Dalam satu dekade terakhir, begitu masif isu-isu yang menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan persekusi kepada umat Islam. Negara dianggap tidak lagi memberi ruang aman kepada umat Muslim. Lebih-lebih, hal itu lalu dibenturkan dengan fakta sejarah bahwa umat Islam adalah penyumbang saham terbesar dalam kemerdekaan Indonesia. Kok, sekarang malah mendapat persekusi?
Setelah ditelusuri, data yang diungkap oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa massifnya isu-isu di atas berkelindan dengan ruang gerak organisasi-organisasi Islam garis keras yang semakin banyak menyasar masyarakat. Ormas-ormas seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dengan jumlah pengikut yang kian banyak, kerap memainkan propaganda kepada masyarakat agar agenda mereka untuk mendirikan Negara Islam atau khilafah di Indonesia tercapai.
Begitu pula ketika ada pihak-pihak yang menghadang gerakan mereka, seringkali difitnah telah melecehkan Islam, mendriskriminasi Islam, dan lain sebagainya.
Walau HTI dan FPI secara legal-formal sudah dibubarkan oleh pemerintah, namun mereka masih punya jaringan bawah tanah yang, tentu saja, bergerak secara diam-diam tanpa publik tahu siapa aktor utamanya.
Dalam melakukan aksinya ke masyarakat luas, para pemuja khilafah akan memainkan propaganda dengan melemparkan isu-isu pembedaan yang tegas antara Islam dengan Indonesia. Misalnya dengan menganggap bahwa Islam adalah jalan yang paling benar, agama yang lurus, serta menjadi pedoman yang suci bagi manusia. Sebaliknya, Indonesia adalah negara buatan manusia, sifatnya profan, dan jauh dari nilai-nilai suci yang diusung Islam.
Pada akhirnya, para pengasong khilafah akan memberikan dua pilihan kepada masyarakat yang menjadi target dakwahnya, “Lebih baik pilih mana antara Islam dengan Indonesia?” Jelas tentu masyarakat awam akan memilih Islam. Sebab, dua hal itu jauh beda, Islam lebih bernilai sakral. Jika mereka sudah yakin untuk lebih mengutamakan Islam ketimbang Indonesia, tugas selanjutnya hanya menawarkan khilafah.