Aku dan Pesantrenku (2): Menemu Makna Istikomah

1,183 kali dibaca

Pondok Pesantren Mambaus Sholihin berada di Desa Suci, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Kalau Anda berangkat dari luar kota dan transit di surabaya, berangkatlah ke terminal antar-kota di daerah Osowilangun, lalu turun di Terminal Bunder. Dari Terminal Bunder, kalau Anda melihat pertigaan, menyeberanglah dan naik angkot warna oranye yang sedang mangkal mencari penumpang, lalu minta turun di pondok. Itulah satu-satunya angkot yang sibuk, mondar-mandir mengantarkan santri Suci ke luar wilayah pondok menuju ke arah mana saja, entah ke rumah Sakit Semen, ke Pasar Gresik, atau “kabur” ke mal-mal di Surabaya.

Meskipun paham jalan sekaligus angkot apa saja yang harus dinaiki, sejak belasan tahun lamanya di pesantren, alhamdulillah saya termasuk orang yang tidak berani kabur. Terdengar membosankan, memang, menjadi terlalu penurut dan taat peraturan. Mungkin itu yang dilihat teman seangkatan saya sejak duduk di bangku madrasah tsanawiyah karena mereka sebelumnya tidak melihat bagaimana perjalanan saya lima tahun ke belakang. Saya sudah menghabiskan masa bermain-main dan kabur sejak madrasah ibtidaiyah di pesantren, maka saya memilih serius belajar ketika duduk di bangku madrasah tsanawiyah.

Advertisements

Tahun 1998, ketika saya duduk di madrasah ibtidaiyah, pesantren putra maupun putri masih dalam tahap pembangunan lantai 2. Dan santrinya sudah terhitung sangat banyak waktu itu. Meskipun bangunan keduanya tidak terlihat dari jalan raya karena masuk gang kampung, rupanya keberadaan pesantren ini menarik hati ayah saya yang hampir setiap hari melewatinya untuk bekerja.

Saya ingat betul bagaimana ayah meyakini bahwa beberapa tahun ke depan nanti pasti pesantren ini menjadi pesantren besar dan dikenal banyak orang (dan itu terbukti). Bukan hanya karena tempatnya yang strategis, tetapi juga pandangan ayah terhadap kiainya, Kiai Masbuhin Faqih yang dikenal alim dan tawadhu. Kiai Masbuhin Faqih lulusan Pesantren Langitan dan Pesantren Gontor. Mengetahui perpaduan dari keduanya tentu sangat menggembirakan ayah kala itu, salaf sekaligus modern. Pesantren inilah yang akhirnya menjadi tempat saya menghabiskan seluruh waktu sekolah hingga lulus menuju perguruan tinggi.

Sebagai alumni, mungkin secara fisik sudah kudet alias “kurang update”, baik terkait berapa unit bangunan yang dimiliki pesantren saat ini maupun bahkan kegiatan apa saja yang berubah, diinovasi ataupun dihapuskan sama sekali. Tetapi saya percaya, perubahan secara fisik maupun jarak tidaklah berarti sama sekali bagi orang yang mencintai begitu dalam akan pesantrennya. Bahkan nanti ketika guru-guru kita sudah tiada dan kita sendiri semakin menua, gambaran kehidupan ketika di pesantren, juga nasihat bijak bestari dari guru-guru kita, tidak akan hilang, akan terus kita kenang atau bahkan nasihat itu menjelma menjadi diri kita. Entah disadari atau tidak kita sadari, ia sudah menjadi ajaran yang mendarah daging.

Karena cinta mendalam inilah saya hendak mengenang kembali dawuh kiai yang sering disampaikan di banyak kesempatan, sehingga sampai hari ini dawuhnya terus menancap di hati saya.

Dawuh kiai adalah: al-istiqomah khoirun min alfi karomah. Artinya, bahwa istikomah (melakukan sesuatu secara terus-menerus) itu lebih baik daripada seribu karomah (keistimewaan) yang dimiliki seseorang.

Dahulu saya tidak begitu menghayatinya atau bahkan biasa saja karena sangat seringnya nasihat itu disampaikan. Istikomah bagi saya, ketika itu, ya melakukan salat berjamaah sebagaimana peraturan yang sudah ditetapkan pesantren. Atau salat tahajud karena bel yang berbunyi di sepertiga malam. Atau mengikuti seluruh kegiatan mulai sekolah, kursus, muhadloroh, muhadatsah, setoran imrithi dan alfiyah, diniyah, atau setoran kitab kuning. Bagi saya semua itu sudah istikomah pol karena tidak berganti-ganti kegiatannya sepanjang tahun. Itu itu saja.

Beberapa tahun belakangan ketika saya boyong lalu melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri, kemudian lulus dan sekarang mengabdi untuk mengamalkan ilmu yang sudah saya dapatkan, saya sering memikirkan betapa sesungguhnya nasihat kiai sudah seperti keyword untuk menghadapi hidup yang tidak menentu ini.

Saya belajar memaknai bahwa istikomah ternyata bukan itu-itu saja. Bukan pula hal yang membosankan karena terus melakukan hal yang sama berulang kali. Istikomah adalah bentuk lain kesabaran itu sendiri. Istikomah adalah konsistensi tanpa batas. Istikomah adalah pantang menyerah. Istikomah adalah kegigihan. Istikomah adalah sebentuk keyakinan. Istikomah adalah pembuka jalan-jalan kebaikan meskipun kita bukan termasuk orang yang memiliki keistimewaan. Ini baru datang dari satu nasihat beliau. Masih banyak lagi yang tidak saya ingat, tetapi sesekali masih saya dengarkan lewat rekaman mp3.

Sekarang saya mungkin sudah tidak bisa mendengarkan langsung suara beliau yang lantang seraya berdiri dan duduk menyampaikan nasihat bijak bestarinya seperti dulu di hadapan ribuan santri karena usia yang sudah uzur. Saya lihat beliau selalu duduk di kursi roda yang didorong para asatiz ketika menghadiri acara-acara besar pesantren. Meski sementara secara fisik Pesantren Mambaus Sholihin semakin megah, namun kesedihan saya selalu lebih besar dari itu semua. Mambaus Sholihin bagi saya adalah segala-galanya. Saya tumbuh dan besar di dalamnya. Teringat satu Mars dengan motto pesantren “Alim, Sholeh, Kafi” yang dulu sering saya dengarkan ketika masa kanak-kanak, bunyinya begini:

Sejak kecil, kami belajar
Di pondok tercinta ini
Agar kelak, jadi orang
Yang Alim, Sholeh, dan Kafi
Ya Allah, curahkanlah rahmaMu kepada kami
Jadikanlah ilmu kami, jalan terang hidup nanti

Jangan pernah lupa mengirimkan fatihah untuk guru-guru yang telah mencurahkan ilmunya kepada kita semua. Alfatihah…

Multi-Page

2 Replies to “Aku dan Pesantrenku (2): Menemu Makna Istikomah”

Tinggalkan Balasan