Aku dan Pesantrenku (1): Mimpi Jadi Kenyataan

740 kali dibaca

Masih sangat teringat dalam benak saya, saat pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini. Ya, Pondok Annuqayah adalah pesantren yang saya impikan. Sejak masih sangat kecil, saya sudah pamer ke teman-teman kalau saya mau mondok ke Annuqayah. Di desa tempat saya numpang hidup, Annuqayah terkenal dengan nama Pondok Guluk-Guluk (Ponduk Luk-Guluk). “Setelah tamat Sekolah Dasar aku akan mondok ke Annuqayah,” demikian saya selalu pamer kepada teman-teman di sekolahku.

Dan momen itu menjadi kenyataan. Hari Rabu, entah tanggal berapa saya pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini. Ada rasa bangga yang bukan alang kepalang. Saya mencapai apa yang aku impikan: mondok di Pesantren Annuqayah yang berada di Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur. “Mimpi itu menjadi kenyataan, the dream comes true,” demikian saya berpikir saat itu.

Advertisements

Setelah prosesi penyerahan santri kepada kiai, pada saat itu Kiai A Warits Ilyas (alm), saya pun resmi menjadi santri di pesantren ini. Teman-teman yang sudah lebih dahulu menjadi santri di pondok ini menyambut dan membimbing saya dalam hal kebaruan di pesantren. Di mana tempat mandi, bagaimana cara menanak nasi (saat saya mondok hampir dipastikan semua santri memasak sendiri), kapan harus salat berjamaah, di mana tempat mandi dan mencuci pakaian, bilamana saya harus belajar, dan kebaruan-kebaruan lainnya. Lambat laun pun saya dapat beradaptasi dengan suasana pondok serta keharusan yang harus saya kerjakan.

Satu hal yang selalu terngiang dalam ingatan adalah awal-awal kali saya memasuki masjid untuk salat berjamaah. Utamanya pada salat jamaah magrib, waktu sebelum dikumandangkan azan, saat itulah zikir dan bacaan ayat Al-Quran bergema. Hingga kemudian pengalaman itu menggetarkan hati seakan ada ribuan malaikat yang sedang menggaungkan asma Tuhan. Tiba-tiba saya menitikkan air mata, haru dan pengakuan dosa berkecamuk dalam pikiran saya saat itu. Entahlah, yang sedemikian itu berjalan hingga beberapa bulan ke depan. Meskipun pada akhirnya, di kemudian hari hal itu sudah menjadi biasa dan tidak lagi menjadi sesuatu yang luar biasa.

Saya masuk pesantren dengan ilmu keagamaan yang pas-pasan. Artinya, pengetahuan terkait dengan ilmu nahu, misalnya Bahasa Arab, dan ilmu keagamaan lainnya merupakan sebuah pengetahuan kebaruan. Sehingga saya harus berusaha sekuat tenaga untuk bisa sama dengan teman-teman yang sudah lebih awal di pesantren ini. Bahkan hingga suatu waktu saya merasa putus asa untuk belajar Tata Bahasa Arab yang di awal saya masuk pesantren dirasa sangat menyulitkan.

“Yang penting Kamu pelajari dulu sedikit demi sedikit. Tidak ada ilmu yang instan, bisa dipahami dalam sekejab waktu,” demikian teman sekamar saya memberikan dorongan moril kepada saya. Dan benar adanya, lambat laun saya pun dapat mengikuti setiap pelajaran yang saya dapatkan di pondok Annuqayah tercinta ini.

Maka berbilanglah waktu, berjalan sesuai kodratnya, bertambah hari, minggu, bulan, hingga tahun. Tanpa terasa, saya telah belajar beberapa tahun lamanya. Ada banyak hal yang menjadi pengalaman di pesantren kebanggaan ini. Baik dari segi keagamaan, hubungan sosial, hingga hal-hal yang terkait dengan keilmiahan. Di pesantren ini juga pertama kali karya tulis saya dimuat di berbagai media, seperti Surabaya Pos, Majalah Amanah, dan jurnal pesantren yang bersifat lokal.

Di pesantren ini pula saya belajar bagaimana cara bersabar. Kiriman telat, misalnya, hingga saya harus berpuasa (terkait hal ini pernah saya tulis di duniasantri.co). Atau juga saat membuat karya tulis (Majalah Dinding) yang kemudian ditegur oleh pengasuh (Kiai A Warits Ilyas, alm) karena terkesan fulgar (juga dimuat dalam duniasantri.co). Dan masih banyak lagi yang lainnya terkait dengan relasi antar santri di pondok.

Ada beberapa teman dekat saya di Pesantren Annuqayah. Meskipun hakikatnya semua adalah handai tolan yang tentu saja tidak boleh saya abaikan. Mereka semua adalah sahabat yang tidak mungkin saya lupakan begitu saja. Tetapi dari sekian banyak sahabat, ada beberapa yang memiliki pengalaman lebih. Umumnya karena mereka membangun relasi organisasi. Kemudian dari organisasi tersebut membentuk majlis taklim, diskusi, ataupun kegiatan positif lainnya.

Setelah sekian tahun lamanya, kurang lebih 5 tahun lamanya saya nyantri di Pesantren Annuqayah, tibalah saatnya saya harus keluar dari almamater yang telah memberikan banyak pengalaman. Saya pulang membawa misi untuk menebar ilmu yang saya dapatkan dari pondok tercinta ini. Maka saya berjanji kepada diri sendiri untuk memelihara harkat dan martabat pesantren. Sebisa mungkin saya akan selalu berada di jalur visi pesantren itu sendiri. Menegakkan agama Allah dan selalu menjaga aklakul karimah. Karena etika merupakan hal yang paling mendasar saat kita harus berada di tengah kehidupan bermasyarakat.

Tidak semua pengalaman saya di pesantren Annuqayah dapat saya kisahkan. Namun pesantren ini telah begitu melekat di lubuk hati saya yang paling dalam. Maka ketika ada waktu dan kesempatan untuk mengaji dan mengkaji kitab di Annuqayah, sebisa mungkin saya menyempatkan diri. Sekadar untuk silaturrahmi, membangun ikatan batin dengan pesantren yang telah membentuk karakter saya sebagaimana saat ini. Sebenarnya tidak cukup hanya ungkapan terima kasih. Tetapi Annuqayah adalah pesantren keabadian yang tidak mengharap balas jasa. Menjaga nilai kharisma pesantren merupakan sesuatu yang diharapkan oleh pesantren Annuqayah ini.

Semuga nilai ukhuwah, bentuk ikatan batin, serta upaya membangun hubungan jiwa dengan pesantren tercinta ini, dapat menjadi motivasi untuk selalu menjadi yang terbaik dan bermanfaat di tengah masyarakat. Harapan ini adalah pengingat bagi saya pribadi untuk selalu sejalan dan sejalur dengan visi dan misi Annuqayah. Semoga! Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan