2TAHUN DUNIASANTRI (7): MEMBUKA KESADARAN BARU

830 kali dibaca

Mulanya saya mengikuti toko buku Cak Tarno di Instagram. Tidak ada motivasi lain selain beberapa koleksi buku yang sepertinya sulit ditemukan di toko buku serupa. Sampai pada suatu ketika, toko buku itu tutup dan beberapa koleksi buku yang agak lanka mulai diunggah di akun pribadi Si Pemilik Toko.

Tiba-tiba, muncul unggahan bahwa telah dibuka sebuah platform kepenulisan bertema kesantrian di akun tersebut. “Apa bedanya dengan platform-platform kepenulisan islami lain? Apakah platform-platform kepenulisan islami yang telah ada tidak cukup?” batin saya ketika melihat unggahan berjudul “Undangan Menulis” di duniasantri.co.

Advertisements

Akhir-akhir ini memang semangat keislaman tengah bergairah, yang kemudian diikuti oleh meningginya kebutuhan konsumsi agama. Situs-situs keislaman pun bersemarak. Tapi, memang perlu diakui bahwa jumlah platform yang diampu oleh kalangan santri masih tergolong terbelakang, khususnya dari segi pengaruh, jika dibanding dengan platform keislaman lain yang diampu oleh kalangan Islam non-santri.

Penelusuruan yang saya lakukan menemukan, ternyata platform kepenulisan islami yang satu ini menekankan aspek jurnalistik warga pesantren. Beberapa platform kepenulisan islami sejenis memang kurang memberi perhatian terhadap posisi jurnalistik warga pesantren. Sebagian besar dari mereka lebih menekankan kolom opini dan telaah teks-teks agama. Biasanya dilatarbelakangi oleh semangat persaingan ideologis antar-golongan.

Hal lain yang saya temukan dari hasil penelusuran adalah, duniasantri.co diampu oleh santri-santri lingkaran UI, baik pembina maupun pengurusnya. Tokoh budaya Zastrow Al-Ngatawi, ilmuan Bisri Effendy, dan seterusnya ada di belakang panggung. Pengurus-pengurus depan panggung, sebagian di antaranya berasal dari lingkaran Abdurrahman Wahid Center UI.

Kombinasi antara orientasi produk tulisan dan formasi pengurus menjadikan duniasantri.co punya kelebihan ketika menyajikan konten tulisan. Produk jurnalistik warga biasanya bercorak netral karena bentuknya yang mirip cerita. Dengan kata lain, duniasantri.co secara tidak langsung bisa menjadi “ensiklopedi” atas peristiwa-peristiwa kepesantrenan dan kesantrian yang sangat partikular, yang mungkin tak terekam oleh platform islami lain.

Formasi pengurus yang berasal dari lingkungan ilmiah dapat memperjernih produk-produk jurnalistik warga di duniasantri.co. Di beberapa platform lain, proses editorial kadang kurang diperhatikan. Para “penjaga gawang” biasanya terpikat oleh potensi pengunjung yang mungkin diperoleh ketika menggunakan judul ataupun tulisan yang sensasional. Kadang tolok ukurnya pun hanya sebatas penguatan ideologi, karena tidak semua dari mereka terbiasa dengan tradisi ilmiah yang mengedepankan disiplin verifikasi dan kejernihan.

Ada perasaan tertantang atas hasil-hasil penelusuran di atas sampai saya memutuskan untuk ikut menulis. Selama ini, saya dibesarkan oleh kegiatan-kegiatan menulis yang “garing” seperti laporan kegiatan ataupun tugas kampus. Jurnalistik warga atau opini yang berbahasa jernih dan inklusif, adalah dua hal yang sama sekali asing bagi saya.

Bebannya terletak pada kewajiban dalam menyesuaikan antara tema tulisan dan target pembaca. Kadang satu tema tertentu menuntut digunakannya istilah-istilah melangit yang hanya ramah bagi segelintir orang. Sementara, di lain sisi, ada tuntutan berupa mengubahnya menjadi cerita dan uraian yang jernih dan ramah bagi semua orang. Menulis di duniasantri.co ternyata membuka kesadaran baru bagi saya.

Saat baru berdiri, duniasantri.co pernah mengadakan pelatihan penulisan. Saya lupa kapan, namun yang saya ingat waktu itu saya terlambat masuk Zoom, dan Pak Alfian tengah memaparkan materi tentang penulisan etnografi. Bagi bukan orang antropologi seperti saya, saat itu seketika terbayang, bagaimana caranya menciptakan tulisan deskriptif namun tetap memuat pola yang bernuansa?

Awalnya saya menganggap bahwa tulisan yang bagus hanya bisa diramu dengan konsep dan literatur yang memadai. Tapi sejak pelatihan itu, ternyata tulisan yang bagus juga bisa tercipta dengan bahan baku yang sederhana: sensitivitas dalam mengenali pola di lingkungan sekitar, dan semangat untuk bercerita. Bagi proses penulisan jurnalistik warga, hal yang disampaikan Pak Alfian sangat membantu.

Sementara itu, atmosfer yang sepenuhnya berbeda sangat terasa ketika menulis opini. Sering kali dalam proses menulis, penulis harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Di antara rangkaian-rangkaian kalimat, ada keraguan, bantahan, gugatan ide, dan tawaran-tawaran opsi kalimat lanjutan. Dalam proses inilah kadang kita terdampar di wawasan baru atas pikiran ataupun bacaan yang pernah kita baca, yang sering kali tak terduga.

Akan tetapi, apa pun jenis tulisannya dan pengalamannya, hal terpenting adalah niat untuk berbagi cerita. Di era Internet, di mana umur sebuah informasi sering kali hanya 24 jam atau bahkan mungkin hanya 30 detik, niat menulis untuk keabadian menjadi tak tergapai. Jadi, dibawa santai saja. Anggaplah keberadaan platform seperti duniasantri.co adalah wahana untuk menjelajahi dan mendebat diri sendiri. Kalau untuk gagah-gagahan, nanti kemrungsung.

Multi-Page

2 Replies to “2TAHUN DUNIASANTRI (7): MEMBUKA KESADARAN BARU”

Tinggalkan Balasan