Anjay

1,134 kali dibaca

Saya pernah mencoba menyaring dan membendung kata-kata. Anda tahu hasilnya? Gagal total! Dan saya mengaku kalah, bersalah.

Hal itu terjadi saat anak saya memasuki masa belajar bicara. Saya tak ingin, dalam hidupnya yang masih murni-bersih itu, ia mengenal kosa kata yang diberi konotasi buruk. Misalnya, saya tak mau mengenalkan kepadanya kosa kata “bohong”, “bodoh”, “khianat”, “tipu”, “maling”, dan sejenisnya, dengan segala turunannya.

Advertisements

Jika ada seseorang yang berbohong, maka saya akan menyebutnya dengan istilah pengganti “mengarang”. Dengan begitu, misalnya, jika ia bertanya kenapa apa yang diomongkan seseorang berbeda dengan fakta yang sebenarnya, saya akan memberi jawaban: “dia sedang mengarang,” bukan “dia sedang menipu.”

Begitu pula dengan kosa kata lainnya dan yang seterusnya itu; saya akan selalu mencari kata atau kalimat pengganti “yang baik-baik saja”. Tujuannya, agar selama masa tumbuh-kembang itu, anak saya tak pernah mengenal kata-kata yang diberi konotasi buruk. Agar tak ada kata yang diberi konotasi buruk dalam kamus hidup anak saya. Dengan demikian, impian saya, anak saya akan jauh dari perilaku buruk karena terhindar dari pengaruh kata-kata buruk.

Lalu apa yang terjadi?

“Ah, lu boong, San…”

“Ih, anjrit emang lu, San…”

Woy, anjay… Keren abis ini, gais…”

Itulah beberapa penggalan percakapan anak saya dengan sejumlah teman sekolahnya. Akhirnya saya paham, kata-kata memang seperti air. Dibendung dari sisi mana pun, ia akan merembes, mencari jalannya sendiri. Di rumah, pengenalan dan penggunaan diksi boleh dibatasi. Tapi di luar rumah, di sekolah, atau di lingkungan sosialnya, anak-anak selalu punya caranya sendiri untuk mengenal dunianya, mengenal bahasanya.

Maka terasa menggelikan bila akhir-akhir ini orang ramai ada yang memperkarakan munculnya kata “anjay”, dan meminta pengucapnya untuk dipidana. Konon, karena “anjay” telah menjadi media perundungan (bullying).

Kita tahu, bahwa “anjay” adalah “cucu” dari kata “anjing”. Kata “anjing” ini “bermutasi” menjadi “anjrit”, dan tak lama kemudian menjadi “anjay”. Apakah diksi “anjing” ini selalu identik dengan penghinaan atau penistaan? Mungkin. Tapi di daerah tertentu, dengan konteks dan motif tertentu, ternyata tidak juga. Apalagi, padanannya, “asu”, di beberapa daerah dan dalam konteks tertentu justru menjadi penanda keakraban.

Diksi itu memang tetap terasa kasar meskipun sebagai media bercandaan. Karena itulah generasi milenial akhirnya “berkreasi” dan lahirlah “anjrit” dan “anjay”. Dengan “mutasi” ini generasi milenial mencoba menghilangkan motif penghinaan atau penistaan dan kekasaran dari diksi “anjing”. Karena itu, “anjrit” dan “anjay” lebih berasosiasi dengan penanda keakraban atau bahkan ketakjuban.

Jika penggunaan kata “anjay” harus dilarang dan pengucapnya dipidana, bagaimana dengan “jancuk” dan “celeng”, misalnya. Di Jawa Timur, dan terutama di Surabaya, “jancuk” adalah makian dan sekaligus penanda keakraban. Seseorang bisa memaki, mengumpat, atau menghina orang lain dengan kata itu. Tapi, dalam derajat yang sama, seseorang akan merasa menjadi bagian dari komunitasnya setelah dipanggil dengan kata itu: cuk!

Kita tahu, celeng adalah sebutan untuk babi hutan. Tapi bagi orang Osing di Banyuwangi, diksi itu telah menjadi sebutan untuk sesamanya. Konon, itu dimulai di zaman perang puputan. Perang membuat orang Osing tercerai-berai. “Celeng” kemudian dijadikan “kata sandi” (keyword) saat mereka bertemu dan berkumpul kembali dan untuk membedakannya dari musuh. Hingga saat ini, kata “celeng” itu telah menjadi media tegur sapa penuh keakraban di kalangan orang Osing. Anda belum akrab dan belum diakui sebagai bagian dari komunitas Osing sampai saat Anda dipanggil: celeng riko!

Di daerah-daerah lain, pada masyarakat-masyarakat lain, idem ditto, sami mawon. Bahasa dan kata-kata adalah anak zamannya. Masyarakat manusia akan selalu memproduksi kata-kata baru, dan kadang dengan “melupakan” yang lama, sesuai dengan (perkembangan) zamannya. Adakalanya kata-kata itu netral, sekadar sebagai penanda seperti yang diteorikan di suatu waktu. Tapi, adakalanya pula, kata-kata tak lagi netral, karena membawa pesan dan misi di dalam dirinya, seperti yang diteorikan di waktu yang lain.

Kemunculan kata baru tak perlu dilarang-larang, tak perlu dibendung-bendung. Saat penggunanya sudah tidak membutuhkannya, ia akan terlupakan dengan sendiri. Sebaliknya, mau dilarang dengan cara apa pun, ia akan tetap merembes dan mencari jalannya sendiri seperti air. Orde Baru telah melakukannya dengan eufimisme dan gagal. “Pelacur” diganti dengan pekerja seks komersial (PSK), dan gagal menghilangkan pelacuran. “Babu” diganti dengan pembantu rumah tangga (PRT) dan sekarang menjadi asisten rumah tangga (ART), dan yang berubah benar-benar hanya istilahnya. Kenyataan tak bisa ditutupi dengan eufimisme.

Anjay, bukan?

Cara-cara yang mirip juga digunakan oleh orang dan kelompok tertentu di lain waktu. Misalnya, kosa kata seperti “pertiwi”, “sri”, “dewi”, “wisnu”, dan semacamnya dianggap mewakili era pra-Islam, dan menggunakannya sebagai nama adalah sebuah kekufuran. Seperti yang pernah disindir oleh Gus Dur, mereka ingin mengganti sebutan “saudara” dengan akhi dan ukhti, “saya” dengan ana, juga “bapak” dengan abi dan “ibu” dengan umi, yang secara keliru dianggap mewakili keislaman.

Maka kemudian ada adegan seorang anak memeluk ibunya sambil sesenggukan seperti ini:

Umi, bagaimana ini, abi ditangkap KPK karena korupsi…”

Anjay, bukan?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan