Bagaimana Orang Bali Memenangi Perang Identitas

1,265 kali dibaca

Bali yang kita kenal kini nyaris identik dengan Hindu dan pariwisata. Jika kita menyebut nama Bali, maka kata asosiatif yang muncul dalam benak kita adalah Hindu dan pariwisata. Tapi sesungguhnya belumlah lama identitas itu, atau penanda itu, terbentuk. Apa yang sesungguhnya terjadi di pulau berjuluk “Surga Terakhir” itu?

Buku karya Michel Picard, Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali, ini menguraikan dengan gamblang apa yang terjadi di Pulau Bali hingga terbentuk idenditas kebalian yang kita kenal kini.

Advertisements

Picard, ilmuwan berkebangsaan Prancis ini memang tekun melakukan penelitian di Bali sejak awal 1970-an. Banyak karyanya yang telah dipublikasikan, salah satu yang popular adalah Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Kebalian merupakan bukunya yang teranyar meskipun penelitiannya sudah dimulai sejak 1970-an.

Buku setebal 390 halaman, terdiri atas 8 bab, ini terbit pertama kali di Paris, Prancis, pada 2017. Kemudian, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2020. Meskipun penelitiannya fokus pada Bali, namun Picard juga memaparkan relasinya dengan dinamika agama dan budaya di Nusantara, bahkan di India yang dianggap sebagai asal usul Hindu.

Arsitektur Identitas

Melalui penelitiannya ini, Picard menemukan arsitektur pembentukan identitas Bali kini, yang terdiri atas tiga entitas, yaitu agama, tradisi, dan budaya. Dianalogikan sebagai sebuah pohon, agama adalah akarnya, tradisi/adat sebagai batang pohonnya, dan budaya adalah buahnya. Dari situlah muncul identitas orang Bali, yang disebut kebalian. Dengan arsitektur tersebut, sepanjang agama, tradisi/adat, dan budaya tetap utuh sebagai satu kesatuan, maka kebalian sebagai identitas orang Bali akan lestari.

Hanya, yang menarik, dari penelitian Picard terungkap bahwa proses penyatuan relasi antara agama, tradisi, dan budaya orang Bali ternyata bukan perkara mudah, terutama dalam hal apa yang kemudian disebut sebagai agama (Hindu). Sebab, pada mulanya agama orang Bali adalah ortopraksi, bukan ortodoksi.

Ia adalah agama lelaku (dharma) yang bersumber dari leluhur. Dan bisa dibilang tidak memiliki nama umum sebagai sebuah agama. Sampai dengan masa awal abad ke-20, bahkan setelah Indonesia merdeka, penamaan terhadap agama orang Bali ini masih menjadi perdebatan dan pertarungan sengit di antara orang Bali sendiri —tentu melibatkan juga kepentingan orang-orang non-Bali.

Kemudian, dalam buku ini, Picard menyebut ada dua sumber relasi sebagai “pembentuk” agama orang Bali. Yang pertama adalah Indo-Jawa, yang dinisbatkan pada Majapahit. Bali mulai bersentuhan dengan agama Indo-Hindu ketika Majapahit menaklukkan kerajaan-kerajaan di Bali. Kemudian, pada abad ke-16, ketika Majapahit runtuh dan terdesak oleh Kerajaan Islam Demak, sisa-sisa pembesar Majapahit yang menolak Islam melarikan diri ke Bali dan akhirnya memperkuat praktik keagamaannya di pulai ini.

Yang kedua adalah Hindu India. Sebenarnya, menurut Picard dalam buku ini, pada awalnya agama orang India juga tidak bernama. Juga lebih merupakan agama ortopraksi ketimbang ortodoksi. Kata “Hindu”, dan “hinduisme”, menurut Picard, merupakan varian dari Bahasa Sanskerta Shindu. Sindhu mengacu pada populasi yang hidup di seberang Sungai Indus, dan mereka disebut Hindu.

Dari sanalah, terhadap praktik keagamaan populasi di seberang Sungai Indus ini oleh kaum orientalis dan penjajah kemudian disebut hinduisme, agamanya orang Hindu (baca: India). Istilah Hindu mulai digunakan pada abad ke-16, dan memperoleh denotasi khusus religius (hinduisme) pada abad ke-19, yang berarti agama orang India, untuk membedakan dari orang India yang Kristen dan orang India yang Islam yang ketika itu masih disebut Hindu Kristen dan Hindu Islam.

Tapi dalam perkembangannya, menurut penelitian Picard, praktik keagaamaan orang Bali ternyata tidak sama persis dengan Indo-Jawa dan pula hinduisme India. Alam religiusitas orang Bali ternyata tetap asli terlokalisasi. Karena itu, ketika Indonesia merdeka dan setiap orang harus menganut agama tertentu yang diakui negara, penamaan agama orang Bali menjadi urusan tersendiri. Terjadi tarik menarik antara penamaan antara Hindu Bali, Hindu Dharma, dan Hindu –yang terakhir ini mengacu pada Hindu India.

Para reformis Bali kemudian mendominasi pertarungan, dan berhasil mengkonstruksi agama orang Bali yang mengacu pada India sehingga nama Hindu yang dipakai. Sampai di sini, Hindu yang dianut orang Bali diposisikan sebagai agama universal, agama yang tidak dianut oleh hanya etnis dan daerah tertentu.

Tak cuma agama. Picard juga menggambarkan bagaimana tradisi dan budaya orang Bali secara terus-menerus dikontruksi dan direkonstruksi berhadapan dengan masuk dan persinggungannya dengan tradisi dan budaya lain melalui pintu pariwisata. Pada akhirnya, orang Bali dapat memilah perbedaan antara agama, tradisi, dan budayanya yang kemudian membentuk identitas kebalian.

Dan, Bali yang kita kenal kini adalah hasil dari bagaimana orang-orang Bali menyerap apa yang datang dari India dan Jawa dan kemudian menafsirkannya kembali sesuai dengan alam religi mereka yang asli dan lokal. Namun, meskipun menyadari bahwa “perang identitas” tak pernah berakhir, buku ini tak memberi isyarat apa pun tentang sekuat apa identitas kebalian akan terus bertahan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan