Ahmadiyah dan Problematikanya di Indonesia (1)

868 kali dibaca

Sekali lagi, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan peristiwa (persekusi) pada komunitas minoritas. Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh pro-kontra pada komunitas Baha’i, pasca Menteri Agama RI memberikan ucapan dan apresiasi kepada komunitas penganut agama Baha’i.

Beberapa hari lalu, ada peristiwa persekusi terhadap komunitas Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat. Sejumlah massa merusak sebuah masjid Ahmadiyah setelah salat Jumat (3/08/2021). Saking banyaknya massa dan meluap-luapnya emosi, aparat di tempat tidak mampu membendung, lantas massa merusak masjid, bahkan sampai ada aksi pembakaran.

Advertisements

Eksistensi komunitas Ahmadiyah memang tidak bisa dilepaskan dari pro dan kontra, bahkan dalam pengamatan awam penulis, eskalasinya lebih tinggi dan panas dibanding pro dan kontra terhadap komunitas Baha’i. Hal ini setidaknya karena Ahmadiyah berada di dekat atau di dalam pagar Islam, sedangkan Baha’i memiliki jarak yang jauh dengan pagar Islam.

Berangkat dari hal tersebut, termasuk adanya peristiwa beberapa hari lalu, kelompok mayoritas muslim ramai-ramai membicarakan dan menyoal perihal Ahmadiyah. Peristiwa persekusi dan perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, secara tegas menunjukkan betapa kuat arogansi “oknum” mayoritas di sekitar sana terhadap umat Ahmadiyah dan prasarana ibadahnya.

Pembicaraan dan penyoalan terhadap Ahmadiyah tentu erat kaitanya dengan Islam yang dipahami oleh Ahmadiyah. Mengingat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberi label bahwa Ahmadiyah adalah kelompok sesat dan menyesatkan. Tidak bisa dinafikan, di beberapa tempat dan peristiwa yang sudah-sudah, kehadiran Ahmadiyah (jemaat) selalu mengalami penolakan yang keras, tak jarang juga, berimplikasi pada kehidupan sehari-hari jemaat Ahmadiyah. Hal ini karena masyarakat merasa kehadiran Ahmadiyah di daerahnya bisa membawa prahara keberagamaan (berangkat dari pemahaman Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan).

Eksistensi Ahmadiyah sendiri setidaknya sudah diikat dengan regulai Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri), bertanda tangan Menteri Agama RI, Menteri Dalam Negeri RI, dan Jaksa Agung RI. Subtansi dari SKB 3 Menteri tersebut secara tegas “membatasi pergerakan Ahmadiyah” dan wewenang penindakan oleh aparat, bukan oleh masyarakat. Sehingga dengan demikian, peristiwa yang terjadi di Sintang, Kalimantan Barat, sungguh sangat disayangkan. Sebab, jika pun Ahmadiyah dianggap melewati batas pagar Islam atau menyalahi, mereka yang melakukan persekusi dan perusakan pun tidak membawa ke arah yang lebih baik, malah sebaliknya, memperburuk situasi dan kondisi yang ada.

Sejarah Ahmadiyah

Ahmadiyah sendiri adalah salah satu kelompok dalam Islam yang lahir di Qadian, Punjab, India. Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (MGA) pada tahun 1889 setelah mengaku bahwa dirinya telah menerima ilham dari Allah. Kelahiran Ahmadiyah sendiri sarat akan motivasi perjuangan dan pembaruan Islam di India waktu itu, merespons kolonisasi Inggris yang menguasai daratan India. Kemudian, Ahmadiyah mulai mendapat simpati dari umat muslim di India, karena pada waktu itu Ahmadiyah adalah satu-satunya kelompk Islam yang ada di India.
Pada 1891, MGA menyatakan dirinya sebagai al-Masih, karena nabi Isa yang dipercaya umat Islam di angkat Allah ke langit telah wafat, dan Allah menunjuk dirinya (MGA) menggantikan nabi Isa sebagai al-Masih al-Mau’ud  (al Masih yang dijanjikan).

Dari pengakuannya tersebut sebenarnya sudah banyak yang janggal pada Ahmadiyah waktu itu. Namun, pergerakan Ahmadiyah masih mulus-mulus saja. Pada tahun 1905, dibentuklah kantor pusat Ahmadiyah di Qadian, dengan MGA sebagai pemimpin tertinggi, dan seseorang yang alim bernama Maulana Muhammad Ali sebagai sekretaris. Tiga tahun setelahnya, tepatnya 1908, MGA meninggal dunia di Lahore, namun dimakamkan di Qadian.

Estafet kepemimpinan Ahmadiyah dilanjutkan oleh Maulana Nuruddin, dan di masa ini perpecahan mulai membesar. Puncaknya ketika Maulana Muhammad Ali memutuskan keluar dari (kantor pusat) Ahmadiyah di Qadian. Di mana, Maulana Muhammad Ali tidak sependapat dengan pemahaman yang harus mengimani MGA sebagai Nabi (al-Masih), yang oleh Maulana Nuruddin juga harus diimani. Tahun 1914, Maulana Muhammad Ali meninggalkan Qadian menuju Lahore. Lantas mendirikan Ahmadiyah pusat sendiri yang dianggapnya masih murni, dengan dirinya sebagai pemimpin tertinggi.

Inilah sejarah singkat perpecahan Ahmadiyah, yang hari ini kita kenal dengan dua faksi, Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore.

Ahmadiyah di Indonesia

Ahmadiyah masuk ke Indonesia sebenarnya adalah “buah tangan” yang dibawa oleh tiga pelajar Thawalib, Sumatra Barat. Mulanya ada tiga pelajar yang merantau ke India untuk menimba ilmu di lingkungan Ahmadiyah. Lantas keberangkatan tersebut disusul oleh puluhan pemuda Thawalib yang lain (belum menemukan informasi pasti kapan keberangkatan pelajar Thawalib). Pada tahun 1925, beberapa pelajar yang sudah menimba ilmu di Ahmadiyah, India, kembali ke Sumatra. Pada tahun 1926, Ahmadiyah sudah memiliki basis di Padang, dan mulai menyebarkan ajaran Ahmadiyah.

Kehadiranya pun sedari awal menuai respons keras dari berbagai pihak. Kendati, Ahmadiyah baru ditawarkan di tengah-tengah umat yang awam, beberapa ulama dan tokoh sudah mengetahui sisi-sisi Ahmadiyah, baik faksi Qadian maupun Lahore dari kabar berita di Semenanjung Malaya.

Pada September 1933, diakanlah debat terbuka membahas Ahmadiyah, tepatnya di Gang Kenari, Salemba, Jakarta Pusat (saat ini). Debat terbuka tersebut di antaranya dihadiri oleh Persatuan Islam (PERSIS) dan Al Irsyad. Hasilnya, Ahmadiyah semakin eksis dikenal oleh umat. Pada masa setelah kemerdekaan, Ahmadiyah tidak mengalami hambatan yang seberapa.

Di masa Orde Baru-lah yang menjadi puncak legitimasi Ahmadiyah. Di mana, pada tahun 1953, Ahmadiyah memiliki badan hukum dengan dikeluarkanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953 (sekarang Kementerian Hukum dan HAM RI) dengan legal nama lembaga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kemudian pada tahun 1966, Departemen Agama RI (sekarang Kementerian Agama RI) mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan JAI terdaftar sebagai ormas dengan Nomor TP:-574/6/1966. Hal ini menunjukkan, meskipun pada tahun 1960-70an, Orde Baru mulai “keras” pada berbagai entitas yang dianggapnya “menganggu”, nyatanya Ahmadiyah masih melenggang waktu itu.

Hambatan kepada Ahmadiyah baru dirasakan pada tahun 1980. Saat itu, MUI dalam Musyawarah Nasional II yang diselenggarakan di Jakarta memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok sesat dan menyesatkan. Sejak saat itu persoalan dan persekusi mulai dihadapi oleh JAI. Masjid-masjid Ahmadiyah mulai banyak yang diserang, bahkan dihancurkan oleh massa, termasuk serangan fisik pada jemaat.

Pada tahun 1990-an, JAI sudah mengalami kembang kempis dengan berbagai persekusi kepadanya. Hal ini kembali mereda atau “sedikit kondusif” pada priode Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur dengan tegas membela hak-hak minoritas, seperti apa yang dilakukanya pada minoritas Baha’i. Sikap pembelaan Gus Dur ini berlanjut sampai beliau wafat, dalam artian tetap membela hak-hak Ahmadiyah.

Sedikit mengulik sikap dunia internasional, komunitas Islam internasional menolak dengan tegas juga menganggap Ahmadiyah keluar dari Islam. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada 1985, tentang aliran Qadiyaniyah dan Lahoriyah (Ahmadiyah Qadian dan Lahore).

إنّ ما ادّعاه ميرزا غلام أحمد من النّبوّاة والّرسالة ونزول الوحيد عليه إنكار صريح لما ثبت من الدّين بالضّرورة ثبوتا قطعيّا يقينيّا من ختم الّرسالة والنّبوّة بسيّدنا محمّد صلّى اللّه عليه وآله وسلم؛ وأنًه لاينزل وحي على أحد بعده وهده الدّعوى من ميرزا غلام أحمد تخعله وسائر من يوافقونه عليها مرتدّين خارجين عن الإسلام.

“Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam.”

Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), yang juga lulusan Fakultas Ushuluddin Al Azhar, Zuhaeri Misrawi dalam bukunya, Ahmadiyah Menggugat, mencatat pertentangan pada JAI masif pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di mana, tingginya eskalasi persekusi dan perusakan, diawali di basis dan prasarana Ahmadiyah di Parung, Bogor. Lantas berlanjut ke daerah-daerah yang lain. Di momen tersebut pula MUI menegaskan kembali fatwa sesat pada Ahmadiyah (setelah fatwa tahun 1980). Hal tersebut tertuang dalam Fatwa Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang Aliran Ahmadiyah.

Kemudian pada tahun 2008, dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama 3 Menteri mengenai JAI. Nomor keputusan tersebut tercatat: Menteri Agama RI Nomor: 3 Tahun 2008, Jaksa Agung RI Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor: 199 Tahun 2008. SKB 3 Menteri tersebut memuat tujuh keputusan yang subtansinya “membatasi pergerakan JAI, segala pihak diminta mengedepankan kerukunan beragama dan ketentraman kehidupan bermasyarakat, jikapun ada yang melanggar hukum, maka akan disanksi sesuai perundang-undangan.”

Dalam rentang antara tahun 2005-2008, persekusi pada JAI masih berlanjut, tetapi eskalasinya tidak sampai membumbung tinggi. Termasuk dalam rentang tersebut, MUI terus berupaya mendorong pemerintah untuk mengambil sikap perihal JAI. Akhirnya dikeluarkanlah SKB 3 Menteri tersebut.

Adapaun, setelah dikeluarkanya SKB 3 Menteri, beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mulai menegaskan kembali dengan perda, pergub, maupun perwali mengenai JAI di daerah masing-masing, yang subtansinya membatasi dan mengikat pergerakan JAI.

Sebagai catatan, JAI sendiri pernah membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2018. JAI mengajukan gugatan tentang frasa penodaan agama pada pasal 1, 2, dan 3 UU Nomor 1/PNPS/1965, karena UU tersebut adalah dasar hukum dari SKB 3 Menteri yang seringkali dijadikan dalih untuk menutup rumah ibadah Ahmadiyah. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh MK. Alhasil, SKB tersebut masih aktif hingga hari ini. JAI sendiri tersebar di berbagai wilayah, seperti Sumatra, seluruhh provinsi di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan NTT.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan