Anak, antara Amanah dan Cobaan

924 kali dibaca

Setiap tanggal 23 Juli, sejak 1984 kita di Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Gagasan tentang Hari Anak ini sebenarnya sudah digulirkan jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya sejak Kongres Wanita Indonesia (Kowani) I, 22 Desember 1928. Namun, baru terealisasi setelah ditetapkan Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984, diselaraskan dengan pengesahan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak yang disahkan pada 23 Juli 1979. Sementara, atas saran Mr VK Khishna Menon, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1954 menetapkan tanggal 20 November sebagai Hari Anak Sedunia.

Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, tentu perayaan hari anak tak bisa diselenggarakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), tema HAN 2020 “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, pun hanya bisa digemakan melalui tagar #AnakIndonesiaGembiradiRumah. Meski begitu, ini harus dijadikan momentum untuk meningkatkan kepedulian semua pilar bangsa Indonesia, baik orangtua, keluarga, masyarakat, dunia usaha, media massa dan pemerintah terhadap pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak.

Advertisements

Tidak penting benar bagaimana cara kita merayakan hari anak dalam kondisi-kondisi khusus seperti saat ini. Yang terpenting adalah bagaimana kita, para orangtua, memandang dan memposisikan anak secara benar. Islam, melalui ajaran-ajaran yang difirmankan Allah, memberikan perhatian terhadap anak, salah satunya melalui surat al-Luqman yang memuat beberapa nasihat tentang cara mendidik anak. Dalam beberapa hadits, Nabi Muhammad diketahui tidak hanya memerintahkan, namun juga memberi contoh bagai orangtua harus mencintai dan menyayangi anak.

Misalnya, Rasul SAW bersabda, “Cintailah anak-anak dan berlemah-lembutlah kepada mereka”. Tidak hanya dalam ucapan, Rasul juga memberi contoh melalui perbuatan. Misalnya, suatu ketika saat sedang berkhotbah di mimbar, Rasul melihat cucunya, al-Hasan dan al-Husein, berjalan tertatih. Demi melihat cucunya itu, Rasul SAW langsung turun dari mimbar dan menggendongnya, kemudian mendudukkan keduanya di hadapannya.

Begitu pentingnya posisi anak, al-Quran tidak hanya membahas kewajiban anak kepada orangtua, namun juga kewajiban orangtua kepada anaknya. Dalam perspektif al-Quran, adalah anak adalah amanah bagi orangtuanya; ia sebagai generasi penerus, menjadi tabungan amal di akhirat, dan penghibur serta perhiasan dunia bagi orangtuanya.

Dalam Islam, anak adalah dzuriyyah, penerus keturunan bagi sebuah keluarga. Dan keluarga adalah satuan terkecil yang ditemui pertama kali oleh anak. Keluarga menjadi lingkungan sosial awal, pijakan dan landasan yang membentuk asal mula pemikiran anak. Di sini, orantua berkewajiban memberikan fondasi yang benar soal hubungan harmonis dengan Allah, hablumminallah. Landasan vertikal ini sangat diperlukan, karena untuk mengenalkan Allah sebagai Dzat yang disembah dengan konsep ketakwaan dan ketauhidan.

Selanjutnya, adalah mengenalkan konsep hablumminannas. Orangtua berkewajiban untuk mengajarkan tata cara pergaulan, etika, adab, yang dilandasi rasa saling menghormati dan menghargai.

Agar anak menjadi “investasi” bagi keluarga, berikkutnya adalah memberikan dasar yang kuat untuk menghadapi tantangan zaman, dengan keutamaan dalam bentuk pendidikan atau mencari ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman. Dengan bekal ilmu yang dimiliki, diharapkan anak akan memiliki kepribadian yang baik dan unggul. Sang anak akan mengikuti dinamika zaman, namun tidak ikut tenggelam karena berbagai kerusakan moral.

Namun, al-Quran melalui surat al-Anfaal ayat 28 juga memperingatkan bahwa bahwa harta dan anak-anak sebagai cobaan, dan bisa menjadi fitnah bagi keluarga, terutama bagi orangtua. Ketika anak melibatkan diri kedalam perbuatan yang amoral, misalnya, maka nama orangtua dan keluarga akan terseret. Karena itulah anak bisa juga menjadi investasi negatif.

Seorang anak juga diposisikan sebagai zinatun hayat, perhiasan dunia. Jika sang anak mampu berbuat baik, berprestasi, menunjukkan karakter positif, derajat keluarga dan orangtua menjadi baik pula. Mampu menaikkan strata sosial, meninggikan kedudukan/status atau derajat, tentu akan melahirkan kebanggaan tersendiri bagi orangtua.

Namun, diingatkan juga melalui surat at-Taghabuun ayat 14, bahwa anak bisa saja menjadi musuh. Hal ini terjadi apabila anak menjerumuskan orangtuanya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama dan moral. Misalnya, anak yang berebut warisan, tuntutan anak yang berlebihan, perilaku glamour yang di mana orangtua merasa “harus” memenuhi kebutuhan anak sebagai simbol sosial, eksistensi, popularitas, dengan dalih anaknya harus memunyai dan diperlakukan sama dengan anak sebayanya, tanpa mengukur tingkat kemampuannya. Apabila hal itu terjadi, maka anak bisa menjadi musuh yang disayangi, dibela tanpa memandang sebab, dipuja berlebihan, sehingga memunculkan sikap manja yang sebenarnya menjerumuskan.

Bagaimana kita memandang dan memperlakukan anak juga akan menentukan masa depan sebuah bangsa. Karena itu, misalnya, konsep kerukunan harus dimulai dari keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan pemahaman tentang toleransi, perbedaan, menghormati, dan menghargai pihak lain menjadikan siklus yang berputar berkesinambungan. Orangtua harus mampu menjadi sosok insporatif bagi anak. Dengan keteladanan sikap, maka anak cenderung mudah akan mengikutinya. Hal ini juga dalam upaya untuk mengantisipasi ketika anak bergaul dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Anak diajari dengan akhlakul karimah, agar mampu membedakan hak dan batil, makna keberagaman, dan ideologi bangsa.

Akhirnya, kullu mauludin yuladu ‘alal fitrah, bahwa anak lahir dalam keadaan suci. Tergantung orangtuanya hendak menjadikannya sebagai apa dan siapa. Penanaman pemahaman anak secara komprehensif terhadap agama, akan mampu membangun moral yang tangguh dan kompatibel, sebagai syarat investasi dalam bentuk amanah bagi keluarga, umat, dan bangsa. Selamat Hari Anak Nasional (HAN), semoga orangtua mampu menumbuhkembangkan anak sebagai tabungan akhirat, perhiasan dunia, penenang jiwa, meski anak adalah anugerah yang dikhawatirkan menjadi ujian, fitnah, bahkan musuh. Naudzubillah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan