Zahri yang Menyebalkan

2,059 kali dibaca

Dasar menyebalkan! Apa maksudnya mempermainkanku dengan kata-katanya. Aku tahu, memang banyak kata yang tak bisa dipegang di dunia ini. Tapi tak harus begini juga bukan? Memang menyebalkan kamu Zahri!

“Kamu sudah lama di sini?”

Advertisements

Baru beberapa hari di pondok, pemuda itu sudah mengajak kenalan seorang gadis, terlebih lagi abdi dalem sepertiku. Padahal, kakang-kakang pondok yang sudah lama pun biasanya masih punya sungkan untuk menyapa para pembantu kiai di sini.

Itulah awal pertama kami bertemu, dan cepat saja aku memalingkan wajah dengan alis tertumpu di tengah. Namun, setelah beberapa langkah aku mendengar dia mengucapkan sesuatu.

“Dasar merepotkan,” katanya, dengan sedikit bibir tersungging ke atas.

Setelah pertemuan itu kami tak lagi bertatap muka. Meski mungkin di lain kesempatan, karena sekolah kami masih membaur antara muda-mudi. Hanya ketika pengajian kitab dan lainnya saja kegiatan terpisah. Itu tak menghilangkan kesempatan kami bertemu, meski tipis kemungkinannya. Sudah beberapa minggu sampai berganti bulan. Aku berpikir mungkin dia tak betah dengan pesantren ini. Aturannya cukup ketat bagi orang luar yang tak mengerti sama sekali dunia pesantren.

Kehidupan kembali normal. Dengan kesibukan di dalem kiai bersama beberapa santri putri lain. Biasanya aku yang memegang kendali dapur. Karena, para santri lain tak ada yang berani bertanya tentang menu yang diinginkan dalem. Pada akhirnya hanya aku yang dijadikan tumbal kawan-kawan. Dasar menyebalkan.

“Pssstt, Aisy, Aisy.”

“Hmm, ada apa?”

“Nanti mau ke dalem tanya menu?” Syira berbisik di sampingku.

“Iya, kenapa?”

“Aku ikut ya,” matanya berbinar.

Namun, tampaknya percakapan kami tak bisa berlangsung lama. Suara kami ditingkahi kegaduhan anak-anak lain yang juga sedang membersihkan dapur dan kamar belakang.

“Aaaaa, Syira mau curang nih!” Ghiza yang sedang mengepel di dekat kami berteriak. Di antara anak-anak lain, dia memang yang paling heboh jika ingin ikut ke dalem. Tak berapa lama kesunyian pecah, santri lain mulai mendekat dan heboh. Tak lama lagi aku akan jadi tali tambang mereka. Lihat saja.

Sebelum kedua tanganku melar karena tingkah kekanakan mereka, aku akhirnya melepas tanganku dengan paksa. Menyeret salah satu adik baru yang ikut di ndalem. Dia sedang mencuci piring. Lalu aku mengajaknya dengan sedikit paksa dan dia ikut saja. Kami bahkan belum membereskan urusan dapur.

Di ruang tamu, Gus Bah sedang asik bermain laptopnya. Ini adalah satu-satunya alasan mengapa para abdi putri yang lain selalu merengek ikut ke ndalem. Hanya untuk bisa menatap paras tampannya. Beliau memang hobi bermain desain. Itu pula yang membuatnya kuliah jauh-jauh ke luar daerah. Meskipun saat ini, selama beberapa bulan beliau sudah di rumah karena pandemi.

“Assalamualaikum, Gus. Ini saya mau tanya menu untuk nanti sore.”

“Oh Aisy, iya kayak kemarin saja. Abah sama Ibu ke luar kota kok. Jadi gak usah banyak-banyak masaknya.”

Deeggg…

Senyum manisnya itu membuat dadaku sedikit kacau. Aku akhirnya meminta pamit untuk kembali ke dapur. Namun belum lagi membalikkan badan, ada orang yang tiba-tiba muncul dari tirai ruang tengah.

“Bro, ini mau ditaruh mana Box-nya?”

“Oh taruh aja di pojok kamar. Sebelah meja belajar itu loh.”

“Ah, Dasar merepotkan.” Suara itu jelas aku kenal, begitu juga dengan kalimatnya. Yang membuatku kaget adalah ucapan itu ditujukan kepada Gus Bah. Bahkan seluruh pondok juga tahu. Bila Gus Bah tak berkenan dengan seorang santri, beliau akan langsung mengusirnya. Apa pun alasannya.

Memang menyebalkan anak itu. Tak ada sopan santun. Dia memperlakukan junjungan semua orang di pondok layaknya teman sendiri. Dan terlebih lagi, kata-kata “Dasar merepotkan” miliknya diserapahkan pada tiap orang. Tak terkecuali pada junjungan kami!

Pagi ini Kiai akan pulang. Ada instruksi untuk membuat jamuan makan. Para santri sudah beranjak menyibukkan diri. Kerja bakti, bersih-bersih musala, menghias pagar, menyiapkan makanan. Tak lama ada pengantar air ke dapur, banyak sekali. Hampir belasan jerigen besar. Dan tak ada laki-laki seorang pun untuk mengangkatnya. Tak mungkin para santriwati ini kuat meski bersatu.

“Heh, kamu Zuhri! Cepetan bantuin ini angkat ke dapur!” Untungnya pemuda menyebalkan itu lewat. Sepertinya dia dari Gus Bah lagi.

“Dasar merepotkan!” kalimatnya singkat dan padat, juga tajam menusuk hati.

Dia hanya berkata seperti itu lalu pergi. Aku geram bukan kepalang. Arrrggh, kenapa Gus Bah tidak menendangnya saja dari pondok. Aku bingung sendiri karena air-air ini untuk kebutuhan mencuci piring dan juga menyuguhkan minum untuk para tamu Abah Kiai. Ibu Nyai datang dengan sedikit geram ke dapur. Karena kopi dan teh belum juga disuguhkan.

“Tadi airnya habis Bu, dan tidak ada yang bisa mengangkut jerigen ke dapur.” Semua abdi ndalem hanya diam. aku menjawab agar mereka tak lagi terkena “dawuh” dari bu Nyai.

“Tadi ada satu akang, tapi dia menolak untuk membantu.” Kupikir ini kesempatan untuk mengadukan anak menyebalkan itu. Ya, ini waktu yang pas.

“Siapa, biar dia boyong setelah ini juga!”

“Itu, Za…Zahri, Nyai,” aku bahkan tak akan berani menatap mata bu Nyai ketika marah. Abah sekalipun akan tunduk pada saat itu.

Namun ekspresi Bu Nyai tampak tak karuan. Seperti ingin marah tapi tak jadi. Beliau diam sejenak. Lalu meredam marahnya.

“Coba kamu kembali ke dapur, cepat sajikan minumnya setelah ini.”

Hah, bukannya aku bilang jelas tadi. Kenapa jadi begini? Aku bergumam sepanjang lorong tengah sampai dapur. Tak kusangka ada Gus Bah di belakang. Ia tengah mengambil segelas air.

“Ah, maaf Gus. biar saya ambilkan.” Namun dia menahan dengan isyarat tangan.

“Kamu, tadi dimarahi ya?” Beliau mengatakan itu dengan tersenyum. Sedikit mengesalkan tapi manis sekali. Aduh, salah tingkah kan jadinya.

“Zahri tadi bilang padaku. Kalau dia akan diadukan agar kena marah. Aku pikir tadi dia mengigau. Tapi ternyata betul. Hi-hi-hi…”

Aku hanya tertunduk malu. Tapi aku sudah tak tahan. Diawali permintaan maaf terlebih dahulu, aku menyampaikan kekesalanku terhadap Zahri kepada Gus Bah. Namun dia hanya terkekeh.

“Zahri itu punya prinsip ‘Langit tak perlu bilang kalau dirinya tinggi’.” Dan alisku hanya terkumpul di tengah dahi ketika mendengar kata-kata itu.

“Ikhlas tak perlu diucap untuk menuai bukti.” Lalu Gus Bah pergi ke depan dengan segelas air putih di tangannya.

Saat kulihat ke belakang, belasan jerigen itu sudah tertumpuk rapi dengan isi yang kosong. Telah di pindahkan isinya ke tandon masak dan cuci piring. Tapi oleh siapa? Tak mungkin anak itu. Dasar menyebalkan, beraninya dia mempermainkanku dengan kata-katanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan