ACT dan Keserakahan Manusia Berjubah Agama

652 kali dibaca

Logo ACT memang seringkali saya temui di pinggir-pinggir jalan dan media sosial tentang beragam ajakan aksi kemanusiaan, terlebih untuk isu-isu kemanusiaan seperti Palestina. Jujur harus saya akui bahwa saya memang jarang mengikuti aksi kemanusiaan atau kini dikenal dengan open donation, aksi cepat tanggap, bantu sesama, dan lain sebagainya lewat organisasi Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Kalaupun saya dan kawan-kawan saya ingin mengadakan aksi kemanusiaan, lebih baik saya salurkan lewat lembaga Nahdlatul Ulama (NU), seperti NU Care-LazisNU karena saya memang warga NU secara kultural. Di satu sisi, kita mempunya BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang memang milik negara, atau mungkin LazisMU yang dimiliki oleh Ormas Muhammadiyyah. Lha, mengapa harus ACT sih?

Advertisements

Track record tentang organisasi ACT ini dapat pembaca yang budiman ketahui lewat sumber-sumber lain maupun dari website resmi ACT sendiri. Sebagai penulis, mungkin artikel ini akan berisi topik bahasan dalam konteks kritikikan maupun pertanyaan mengapa dulu harus lewat ACT. Tentunya artikel ini bukan sebab-akibat ingin menjustifikasi bahwa ACT adalah organisasi abal-abal atau semacamnya. Isi artikel ini penulis harap menjadi bahan diskusi dan kajian bersama.

Prahara ACT

Ada seloroh atau tagline yang cukup tenar dari ACT sendiri: “di mana ada bencana, di situ ada ACT.” Terdengar menarik bukan? Tagline ini menjadi semacam diksi agar ACT dapat dikenali oleh khalayak ramai. Di satu sisi tentunya kita tidak melupakan aksi-aksi kemanusiaan ACT ini.

Kasus atas prahara yang menimpa ACT telah menyita perhatian publik dan kini sedang ditangani penegak hukum. Hal ini setelah bagaimana pengelolaan keuangan di ACT dibongkar oleh Majalah  Tempo. Berdasarkan pemberitaan Tempo, ada dugaan penyelewengan dana umat yang mencapai ratusan miliar rupiah yang dilakukan pengelola ACT.

Konon, pendiri dan pengurus ACT Ahyudin pernah memperoleh gaji Rp 250 juta per bulan plus fasilitas kendaraan mewah seperti Pajero Sport, Toyota Alphard, dan lain sebagainya. Itu baru bosnya. Pengurus di bawahnya juga memperoleh gaji ratusan juta rupiah per bulan. Sebuah angka yang sangat besar bukan? Miris melihat tingkah para pejabat tingginya yang telah diduga kuat menyelewengkan dana yang sedemikian besarnya bersumber dari para donator perorangan ataupun kelompok macam perusahaan seperti Boeing.

Keadilan di Akhirat

Semua indikasi atas penyelewengan dana kemanusiaan ini haruslah terus dikawal dan dikaji lebih dalam. Sejatinya, dana ACT adalah dana dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tapi kita seringkali ramai dengan audit keuangan oleh BPK atau yang dikenal dengan WTP “Wajar Tanpa Pengecualian”, namun kita lupa dengan audit yang akan dilakukan oleh Tuhan.

Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, Abu Hurairah RA meriwayatkan: “Tatkala kami menakhlukkan Khaibar, kami tidak mendapatkan harta rampasan perang berupa emas dan perak. Kami hanya mendapatkan sapi, unta, barang-barang peralatan, dan kebun kurma. Kemudian kami bersama Rasulullah berangkat menuju Wadi Qura (lembah sebelum kota Madinah). Rasulullah memiliki seorang budak bernama Mid’am yang dihadiahkan Bani Dhabab. Setibanya di lembah, budak tersebut menambatkan unta Nabi SAW, sekonyong-konyong sebuah anak panah melesat menuju Mid’am. la pun mati terkena anak panah.”

Para sahabat berkata, “Selamat, ia mati sebagai syahid”. Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: “Demi Yang jiwaku di Tangan-Nya, sesungguhnya jubah (yang dia sembunyikan) dari rampasan Perang Khaibar sebelum dibagi telah menjelma menjadi nyala api yang sedang membakarnya.”

Seorang laki-laki lain yang mendengar sabda Nabi  SAW tadi datang membawa tali terompah hasil rampasan perang yang disembunyikannya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ini harta yang aku gelapkan!. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tali terompah, atau dua tali terompah, berasal dari neraka!” (muttafaq alaih).

Dari hadis tersebut dapat kita simpulkan bersama, bahwa menggunakan harta yang sebagian adalah hak orang lain adalah haram hukumnya. Selain mendapatkan dosa besar karena ada indikasi penyelewengan atas harta yang harusnya diberikan ke yang lebih membutuhkan, maka hukuman yang setimpal-timpalnya hanyalah di akhirat.

Mungkin hukuman di dunia hanya sebatas penjara dan denda. Akan tetapi, di samping itu, sanksi sosial juga lebih berat tentunya. Namun, juga perlu diingat akan semua itu bisa saja dapat dihindari dengan beragam hal seperti, melarikan diri ke luar negeri. Namun tentunya tak bisa lari dari setiap hukuman Tuhan kelak.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan