Akhir Cerita Vika dan Kakaknya

2,002 kali dibaca

Umi melihat jam dinding yang menunjukan pukul 6.15, kedua anaknya telah memakai seragam untuk bersiap ke sekolah. Namun, Ahdan yang telah duduk di meja makan hanya memainkan sendok. Melihat anaknya sibuk bermain sendok dan tak segera makan, ia segera mengambilkan nasi untuk Ahdan.

“Ini sarapanmu, Kak.”

Advertisements

“Mengapa ibu selalu mengambilkan nasi untuk kakak. Aku tak pernah diambilkan nasi oleh Ibu,” protes Vika. Ia iri kepada kakaknya yang selalu diperhatikan ibunya.

Umi hanya diam. Ia tidak ingin pagi-pagi berdebat mengenai perlakuan yang tidak sama terhadap kedua anaknya itu.

“Ibu ini selalu membedakan aku dan kakak.”

Umi sebenarnya sudah capek mengatakan kepada Vika tentang alasan yang berulang kali ia katakan. Umi menyadari, Vika memang masih kelas III, sehingga wajar egonya masih kuat.

“Kakakmu itu istimewa, Dik. Ia tidak memiliki kecerdasan sepertimu.”

“Mesti alasan yang sama. Sampai kapan kakak akan seperti itu?”

“Aku tidak tahu, Dik. Ini kan sudah siang. Kalau kakak tidak segera kuambilkan sarapan, kalian berdua akan telat.”

***

Kini Vika sudah Kelas XII SMA. Vika tumbuh menjadi remaja yang jelita. Ia juga menjadi salah satu siswi yang kemampuan akademiknya di atas rata-rata. Ini berbanding terbalik dengan Ahdan. Semenjak kedua orang tuanya meninggal karena bencana longsor di Ngetos, Ahdan putus sekolah. Ia harus menggantikan peran orangtua sebagai tulang punggung keluarga. Masih beruntung Ahdan, karena orang tuanya mewariskan resep membuat martabak dan terang bulan.

Orang tuanya sadar bahwa down syndrome yang dialami Ahdan tidak bisa disembuhkan. Mereka hanya bisa melakukan hal yang terbaik untuknya dengan membekali keterampilan yang sesuai bakatnya.

“Laris, Dan, jualanmu?” tanya Takim, tukang kebun SMA Kertosono.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan