Aku dan Pesantrenku (7): Nyantri, Lalu Mengabdi

1,222 kali dibaca

Sejak menjadi santri hingga mengabdi di Lembaga Pesantren Miftahul Huda Sumenep merupakan berkah tersendiri bagi saya. Secara pribadi saya dapat mengembangkan minat dan skill  dalam kehidupan apa saja karena kaidah-kaidah yang dikembangkan pesantren.

Hal tersebut saya rasakan ketika saya belajar di Pondok Pesantren Miftahul Huda mulai dari MI (Madrasah Ibtidaiyah) hingga lulus MA (Madrasah Aliyah) tahun 2014. Pesantren ini berada di Dusun Pangabasen Gapura Timur, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Advertisements

Yang saya rasakan, kaidah-kaidah diterapkan di pesantren menuntun saya pada nilai-nilai religiusitas, adab, tawadhu, maupun solidaritas saling berbagi selama di pesantren, dan terlebih kemandirian itu sendiri.

Perbedaan-perbedaan substansial dalam kaidah kehidupan pesantren ini sering kita jumpai di tanah air, baik dari segi moral, etika, maupun estetika. Saya selalu yakin seratus persen, bahwa kehidupan di dalam pesantren ini merupakan kekayaan bagi santri yang mesti dijaga keberadaannya. Maka kemudian yang sering tampak beda dalam kehidupan pesantren adalah kiainya selalu ikhlas, kiai-kiai pesantren sangat telaten mendidik santri, para kiai penuh kesabaran dalam memberikan stimulus aktual kepada santri.

Kaidah dan gaya pembelajaran itulah yang kemudian muncul di pesantren-pesantren hingga sebagian banyak santri baru bisa menerapkan ekspresivitas selama hidup di pondok pesantren lalu mengembangkannya di masyarakat.

Hal lain yang menjadi kekayaan tersendiri bagi santri adalah sanat keilmuan kiai-kiai pesantren yang justru lebih mengarah kepada hal-hal kebajikan. Karena, yang jelas, antara satu kiai dengan kiai yang lainnya tidak pernah bercerai-berai dalam kurung tetap satu garis.

Pada dasarnya, perjuangan almarhum Kiai Husamuddin sebagai pendiri Pesantren Miftahul Huda masih bisa dirasakan hingga kini. Ditambah dengan generasi penerus setelah beliau berpulang yang masih bisa dikatakan satu garis atau satu pemikiran dengan visi-misi pendiri pesantren. Meskipun ada banyak program yang sudah diperbaharui, justru yang paling urgen adalah menjaga kekayaan kaidah pesantren itu sendiri tanpa sedikit pun mengurangi rasa patuh kita terhadap nilai dan norma-norma adat ketimuran yang pernah Kiai Husamuddin perjuangkan dulu.

Pesantren pada umumnya, adalah tempat santri menimba kaidah-kaidah khazanah keilmuan. Seperti halnya yang dicita-citakan oleh Kiai Husamuddin dulu. Beliau merupakan pendiri Pondok pesantren Miftahul Huda atau yang lebih dikenal dengan Al-Huda yang mendapat apresiasi esensial serta dukungan penuh dari masyarakat sekitar. Hingga sampai suatu ketika beliau mampu mendirikan madrasah formal dari PAUD hingga Madrasah Aliyah berkat doa dan perjuangan yang tak pernah hilang dari jiwanya.

Banyak perjuangan yang Kiai Husamuddin lakukan semasa hidupnya. Di antaranya mendirikan pondok pesantren tempat saya dulu belajar menjadi santri. Sepulang dari perkumpulan yang beliau hadiri secara terus menerus. Berjuang habis-habisan untuk membangun lembaga formal, dicangkul sendiri, bahkan sampai larut malam beliau lakukan, kadang-kadang ditemani sebagian santrinya.

Ada hal yang tak habis pikir dari sibuknya menghadiri berdakwah dari desa ke desa lain. Pembaca bisa membayangkan bahwa jumlah hari selama seminggu dari perkumpulan yang beliau hadiri justru lebih banyak perkumpulan yang beliau ikuti. Satu malam kadang dua tempat yang beliau hadiri yang jarak tempuhnya lebih dari 10 km dengan dilalui berjalan kaki. Tapi semua itu beliau biasa lakukan dengan rasa kesabaran disertai rasa penuh tanggung jawab.

Ini tentu menjadi pembelajaran yang substansial bagi kita untuk ditiru jejak perjuangan beliau yang masih sedia memikirkan masyarakat sekitar yang rata-rata buta huruf meskipun hanya menyisakan waktunya di sela-sela kesibukannya berinteraksi melakoni dakwah sosiokultural yang beliau lakukan secara konsisten dari satu tempat ke tempat yang lain.

Sepulang Kiai Husamuddin, Pondok Pesantren Miftahul Huda diasuh oleh Almarhum KH Hanif Abdullah yang banyak meninggalkan perubahan-perubahan menarik yang selama itu juga ikut andil merintis pembangunan pendidikan formal semasa hidup Kiai Husamuddin. Hingga baru-baru ini, Pondok Pesantren Miftahul Huda diasuh oleh KH M Mukhktar (adik dari KH Hanif Abdullah).

Selama KH M Mukhtar menjadi pengasuh sudah mempunyai relasi yang begitu kuat dengan Kemnaker (Kementrian Ketenaga Kerjaan) dalam menjaga dan mengemban kepercayaan amanah yang luar biasa. Amanah ini berupa diberikan kepercayaan membangun gedung multimedia. Saya pikir ini juga menjadi tanggung jawab saya sebagai abdi pesantren untuk terus melakukan perubahan-perubahan sosial dan pendekatan-pendekatan secara emosional kepada kaum milenial di zaman 4.0 ini. Tidak hanya membangun relasi dengan Kemnaker, KH M  Mukhtar di sela-sela kesibukannya juga sama dengan Kiai Husamudin, yakni berdakwah melalui perkumpulan-perkumpulan.

Selain itu, Pondok Pesantren Miftahul Huda sudah mempunyai banyak aset. Di antaranya ada kebun kelapa, odong-odong, koperasi siswa yang tentu tetap di bawah naungan Yayasan Miftahul Huda. Ini yang saya pikir merupakan barokah murni dari pendiri. Berkat doa dan kesabaran itulah pondok pesantren masih terjaga dengan indah. Masih asri sepanjang hari.

Seperti pepatah mengatakan, “buah yang jatuh tidak akan jauh dari tangkainya,” begitu pun dengan pondok pesantren di kampung saya ini: selalu ada perubahan-perubahan yang tidak bisa dijangkau dengan akal sehat dari generasi ke generasi. Seperti halnya Fokada (Forum Komunikasi Alumnim Al-Huda) misalnya. Fokada yang saya maksud merupakan organisasi turunan pesantren yang dirintis langsung beberapa puluh tahun silam oleh dan dari banyak kalangan, baik alumni maupun keluarga besar Pondok Pesantren Miftahul Huda sendiri.

Relasi yang masih kokoh berdiri hingga kini sudah banyak menghasilkan karakter keteguhan dan kesabaran para alumni dalam membangun solidaritas tanpa batas. Fokada sendiri menyangkut tiga departemen penting, antara lain divisi pendidikan, divisi jaringan, dan divisi usaha. Fokada ini secara mandiri berjalan sesuai departemennya masing-masing. Bahkan sudah menjadi brand di benak para alumni masing-masing. Karena pada tanggal 1 Muharram setiap tahunnya melalui divisi jaringan mesti mengadakan temu alumni akbar yang harapannya (pulang ke tempat asal) serta mengingat kehidupan yang berlangsung selama di pesantren. Gampangnya seperti itu.

Tak hanya itu, keharmonisan Pesantren Miftahul Hudan dengan Fokada menjadi kekayaan yang luar bias di mata alumni. Organisasi turunan pesantren ini banyak melakukan sesuatu hal yang baru. Seperti halnya di departemen usaha, misalnya. Melalui usulan ideal dari pengasuh (KH Mukhtar), Fokada baru-baru ini mengajak seluruh alumni Al-Huda untuk mendonasikan satu pisang dengan ikon “Satu Alumni Satu Pohon Pisang,” sementara hasil dari penjualan pisang itu terlebih dahulu masuk ke Fokada, dikelola oleh Fokada, dan beberapa persen dialokasikan untuk keperluan Yayasan­ —hingga akhirnya— sedikit membatu proses keberlangsungan mutualisme pendidikan di Pesantren Miftahul Huda. Serta melalui divisi usaha bisa membuka lapangan pekerjaan para alumni terdekat dengan diberikan modal berjualan pulsa.

Ada hal lain yang saya pikir menarik untuk dibahas. Fokada melalui divisi jaringan juga melakukan koordinasi dengan alumni. Salah satunya adalah membangun perkumpulan cabang Fokada di tiap daerah masing-masing dalam skala radius desa, yakni memilih alumni menjadi ketua, sekretaris, dan bendahara koodinator daerah untuk menjadi pengurus di masing-masing desa. Pun mengadakan perkumpulan tiap minggunya.

Dari pesantren inilah eksistensi santri menjadi uswah bagi semesta. Katakanlah membangun dan memotivasi para alumni tetap menjaga solidaritas walau ada banyak alumni yang berjauhan. Tak kalah pentingnya juga di divisi pendidikan, para pengurus pusat juga ikut andil demi memajukan pembelajaran di lembaga pesantren, entah dengan cara mengadakan parenting khusus ibu-ibu PAUD misalnya, mengelola sanggar, mengadakan pelatihan kemah sastra, dan lain-lainnya yang masih berkaitan dengan dunia kependidikan.

Saya rasa, kekayaan yang sebenar-sebenarnya memang tumbuh di teras pesantren. Banyak hal-hal menarik yang tak habis dibahas selama kita belajar menempuh pendidikan di pesantren. Banyak cerita konyol yang selalu dikenang sepanjang masa. Bahkan banyak metode pembelajaran yang tak biasa didapat di dunia perkuliahan, tetapi secara tidak sadar bisa didapat dan biasa diterapkan di lembaga pesantren. Kaidah tawadhu, adab kepada guru, dan masih banyak norma lainnya yang tak bisa saya sebut satu per satu.

Multi-Page

One Reply to “Aku dan Pesantrenku (7): Nyantri, Lalu Mengabdi”

Tinggalkan Balasan