Adigang, Adigung, Ora Guna

4,086 kali dibaca

Dari Serat Wulangrèh, sejak dulu orang Jawa mengenal ungkapan yang masih juga popular hingga saat ini: adigang, adigung, adiguna. Rupanya, ungkapan tersebut memang tertulis dalam Serat Wulangrèh, karya sastra yang digubah oleh Sunan Pakubuwana IV, yang berkuasa atas Kerajaan Surakarta periode 1768-1820 M. Diperkirakan, Serat Wulangrèh selesai ditulis pada tahun 1735 Jawa atau 1808 Masehi.

Karya sastra para pujangga memang seperti nujum. Mungkin tak logis, tapi titis. Misalnya, ungkapan adigang, adigung, adiguna itu menggambarkan bahwa betapa kesombongan adalah ibu kandung dari kehancuran. Dan itulah yang terjadi —setidaknya yang akan terjadi.

Advertisements

Dalam Serat Wulangrèh, frasa itu terdapat dalam pupuh atau kanto ke-3, bait ke-4. Begini bunyinya:

Ana pocapanipun,
adiguna adigang adigung,
pan adigang kidang
adigung pan esthi,
adiguna ula iku,
telu pisan mati sampyoh.

(Ada perumpamaannya,
adiguna adigang adigung,
adigang itu kijang,
adigung itu gajah,
adiguna ular itu,
ketiganya mati bersama).

Pada bait-bait berikutnya, sang pujangga memberi penjelasan. Ketiga hewan itu menyombongkan diri dengan apa yang dimiliki. Si kijang sombong akan kelincahannya. Si gajah sombong akan kebesaran badannya. Si ular sombong akan gigitan dan bisanya. Tak ada penjelasan logisnya, memang, tapi baris terakhir dari bait itu menegaskan bahwa pada akhirnya semua, ketiganya, mati bersama.

Masih ada penjelasan lagi pada bait-bait berikutnya dari sang pujangga, tapi lebih pada karakter kesombongan. Adigang, misalnya, sang kijang, digambarkan sebagai yang suka mengumpat-umpat atau menghina-hina; seperti tafsir atas kepandaiannya melompat-lompat. Adigung, digambarkan sebagai karakter yang mengandalkan kebesaran dirinya, terutama karena asal-usul keturunannya; anak raja, misalnya. Adiguna digambarkan sebagai karakter yang menyombong ilmu dan kepandaian yang dimilikinya; tak ada orang lain yang lebih pintar dan lebih benar dari dirinya.

Frasa dari Serat Wulangrèh ini akhirnya menjadi semacam pengingat bagi masyarakat Jawa bahwa manusia jangan sampai menjadi adigang, adigung, adiguna atau dalam bahasa kekinian sombong, congkak, angkuh.

Adigang, adigung, adiguna bisa muncul karena merasa memiliki kekuatan (dan kekuasaan) baik yang bersumber dari jabatan maupun massa pendukung. Atau merasa diri besar karena asal-usul keturunannya. Atau merasa diri hebat karena keilmuan yang dimiliki.

Serat Wulangrèh telah mengingatkan bahwa adigang, adigung, adiguna adalah karakter yang tak ada manfaatnya, ora guna. Itu hanya akan mengantarkan pada kerusakan antar-sesama, kematian bersama.

Dengan “nujum” Serat Wulangrèh seperti itu, tak ada gunanya juga orang memberi respons, apalagi dengan respons yang sama, terhadap sikap adigang, adigung, adiguna yang dipertontonkan oleh orang —seperti yang terjadi hari-hari ini. Tak ada gunanya kesombongan dibalas dengan kesombongan, kecongkakan dibalas dengan kecongakan, dan keangkuhan di balas dengan keangkuhan.

Piwulang dari Serat Wulangrèh mengisyaratkan bahwa kesombongan akan menggiring seseorang pada tubir jurang kehancuran —kita tinggal menontonnya…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan