Bahagia Menurut Kitab Idhotun Nasyiin

1,340 kali dibaca

Dalam hidup, kebahagiaan pasti merupakan dambaan bagi setiap orang. Tidak bisa dimungkiri, hal itu memang benar adanya. Kebahagiaan menjadi bumbu penyedap yang—barangkali—tidak bisa terhitung dengan angka dan tidak dapat tertulis dengan kata-kata. Bahagia adalah keadaan yang tidak bisa dipresentasikan. Andaikan bisa, maka representasi bahagia setiap orang tidak akan sama.

Setiap orang ingin bahagia dan punya hak untuk bahagia. Tentu, kebahagiaan mereka didapat dengan jalan yang berbeda. Ada yang mendapatkan kebahagiaan dengan sesuatu yang rumit, ada juga yang mendapatkannya dengan cara yang sangat sederhana. Sebab, dalam menginterpretasikan kebahagiaan tersebut, setiap orang punya cara pandang masing-masing.

Advertisements

Maka tak ayal, kita selalu menemukan kebahagiaan dengan segala macam rupa. Sebagian orang menganggap, bahagia adalah ketika memiliki banyak uang, sebagian yang lain beranggapan bahwa bahagia adalah ketika memiliki kekuasaan atau jabatan. Namun, tak sedikit dari mereka mengartikan kebahagiaan dengan bentuk yang lebih sederhana. Hal tersebut wajar, sebab—sekali lagi—kebahagiaan memang bersifat relatif.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia memiliki dua makna, yang sebenarnya saling berkaitan. Pertama, bahagia diartikan sebagai keadaan atau perasaan tenang dan tenteram. Bahagia selanjutnya—masih dalam KBBI—diartikan sebagai keberuntungan atau kemunjuran.

Kebahagiaan memang akan terlahir ketika keadaan jiwa dalam keadaan damai atau tenteram. Mustahil, jika kebahagiaan muncul, sementara batin atau perasaan masih karut-marut dengan masalah. Bisa dikatakan, ketenangan jiwa seseorang menjadi dasar sebelum bahagia itu dibangun.

Pada pengertian KBBI yang kedua, bahagia diartikan sebagai keberuntungan. Keberuntungan tersebut pastinya merupakan keberuntungan versi orang yang sedang bahagia. Sebab, sebagaimana kebahagiaan itu sendiri, keberuntungan juga bersifat relatif. Beruntung versi A mungkin saja berbeda dengan beruntung versi B. Sehingga konteks kebahagiaan keduanya juga tak sama.

Jadi, pada pengertian secara etimologis (KBBI) yang kedua ini, pondasi kebahagiaan adalah keberuntungan. Keberuntungan seseorang menjadi muasal kebahagiannya. Dan perlu diperhatikan lagi, bahwa keberuntungan setiap orang mungkin saja berbeda-beda.

Lalu, bagaimana arti bahagia yang sebenarnya? Seperti apa konsep bahagia yang tepat?

Syekh Mustahafa Ghalayain, dalam kitabnya Idhotun Nasyi’in, telah menarasikan arti bahagia itu sendiri. Lebih tepatnya bisa dilihat pada halaman 120. Di dalamnya, Syekh Musthafa memberikan argumen tentang arti bahagia yang sebenarnya. Sekaligus menyajikan tentang bagaimana kebahagiaan hakiki bisa diraih.

I’tidal; Jalan Menuju Kebahagiaan

Syekh Musthafa sendiri memang mengakui bahwa kebahagiaan itu sama halnya dengan kecantikan. Keduanya sama-sama bersifat nisbi (relatif). Tergantung siapa yang memandang dan dari sudut pandang bagaimana yang digunakan. Dengan bahasa yang berbeda, beliau menyebut bahwa kecantikan atau kebahagiaan didasarkan pada perasaan dan kecenderungan orang yang melihatnya.

Ada salah satu petikan kalimat dalam kitab tersebut yang bagi saya mewakili definisi bahagia itu sendiri. Yakni, “Bahagia bukan merupakan hal yang baik yang disepakati semua orang. Namun, bahagia adalah hal yang baik menurut seseorang yang memandangnya baik.”

Maknanya, bahagia itu adalah suatu kebaikan. Namun bukan kebaikan yang sifatnya mujma’ alaihi (disepakati semua orang). Kebaikan yang dimaksud bisa jadi dipandang baik oleh kalangan tertentu, tapi tidak bagi kalangan yang lain.

Saya beri contoh sederhana, misal, bagi Aqil, bahagia itu adalah ketika bisa menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kampus. Namun, tidak bagi Husein. Sebab, bagi dia, menjadi ketua atau pimpinan mahasiswa adalah hal yang penuh tanggung jawab dan sangat melelahkan.

Atau dengan contoh lain, bahagia, menurut Al, adalah ketika menjadi mahasiswa terkenal di kampus bahkan menjadi milenial yang populer. Namun tidak bagi Manuri, menjadi populer menurutnya adalah hal yang membosankan dan bisa jadi membuat celaka.

Melihat kepada definisi-definisi yang telah dijelaskan, bahagia setiap orang itu relatif berbeda. Mereka punya versi masing-masing dalam menginterpretasikan bahagia itu sendiri. Maka jangan sampai menyalahkan kebahagiaan versi orang lain selama kebahagiaan mereka tidak merugikan siapa-siapa. Setiap orang punya kacamata yang berbeda.

Lalu, bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan yang ideal? Di sini—terkadang—banyak orang yang keliru dalam menyimpulkan. Kebahagiaan yang ideal sebenarnya bisa didapat dengan sangat mudah. Tidak harus dengan cara yang berlebihan.

Menurut Syekh Mushtafa Ghalayain, kebahagiaan yang ideal dapat dicapai ketika orang memandang sesuatu dengan akal pikiran, lalu menetapkan garis tengah dalam menghadapi persoalan. Garis tengah tersebut dikatakan sebagai i’tidal, berbuat sesuatu dengan cara sedang (di tengah-tengah) dalam hal apapun. Sehingga hal itu akan ber-impact pada kebahagiaan yang sebenarnya.

Seperti halnya berlibur atau mencari hiburan (sebagaimana dicontohkan dalam kitab Idhotun Nayiin). Mencari hiburan bisa membuat otak dan badan lebih refresh (segar). Lelah yang menjarah tubuh bisa hilang dengan hiburan, rekreasi misalkan. Jika tidak ada hiburan sama sekali, maka akan mengganggu pada keadaan jiwa seseorang. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, jika mencari hiburan dengan berlebihan dan terlalu sering, hanya akan membuat jiwa menjadi pemalas.

Selaras dengan salah satu kaidah, Khairul umuri al-wasthu (ada juga yang menyebut awsathuha); sebaik-baik perkara adalah di tengah-tengah. Untuk menempuh jalan tengah yang dimaksud, Syekh Musthafa menjelaskan bahwa ada tiga patokan pokok yang harus diperhatikan, yaitu; ajaran agama, akal pikiran, dan perasaan.

Jadi dalam menyikapi suatu hal atau sebuah persoalan, yang dijadikan patokan tidak hanya melulu ihwal agama, namun juga harus berlandaskan pada rasionalitas dan perasaan. Itulah kunci bahagia menurut Syekh Musthafa Ghalayain selaku pengarang kitab Idhotun Nasyiin tersebut. Wallahu a’lam

Multi-Page

Tinggalkan Balasan