Arus Balik Keindonesiaan

687 kali dibaca

Ini bukan tentang yang tampak. Tapi tentang arus balik yang terjadi di bawah permukaan. Arus balik keindonesiaan.

Saya ingin memulainya dengan kenangan masa kecil. Masa kecil yang saya habiskan di ujung timur Pulau Jawa. Kebetulan, jika diteropong dengan teori sosial kekinian, rumah saya berada di “garis demarkasi” identitas sosial.

Advertisements

Di sisi selatan, yang dibelakangi rumah saya, adalah komunitas santri.  Ada pesantren, beberapa masjid, banyak musala. Sebagai komunitas santri, mereka adalah orang-orang yang tekun belajar agama, rajin beribadah.

Di sisi utara, yang berada di depan rumah saya dan hanya dipisahkan  oleh sebuah jalan desa, adalah komunitas abangan. Mereka adalah, lagi-lagi jika diteropong dengan teori sosial, orang-orang yang disebut “Islam KTP”. Ke masjid hanya setahun sekali untuk ikut salat Idul Fitri.

Di sisi timur, yang lebih dekat ke arah daerah Alas Purwo, adalah komunitas Hindu. Tentu saja ada banyak pura, tempat peribadatan mereka, di sana.

Itulah “garis demarkasi” identitas sosial yang tegas. Tapi di sisi-sisi yang lain, di sela-sela kantung-kantungnya, “garis demarkasi” itu semakin kabur. Orang-orang hidup bercampur dengan kepercayaan dan agama yang berbeda-beda, dengan suku dan ras yang berlain-lainan pula. Itulah hidup bebrayan.

Sampai kelak saya berkelana ke mena-mana, tak ada yang salah dengan itu semua. Saya, yang saban malam ngaji dan kemudian tidur di musala, tak pernah melihat telunjuk guru-guru saya menuding ke arah lain: “Mereka kafir, mereka ahli neraka!” Karena itu, bersama kawan-kawan yang lain, saya leluasa berkunjung ke rumah tetangga-tetangga yang sedang merayakan Galungan. Saat Idul Fitri, giliran mereka berkunjung, dan kami saling bermaafan. Itulah hidup bebrayan.

Sampai kelak kemudian, pada suatu titik, saya menjadi terheran-heran: kenapa berbeda identitas, berbeda agama, berbeda kepercayaan, berbeda keyakinan, lantas bisa menjadi suatu masalah, seperti yang kita lihat belakangan ini?

***

Yang tampak ke permukaan adalah wajah Islam yang berbeda dari yang saya pelajari sejak dini, yang belakangan, lagi-lagi jika diteropong dengan teori sosial, dikenal sebagai radikalisme. Radikalisme agama. Yang kemudian menjadi gerakan populisme agama.

Seperti di sejumlah negara, sejak runtuhnya Orde Baru, gerakan populisme agama telah menemukan momentumnya di Indonesia. Ia membonceng demokrasi, dan demokrasi kemudian memang memberinya jalan lapang. Wacana mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sistem khilafah, atau menjadikan NKRI bersyariah, adalah puncak gunung es dari gerakan populisme agama.

Sebagai gerakan populis, populisme agama memang memabukkan. Membuai. Yang tampak di permukaan kemudian adalah semua orang terbuai. Mabuk agama. Satu-satunya jalan untuk memperbaiki Indonesia adalah dengan mengubahnya menjadi negara agama, negara Islam, dengan sistem khilafah, dengan NKRI bersyariah.

Apakah benar demikian, bahwa seluruh, atau mayoritas, umat Islam Indonesia bersetuju dengan yang tampak di permukaan itu?

Saat teringat kenangan masa kecil seperti di awal tulisan ini, saya teringat istilah yang diperkenalkan Ricard Nixon, Presiden ke-37 Amerika Serikat, yaitu silent majority. Istilah ini, yang berarti “mayoritas yang diam”, merujuk pada sebagian warga yang lebih memilih diam, tidak banyak bersuara —tidak banyak bacot, menurut istilah milenial— untuk menghindari ketegangan dan benturan yang lebih luas dengan kelompok lain. Namun, ketika silent majority pada akhirnya bersuara, maka semuanya bisa menjadi berbeda.

Itulah yang terbayang di bawah permukaan, ketika yang tampak di permukaan dan mendominasi wacana di Indonesia adalah gerakan populisme agama. Siapa silent majority itu? Masyarakat yang tinggal di desa saya itu merupakan miniatur atau contoh kecil dari silent majority ini. Kiai, santri, abangan, dan kelompok-kelompok yang demikian beragam itu adalah bagian dari silent majority ini. Masyarakat yang lebih mencintai keindonesiaan itulah yang disebut silent majority itu.

Mereka jarang bersuara, dan lebih banyak diam. Tapi, hari-hari ini saya melihat silent majority ini mulai bersikap untuk melawan arus gerakan populisme agama dari kelompok vocal minority, yang sedikit tapi berisik, yang telah berkembang menjadi dangerous minority, kelompok kecil yang akan membahayakan keindonesiaan.

Di bawah permukaan kini telah muncul arus balik keindonesiaan, yang mulai memukul balik radikalisme agama, gerakan populisme agama. Selalu begitu jika keindonesiaan mulai terancam.

Multi-Page

One Reply to “Arus Balik Keindonesiaan”

Tinggalkan Balasan