkadang aku pun membantu. Mulai dari makan, mandi, buang air, semuanya Bapak yang mengurus Ibu sepenuh hati. Cinta Bapak ke Ibu sangat besar sekali, sampai aku pun bisa merasakan getarannya.

Kini setiap hari kuhabiskan waktu untuk bermain sepeda di lapangan, supaya lebih lancar. Adakala sendirian, terkadang juga ditemani Anwar. Dialah sahabat satu-satunya yang sangat mengerti aku. Di saat teman-teman mengejekku yang tak bisa bersepeda, dia justru mau meminjamkan sepedanya untukku belajar. Aku sangat bersyukur.

Aku pulang dari lapangan saat hari menjelang sore. Dari kejauhan aku melihat Bu Sasmi di depan rumahku sedang menggedor-gedor pintu rumah kami dengan keras. Dahiku berkerut. Aku putuskan menyaksikan hal itu dari kejauhan ketika Bapak keluar dari rumah. Tampak raut muka Bu Sasmi tak enak dan merah padam. Bapak menyodorkan beberapa lembar uang kepada Bu Sasmi. Aku sedikit mendengar percakapan mereka. Ternyata untuk membeli sepeda baruku Bapak harus berhutang kepada wanita gempal itu. Tak terasa butiran bening keluar dari sudut mataku.

“Maafkan aku, Bapak,” sesalku lirih.

***
Bagiku Bapak adalah seorang pahlawan dalam hidupku. Beliau berperan sebagai Bapak plus Ibu dalam hidupku. Bapak pun yang mengajarkanku hidup syukur walau dalam kesulitan. Tak ada yang bisa kupersembahkan untuknya kecuali sebaris doa yang terpanjat setiap malam.

Kini hanya pusara Bapak yang bisa kupandang. Kejadian itu masih melekat di memoriku. Sungguh tiba-tiba. Ambulans memasuki halaman rumah kami. Aku melihat dengan mata kepala sendiri jasad Bapak yang masih berlumuran darah. Beliau kecelakaan di jalan raya saat menyeberang. Nyawanya tak bisa tertolong.

Saat itu aku yang masih kecil tak kuat melihat semuanya. Tangisku pecah. Masa bodo dengan sebutan orang-orang yang berbicara bahwa seorang lelaki tak boleh menangis. Bapak sebagai tumpuan hidupku kini telah tiada. Begitu sedihnya sampai-sampai aku tak sadarkan diri, hingga pemakanan selesai baru aku tersadar. Sedikit demi sedikit aku pun bangkit dan menerima semua takdir yang telah digariskan Allah.

***

“Mau ke mana dokter Syukri?” tanya sahabat kecilku, Anwar saat melihatku menutup klinik tempat kupraktik.

“Ini mau ziarah ke makam Bapak bersama Ibu,” jawabku setelah menoleh ke asal suara.

“Oke. Kalau begitu aku pamit dulu, ya. Assalamualaikum,” pamitnya.

“Waalaikumussalam.”

Tak lama kemudian suara motor Anwar pun mulai berbunyi dan menjauhiku. Rumah peninggalan dahulu, kini kusulap menjadi sebuah klinik setelah gelar dokter umum kudapatkan. Aku dan Ibu pun tinggal di sana. Warga sekitar bisa dengan bebas berobat dengan biaya yang bisa terjangkau oleh mereka. Berhubung sekarang sedang tak ada pasien, aku memutuskan untuk menutup sebentar untuk berziarah ke makam Bapak. Bersama Ibu dengan kursi rodanya aku berjalan menuju area pemakaman. Jaraknya tidak jauh dengan tempat kami tinggal. Hanya perlu lima menit dalam berjalan kaki.

“Ya Allah. Tempatkanlah Bapak di tempat yang terbaik. Ampuni segala doa dan terimalah semua amal baiknya. Aamiin.” Aku berdoa pelan ketika tiba di makam Bapak.

Riau, 19 November 2021.

Multi-Page

2 Replies to “Bapak”

Tinggalkan Balasan