Bab Tujuh Kata Itu

840 kali dibaca

Saya kadang memang suka “telmi” alias telat mikir.

Hal itu baru saya sadari pada awal Ramadan yang belum lama berlalu. Seperti Ramadan tahun-tahun sebelumnya, bulan puasa kali ini juga diwarnai kehebohan razia terhadap warung-warung makan yang buka di siang hari. Bahkan, di beberapa tempat, terjadi keributan. Barang-barang dagangan disita petugas, dan pedagangnya diberi sanksi.

Advertisements

Untungnya, organisasi massa yang suka melakukan razia melebihi petugas sudah terlarang. Sehingga, meskipun razia tetap ada, tidak senorak tahun-tahun sebelumnya.

Peristiwa-peristiwa seperti itulah yang menyadarkan betapa saya kadang suka “telmi”. Kenapa waktu itu “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta harus disetip? Benar, saya baru sadar. Bayangkan, apa yang terjadi hari-hari ini seandainya waktu itu tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945 tidak dibuang. Saya baru sadar betapa besar perjuangan dan pengorbanan para bapak bangsa untuk mendirikan sebuah negara yang berdiri di atas semua golongan. Berdiri tepat pada tempatnya.

Begitu sadar dari “telmi”, saya teringat akan tujuh kata itu: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Begitu teringat tujuh kata itu, saya pun berandai-andai. Andai tujuh kata itu tidak dihilangkan, dan kemudian dimasukkan dan tertera di dalam Pembukaan UUD 1945, maka sudah pasti Indonesia akan menjadi “negara syariat”—istilah kekiniannya adalah “NKRI Bersyariat”. Istilah ini mengandaikan bahwa menyerukan “NKRI Bersyariat” sama artinya dengan ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta.

Konsekuensi berikutnya, karena tujuh kata tersebut masuk dalam konstitusi, maka akan ada undang-undang khusus tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam”. Tentu saja, berdasarkan undang-undang ini, negara akan mewajibkan seluruh umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agama. Jika negara telah mewajibkan, maka yang melanggar kewajiban itu juga akan memperoleh hukuman dari negara. Jika tidak ada sanksi, di mana wibawa negara?

Maka, konsekuensi berikutnya lagi, akan ada penegak hukum syariat, katakanlah polisi syariat —di samping “polisi konvensional”. Tugas polisi syariat tentu saja memastikan seluruh umat Islam Indonesia manjalankan syariat Islam dan menindak yang melanggar atau melalaikan kewajiban menjalankan syariat itu. Ya, mungkin mirip-mirip dengan tugas polisi syariat di Provinsi Aceh.

Saya pun bisa berandai-andai makin liar. Boleh jadi, seringkali akan ada orang yang mengendap-endap di teritisan rumah saya pada dini hari yang sepi. Bukan untuk mencuri. Mungkin sekadar untuk memastikan saya tidur dengan siapa malam itu. Atau untuk memastikan, apakah ketika azan subuh berkumandang, saya bisa bangun untuk salat subuh. Maka, ketika suatu hari saya tak bisa bangun pagi, si pengintai rumah itu akan menggelandang saya ke penjara. Saya didakwa tak salat subuh. Sebab, si pengintai rumah tadi adalah polisi syariat.

Atau, entah dengan motif apa, dan motifnya memang bisa apa saja, orang akan saling melapor kepada polisi syariat. Mungkin tetangga saya yang miskin akan melapor ke polisi syariat karena tak pernah melihat saya bangun pagi —lebih-lebih salat subuh berjamaah di masjid. Mungkin seseorang akan melaporkan gadis yang menolak pinangannya bukan sebab penolakannya, melainkan karena si pelapor melihat pujaan hatinya itu makan es krim di tempat terbuka di siang hari pada bulan puasa. Ia sebal karena tak hanya tergoda oleh kecantikannya ketika sedang berpuasa, tapi juga es krimnya!

Betapa negara ini akan lebih disibukkan untuk mengurusi rakyatnya yang tak taat beragama ketimbang menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai nation-state. Saya tak tahu apakah hal-hal seperti itu juga menjadi pertimbangan waktu itu. Yang kita tahu pada akhirnya tujuh kata itu hilang, dan tak tertera dalam Preambule. Ada yang menyebut ini sebagai kekalahan umat Islam, atau pengorbanan umat Islam, atau kebesarhatian umat Islam, atas desakan-desakan dari kelompok-kelompok lain agar negara yang baru diperjuangkan kemerdekaannya ini tak tercerai-berai.

Apa pun alasan dan kondisinya, dengan menghapus tujuh kata itu, para pendiri bangsa telah meletakkan dasar-dasar negara secara benar. Dengan begitu, negara memandang bahwa “menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah hak, hak yang asasi, tapi bukan kewajiban.

Maka, dari sudut pandang negara, menyembah Tuhan itu, beribadah, atau menjalankan syariat Islam bagi yang muslim, adalah hak setiap warga negara. Tugas negara adalah menjamin dan memastikan setiap warganya memiliki kebebasan dan kemerdekaan yang sama untuk menggunakan hak-haknya, dan yang asasi adalah hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.

Karena itu tidak pada tempatnya jika negara justru “mewajibkan” warganya dalam hal menjalankan syariat agama. Itulah kenapa akhirnya tujuh kata itu dihilangkan, karena para pendiri bangsa ketika itu memang tidak sedang mendirikan “negara syariat”, melainkan nation-state, negara bangsa. Barulah, jika negara memang melarang-larang orang beribadah, misalnya melarang orang salat atau berpuasa, mari kita angkat senjata…

Jika saya yang baru sadar soal ini terbilang “telmi”, bagaimana yang tak sadar-sadar?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan