Bapak

1,888 kali dibaca

Siang itu terik matahari sedang santer. Kulit cokelatku pun tercubit olehnya. Aku yang baru saja pulang dari bermain merengek pada Bapak supaya dibelikan sepeda baru, melihat sebagian besar teman sekolahku sudah punya sepeda. Tersisa diri ini yang belum memiliki benda itu. Cemooh dari teman-teman pun makananku sehari-hari karena belum bisa mengendarai kendaraan yang dikayuh itu.

“Kapan kita beli sepeda, Pak?” tanyaku.

Advertisements

“Besok, ya, kalau Bapak dapat job. Sekarang lagi sepi orang buat rumah. Jadi, Bapak belum punya uang,” balas Pak Hamdi.

Bapakku seorang buruh bangunan. Beliau hanya mengandalkan panggilan para pelanggan untuk mendapatkan uang. Tak ada lagi yang bisa beliau kerjakan, kecuali hanya berkebun di tanah sekitar rumah.

“Cepat, lho, Pak. Aku pengin sekali belajar naik sepada. Biar kayak teman-temanku,” rengekku lagi.

“Iya, iya. Bapak usahain.”

Percakapanku dengan Bapak terputus begitu saja saat azan dhuhur berkumandang dari masjid ke masjid di desa kami. Bapak mengajakku pergi ke masjid bersama untuk salat berjemaah salat dhuhur. Kebetulan posisi rumah sederhana kami di samping masjid. Jadi, bisa dengan cepat sampai ke sana. Tepat saat aku dan Bapak sampai masjid, imam baru saja takbiratul ihram. Kami pun bisa mengikutinya, sehingga tak menjadi makmum masbuk. Selepas salat berjemaah aku melihat Anwar di halaman masjid bersama sepeda barunya.

“Syukri, ayo main sepeda denganku,” ajak Anwar seraya memperbaiki letak sarungnya supaya tak mengganggunya dalam bersepeda.

Aku segera mengedarkan penglihatanku, mencari sosok Bapak. Kepala kuputarkan ke segala arah. Namun, aku tak mendapati Bapak. Lantas kaki ini berlari kencang masuk kembali ke dalam masjid. Ternyata Bapak sedang salat sunah di sana. Aku putuskan untuk menunggu Bapak sejenak, setelah mengetahui beliau sudah pada takhiyat akhir.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

2 Replies to “Bapak”

Tinggalkan Balasan