Bagaimana Penyair Bekerja

880 kali dibaca

Sebuah kemisteriusan yang senantiasa membuat kita penasaran, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana seorang penyair bekerja atau mengerjakan kata-kata.

Ketika kita membaca puisi-puisi penyair terutama yang berbahasa Indonesia, sebut saja generasi setelah Chairil Anwar, seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, kita menjadi sering bertanya-tanya sendiri, bagaimana mereka bisa menyusun kata-kata sedemikian rupa sehingga tampak padu, penuh makna dan pengkhayatan.

Advertisements

Sedangkan, kita tahu sendiri, bahwa mereka menulis di luar tatapan mata kita, tersembunyi dan sunyi. Kita hanya membacanya setelah karya-karya mereka jadi dan beredar, dan itu pun sangat terbatas sehingga seperti penulis sendiri harus susah payah mencari buku-buku mereka.

Tentu yang membuat penulis berburu buku puisi, selain karena rasa penasaran yang besar pada puisi itu sendiri, adalah karena penulis kebetulan mengambil studi di jurusan Sastra Indonesia, dan saat duduk di bangku kuliah nama mereka sering tertera di buku-buku kajian puisi dan sastra dengan begitu terhormat.

Penulis menjadi sangat penasaran mengapa yang namanya penyair itu begitu istimewa, pasti bukan karena orangnya saja, tapi terlebih karena puisinya. Lantas bagaimana puisi itu dibuat? Apakah dengan penuh rahasia?

Ketika penulis mendengar kisah tentang Chairil Anwar yang dituliskan oleh Sjuman Djaya, digambarkan ia (Chairil Anwar) suka keluyuran ‘menembus malam’, duduk sepi di pinggir rel kereta sambil suntuk membaca buku, berjalan entah ke mana, memikirkan kata setiap saat baik sendiri atau bersama orang lain, mencatat frasa-frasa sambil mengucap-ucapkannya, menerjemah puisi berbahasa asing, mencuri buku yang menarik, dst.

Sederet kebiasaan itu tentu tidak lazim bagi kebanyakan orang, dan terkesan seperti tidak ada kerjaan. Tapi hal yang sama pun berlaku pada penyair-penyair di belahan dunia lain, sebut saja John Keats yang suka mengamati tumbuh-tumbuhan, bebungaan, serangga, lebah, dst. Atau Walt Withman yang menyukai rumpun bunga di taman-taman atau Robert Frost yang mencintai perjalanan dan hutan, atau Pablo Neruda yang suka berjalan di tepi pantai untuk memperhatikan laut, dll.

Para penyair itu memang terkesan aneh kelakuannya, dan itulah salah satu yang sering menjadi rasa penasaran kita. Lantas apakah semua kebiasaan itu akan bisa membantu kita menyusun kata dan menggubahnya menjadi sajak? Tentu saja terlalu terburu-buru untuk menjawabnya sekarang.

Cerita yang lain tentang penyair-penyair Yogya saat PSK (Persada Studi Klub) masih hidup, sebuah perkumpulan penulis-penyair-seniman yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi, dkk, pun mempraktikkan kebiasaan yang cukup aneh macam Chairil itu, yaitu berjalan ‘menembus malam’ menyusuri lorong-lorong kota Yogya di Malioboro, muter entah ke mana, dan mungkin akan terkesan hanya itu kah pekerjaannya? Apa makna semua itu?

Bahkan salah seorang penyair PSK bernama Suwarni P, tertelan ombak Parangtritis dan hilang tak ditemukan sampai sekarang dan tak diketahui di mana jasadnya. Beliau penyair yang mempraktikkan Yoga dan memasukkan unsur-unsur penghayatannya dalam puisi-puisinya.

Menurut penyair generasi itu, kehidupan harus dihayati langsung dengan cara disaksikan. Puisi bukan yang dituliskan tapi yang dihayati dan dialami dalam kehidupan. Jalan puisi itu terkenal dengan nama ‘jalan sunyi’.

Umbu sendiri tak kalah kontroversi kemisteriusannya, sampai-sampai murid-murid dan teman-temannya penasaran mencari di mana beliau itu tinggal, seperti apa beliau menata ruang bekerjanya, apakah banyak buku-buku di sana (faktanya menurut Bli Jengki, tidak ada buku-buku kecuali kertas-kertas puisi penyair muda yang tengah pada belajar), ataukah banyak coretan puisi yang belum, tak, atau sudah jadi, pendek kata bagaimana penyair mengerjakan puisinya, seperti apa?

Rahasia seorang penyair tentu harus kita maknai positif sebagai rahasia diri, sebagai ‘aurat’ yang tidak boleh dibuka-buka sembarangan. Puisi dan kehidupan puisi boleh jadi sekarang tidak sakral lagi, tapi sejatinya tetap adalah rahasia. Kita bersembunyi di balik kata-kata, ucap Subagio dalam salah satu puisinya, dan menenggelamkan diri di dalamnya. Bagi filsuf Jerman Nietzsche, pantang mengutarakan diri karena itu berarti menelanjangi diri dan itu berarti tampaknya dukacita dan luka derita yang mendalam dari kita pada orang lain, selain malu, itu juga akan menyengsarakan orang lain, kasihan.

Bagaimana penyair bekerja? Jelas, semua berbeda-beda dalam mengerjakan puisi-puisinya, ada yang berjalan entah ke mana, ada yang suntuk membaca buku-buku bagus dulu, ada yang duduk di kamarnya yang tersembunyi, ada yang menyusuri pantai, dst. Pada intinya, pekerjaan menyair itu adalah kehidupan, adalah laku keseharian kita, adalah penghayatan kita pada luar dan dalam dunia kita, adalah proses dan latihan peka yang terus, pendek kata adalah rahasia, di mana diri tersimpan rapi sebagai tampak seni.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan