Akhir Hayat Dukun Santet

4,431 kali dibaca

Sepagi itu warga kampung Sono Laut telah dikejutkan oleh suara aneh, seperti erangan orang kesakitan. Suara itu melengking panjang dan mengerikan. Terdengar hingga ke sudut-sudut desa, menabrak tebing-tebing bukit, dan bergema hingga ke lembah-lembah jauh di pelosok desa. Suara teriakan itu membangunkan warga yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Anak-anak kecil pun ketakutan. Tatkala kicau burung bersahutan dari ujung dahan pepohonan, banyak orang yang keluar rumah. Mereka saling melempar tanya pada tetangga atau sanak saudara. Desa yang berdiri di atas bukit dan lereng-lereng lembah itu pun ramai. Tak hanya di emperan-emperan rumah, mereka membicarakan lengkingan itu di manapun mereka berada. Pasar, warung, sawah, ladang, lereng-lereng bukit, bahkan di tengah jalan berlumpur sekalipun tak luput menjadi tempat bergunjing.

“Kau dengar suara teriakan subuh buta tadi, Jo?” tanya Surjan sembari menuntun kerbaunya. Lelaki itu sedang berjalan menuju sungai guna memandikan kerbau-kerbau piaraannya. Kemarin dia mendapat orderan untuk membajak sawah Mbah Yem, maka ia ingin memperlihatkan kebersihan kerbaunya sebelum terjun ke sawah.
Joroso yang sedang berjalan memanggul cangkul di belakang Surjan kemudian menimpali, “Itu suara Mbah Darso yang mengerang kesakitan, dukun sakti itu kini tengah mendekati ajal,” ucap Joroso sembari mengembuskan asap rokok. Kepulan-kepulan asap pun membubung di udara, menguarkan bau tembakau yang khas hingga ke pematang-pematang sawah.

Advertisements

“Jadi, Mbah Darso memang jatuh sakit?”

“Begitulah, kemarin aku sempat menengok ke rumahnya,” Joroso menimpali.

“Kamu datang ke rumah dukun santet itu? Kamu sering datang ke rumahnya?” dengus kakak kandung Joroso itu sambil melangkah. Hampir saja dia tergelincir di jalanan berlumpur bercampur tai kerbau miliknya. Sepertinya kerbau-kerbau itu sedang mencret. Hampir sepanjang jalan mereka terus mengeluarkan tai, membuat jalan menuju kali yang berlumpur itu semakin becek.

“Sepanjang dia tidak berbuat jahat padaku, aku tidak ingin berbuat jahat padanya,” Joroso berucap tegas. Mereka terus melangkah menapaki jalanan licin dan berlumpur.

Kerbau gemuk-gemuk milik Surjan itu mengingatkan Joroso pada dua ekor kerbau piaraannya yang telah mati. Sedianya, kerbau itu akan digunakan untuk membiayai sekolah anaknya. Sayang, beberapa bulan yang lalu tiba-tiba kerbau itu mati dalam keadaan perut mengembung. Padahal, seharusnya dia dapat banyak rezeki dari membajak di musim hujan seperti ini. Setelah kerbau Joroso mati, pembajakan sawah warga Sono Laut dimonopoli oleh sudara tuanya itu.

“Hati-hati dalam melangkah, Kang! Nanti bisa-bisa kamu mandi tai kebo kalau jatuh!” Joroso mengingatkan.
Surjan memang baru saja tergelincir tai kebo, tapi tidak sampai jatuh.

“Gara-gara mengumpat Mbah Darso, tai kebo pun nyaris bikin celaka!” Surjan mendengus, wajahnya bersungut-sungut.

“Yang bikin celaka atau bahagia bukan Mbah Darso, Kang. Tengok saja, bahkan dia tak mampu menolak sakit yang kini mendera tubuhnya,” ucap Joroso. Lelaki berbadan tegap itu terus mengayunkan langkah menuju sepetak sawah warisan orang tuanya di seberang sungai.

“Nanti kalau sawahmu sudah waktunya dibajak, kamu pakai kerbauku saja, Jo,” Surjan menawarkan bantuan pada adiknya, mengalihkan topik pembicaraan.

“Makasih Kang. Entah nanti atau besok, aku akan selesai mencangkuli, tidak perlu dibajak,” jawab Joroso. Dalam hati sebenarnya dia ingin sekali menerima tawaran itu. Jika dibajak maka tenaganya tidak akan terkuras untuk mengayunkan cangkul sampai berhari-hari. Tapi dia merasa tidak enak pada kakaknya itu, utang untuk pembelian pupuk musim padi sebelumnya belum juga ia lunasi. Tak ingin ia menambahinya dengan utang balas budi. Joroso juga merasa tidak enak karena dulu pernah menjual tanah milik orang tuanya untuk modal usaha yang ternyata berujung kegagalan.

“Kamu itu masih muda, anakmu masih kecil juga. Mbokyo dijaga tenaganya, jangan terlalu ngoyo,” Surjan berpetuah. Joroso menyimak nasihat kakaknya itu tanpa menimpali.
Kedua adik-kakak itu melanjutkan perjalanan dalam diam. Dan Joroso terus berandai-andai. Jika saja kerbau miliknya tidak mati, dia pasti mendapat banyak penghasilan dari membajak sawah. Dia hirup rokoknya kuat-kuat untuk melepas kegelisahan. Tak dinyana, asap rokok itu menyerobot hidung Surjan. Terbatuk-batuklah ia.

“Awas Kang!” pekik Joroso tiba-tiba.

Dan telanjur. Batuk yang mendera Surjan membuat kakinya limbung tatkala menjejak lumpur. Maka terjatuhlah dia bermandikan tai kerbau yang berbaur dengan lumpur becek.

Joroso menahan tawa, takut kuwalat. Dia hendak menolong kakaknya, tapi melihat kerbau mencret itu lari berjingkrak lepas dari sang tuan, Joroso segera mengejarnya. Rupanya bapak satu anak itu cukup lihai menangkap kerbau. Sekejap saja sudah dia tangkap kembali binatang itu. Lalu diikatnya pada pohon jambu yang tumbuh rindang di tepi kali. Dua ekor kerbau lainnya mengikuti anteng di sekitar betina liar yang kini terikat erat.

Sementara itu Surjan yang tubuhnya berlumur tai kerbau akhirnya menceburkan diri ke dalam sungai. Aliran sungai yang sedianya agak jernih kini berubah coklat kehitam-hitaman oleh karena tai kerbau yang menempel di tubuhnya telah memburai. Joroso menyeringai sambil menggeleng-gelengkan kepala di tepian sungai melihat kelakuan kakaknya.

Dan Joroso pun melanjutkan perjalanan menuju sawahnya. Dia melihat ada keramaian di depan sana. Kenduri petik padi, gumamnya lirih. Ia menyeberang kali. Kenduri itu memang berada di rute menuju sawahnya. Ia terus melangkah. Beberapa orang memanggilnya untuk turut serta doa petik padi itu. Kebetulan sekali dia belum sarapan. Istrinya tadi mengeluhkan bumbu masak habis. Daripada bingung diomeli istri, dia cepat-cepat berangkat ke sawah. Dan lidahnya bergoyang melihat ada berbagai jenis penganan di situ. Joroso melangkah mendekati kerumunan dengan semangat.

“Nah, ini ada Joroso yang dekat rumah Mbah Dukun Darso. Apa benar tadi pagi itu suara teriakannya?” tanya Solikin memulai gosip seusai kenduri.

“Iya,” jawab Joroso pendek.

“Tadi pagi dia muntah paku, apa iya Jo?” tanya seseorang yang lain.

“Iya,” lagi-lagi Joroso menjawab pendek.

“Nah, itu paku yang pernah dikirimnya untuk menyantet orang. Mungkin itu santet yang pernah ia kirimkan pada Mbah Dul dulu itu. Tak salah lagi,” tukas yang lain.

“Semua yang pernah dikirimnya untuk membunuh orang akan dimuntahkan. Sampai dia mati nanti.”

“Dia bisa saja mati sebelum memuntahkan kiriman santetnya jika mau memberitahu kelemahannya pada orang lain. Sayangnya dia masih ingin hidup seribu tahun lagi!”

“Seandainya Mbah Darso mati, padahal belum semua kiriman santetnya dimuntahkan, apa yang akan terjadi?” tanya seseorang.

“Kiriman santet itu akan kembali pada para pemakai jasa santetnya!” timpal yang lain.

Suara-suara itu terus bersahutan hingga matahari mulai menyengat punggung mereka. Kenduri yang diakhiri dengan acara ngerumpi itu pun usai. Bapak-bapak petani itu kemudian semburat menuju sawah masing-masing. Dan percakapan di sawah itu membuat pikiran Joroso tak tenang. Dia berpikiran macam-macam. Siapa saja yang pernah memakai jasa santet Mbah Darso?

Malam hari ketika Joroso hendak tidur tiba-tiba rumahnya diketuk orang. Ia kemudian membukakan pintu. Seorang nenek-nenek tua berdiri di depan pintu, sedang di tangan kanannya ada sebilah tongkat yang menopang tubuh bungkuknya. Tak lain, dia adalah Mbah Sekar, istri Mbah Darso. Joroso memicingkan mata demi melihat keanehan itu. Jarang sekali dia melihat perempuan tua itu bepergian, apalagi bertandang ke rumahnya. Maka pikirannya dipenuhi penasaran.

“Jo, tolonglah Mbah Darso. Dia sudah tak mampu lagi menahankan rasa sakitnya. Carikan debu kuburan di perbatasan desa itu untuk membuang jimat penangkal kematian Mbahmu. Tolonglah dia untuk segera mengakhiri penderitaannya.

Dia sudah merindukan kematian. Akan kuberi kau imbalan nanti jika sudah mendapatkan debu itu. Tubuhku sudah tak mampu lagi berjalan dengan jarak sejauh itu,” pinta Mbah Sekar dengan suara menggeletar.

“Satu lagi,” ucap Mbah Sekar. “Jangan ceritakan ini pada siapa pun.”

Tubuh Joroso menggigil. Ingin dia mengusir nenek tua itu, tapi pikirannya berkelebat. Dia akan mendapat imbalan, dan itu akan membuat dapurnya kembali mengepul. Selain itu, jika Mbah Darso bisa mati, maka dia tidak akan terganggu lagi dengan jeritan-jeritan mengerikan itu. Apalagi ada ancaman itu. Maka berangkatlah ia dengan berpenerangan korek api di malam yang gulita menuju kuburan. Tak ada senter di rumahnya. Dan setelah memberikan debu kuburan itu pada Mbah Sekar ia cepat-cepat pulang. Tak tahan dia mendengar erangan kesakitan orang yang dikenal sebagai dukun santet itu.

Dan benar saja ucapan Mbah Sekar. Selang beberapa saat kemudian Mbah Darso mengembuskan napas terakhir, dalam kondisi mengenaskan. Berbagai benda muntahan yang mengerikan berada di depan mayat itu. Entah bagaimana caranya Mbah Sekar mengakhiri nyawa suaminya dengan debu itu. Joroso tak mau tahu. Yang ia tahu hanya imbalan, dan cukuplah beberapa lembar uang itu menyenangkan hatinya. Yang jelas, Mbah Sekar sendirilah yang telah melepaskan susuk yang bercokol dalam tubuh tukang santet itu. Kematian itu membawa kebahagiaan pada warga karena mereka tak akan terganggu lagi oleh lolongan suara mengerikan. Mereka juga merasa akan aman dari santet!

Namun, tak berselang hari, kampung Sono Laut dihebohkan kembali oleh kejadian aneh. Dan kali ini tak kalah mengerikan dari peristiwa yang terjadi pada Mbah Darso. Adalah Surjan yang mengalami kejadian mengerikan itu. Sepulangnya dari mengantar jenazah Mbah Darso, dia mengeluhkan pusing dan sakit perut. Malamnya, suatu keganjilan terjadi. Mulutnya tak berhenti memuntahkan tai kerbau. Pemilik tiga ekor kerbau itu terus memuntahkan tai piaraannya.

Berita itu sampai juga ke telinga Joroso. Mengingat kata-kata orang-orang di sawah beberapa hari yang lalu dahinya lantas mengernyit, alis matanya bertaut. Ada geram dan perasaan suram yang mengeram dalam dadanya.

Wava Husada, 29 Juni 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan