Adigang, Adigung, Ora Guna

4,169 kali dibaca

Dari Serat Wulangrèh, sejak dulu orang Jawa mengenal ungkapan yang masih juga popular hingga saat ini: adigang, adigung, adiguna. Rupanya, ungkapan tersebut memang tertulis dalam Serat Wulangrèh, karya sastra yang digubah oleh Sunan Pakubuwana IV, yang berkuasa atas Kerajaan Surakarta periode 1768-1820 M. Diperkirakan, Serat Wulangrèh selesai ditulis pada tahun 1735 Jawa atau 1808 Masehi.

Karya sastra para pujangga memang seperti nujum. Mungkin tak logis, tapi titis. Misalnya, ungkapan adigang, adigung, adiguna itu menggambarkan bahwa betapa kesombongan adalah ibu kandung dari kehancuran. Dan itulah yang terjadi —setidaknya yang akan terjadi.

Advertisements

Dalam Serat Wulangrèh, frasa itu terdapat dalam pupuh atau kanto ke-3, bait ke-4. Begini bunyinya:

Ana pocapanipun,
adiguna adigang adigung,
pan adigang kidang
adigung pan esthi,
adiguna ula iku,
telu pisan mati sampyoh.

(Ada perumpamaannya,
adiguna adigang adigung,
adigang itu kijang,
adigung itu gajah,
adiguna ular itu,
ketiganya mati bersama).

Pada bait-bait berikutnya, sang pujangga memberi penjelasan. Ketiga hewan itu menyombongkan diri dengan apa yang dimiliki. Si kijang sombong akan kelincahannya. Si gajah sombong akan kebesaran badannya. Si ular sombong akan gigitan dan bisanya. Tak ada penjelasan logisnya, memang, tapi baris terakhir dari bait itu menegaskan bahwa pada akhirnya semua, ketiganya, mati bersama.

Masih ada penjelasan lagi pada bait-bait berikutnya dari sang pujangga, tapi lebih pada karakter kesombongan. Adigang, misalnya, sang kijang, digambarkan sebagai yang suka mengumpat-umpat atau menghina-hina; seperti tafsir atas kepandaiannya melompat-lompat. Adigung, digambarkan sebagai karakter yang mengandalkan kebesaran dirinya, terutama karena asal-usul keturunannya; anak raja, misalnya. Adiguna digambarkan sebagai karakter yang menyombong ilmu dan kepandaian yang dimilikinya; tak ada orang lain yang lebih pintar dan lebih benar dari dirinya.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan