Yasinan

1,404 kali dibaca

Nek Halimah datang paling awal di antara jemaah lainnya. Jalannya melambat memasuki pelataran musala, bersebab kakinya yang reumatik bertahun-tahun. Ia hendak mengikuti yasinan—kegiatan rutin setiap malam Jumat di kampungnya. Baju gamis Nek Halimah tampak beberapa bagian yang ditambal.

Nek Halimah tidak peduli. Allah tidak memandang bagus tidaknya pakaian yang dikenakan hamba-Nya. Yang dilihat adalah kesungguhan untuk belajar dan beribadah kepada-Nya, demikian kira-kira ujaran Ustaz Amar yang selalu melekat dalam ingatan Nek Halimah.

Advertisements

Usianya sudah sepuh. Tinggal di atas bukit tanpa ada tetangga di kanan kirinya. Rumah menyendiri terpencil, seolah ia orang terasing. Kendati demikian, Nek Halimah tidak pernah alpa mengikuti kegiatan yasinan, meski harus menuruni bukit terjal malam-malam.

Kegiatan yasinan yang digelar rutin setiap malam Jumat baru berjalan sekitar satu tahun. Digagas oleh Ustaz Amar, seorang alumni pondok pesantren yang kini mengabdi di salah satu madrasah di kecamatan. Ustaz Amar membuat jadwal kegiatan yasinan selepas salat Magrib untuk kaum Adam, sementara untuk kaum Hawa dilaksanakan bakda Isya.

“Sudah bisa kita mulai?” tanya Darsih—imam Yasin sekaligus istri Ustaz Amar.

“Sudah …,” jemaah yasinan menjawab serempak.

Pukul delapan yasinan dimulai. Jemaah yang semuanya perempuan memegang kitabnya masing-masing. Suara jemaah tersebut menggema sampai luar musala. Jangkrik turut berderik menyelang di tengah riuhnya lantunan ayat suci.

Nek Halimah menyipitkan mata. Penerangan di musala sudah cukup terang. Namun, karena matanya lamur, huruf-huruf di buku Yasin terasa buram semua. Ditambah Nek Halimah juga keteteran mengikuti bacaan jemaah lain.

Kepalanya mendongak. Berpaling menyapu seluruh wajah yang hadir malam itu. Tatapannya menukik pada Darsih. Hanya sebentar, lalu kembali pada buku Yasin-nya. Tiba-tiba Nek Halimah menambah volume suara. Bahkan, pekikan suaranya paling menonjol di antara yang lain.

Jarum jam belum membentuk sudut siku-siku sempurna, sedang Darsih sudah mengakhiri kegiatan malam itu dengan doa. Nek Halimah melirik jam dinding yang terpampang di salah satu dinding musala. Empat puluh lima menit telah berlalu, namun terasa sangat cepat baginya. Suasana hening sesaat. Jemaah saling melempar pandang. Hingga sebuah kalimat membelah sunyi.

“Kalau baca jangan keras-keras. Jangan melebihi suara imam Yasin. Suara keras malah membuat konsentrasi yang lain jadi ambyar,” Sumi menyampaikan pendapat.

Tidak butuh waktu untuk menentukan kepada siapa kalimat itu ditujukan, Nek Halimah langsung menyambar, “Hei, aku begitu karena kalian bacanya terlalu cepat. Kalian tahu ‘kan mataku ini sudah buram. Aku baru sampai yaasiin, begitu kalian sudah baca tanziilal ‘aziizir rahiim, sakit mataku ini. Napasku juga ngos-ngosan kalau mengejar bacaan kalian,” Nek Halimah takmau kalah.

Beberapa jemaah berkasak-kusuk. Nek Halimah selonjoran sambil memijat kakinya yang ngilu ketika hendak ditekuk. Ia tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Toh dirinya hanya menyampaikan pendapat.

“Aku ini tidak pernah makan bangku sekolah macam kalian. Seingatku guru ngajiku dulu hanya mengajari nun mati bertemu alif, selebihnya aku tak ingat lagi,” lanjutnya kemudian. Suaranya dalam dan tegas.

Jemaah yasinan di kampung tersebut terdiri dari berbagai usia, beragam tingkat pengetahuan, dan bermacam kebiasaan mengaji. Sebagian yang masih muda dan fasih membaca Al-Qur’an akan membaca pelan dengan memperhatikan makhraj tajwidnya. Mereka yang suka membaca cepat, akan segera menyelesaikan bacaannya. Sementara Nek Halimah golongan yang suka membaca pelan, karena ia masih belajar memahami makhraj tajwid.

“Lebih baik dikurangi kecepatannya. Karena ini bukan balapan untuk menentukan siapa yang selesai duluan. Tetapi, bagaimana kita dapat meresapi jalinan ayat demi ayat, baik yang bermakna lahir maupun batin, lalu diamalkan apa yang terkandung di dalamnya,” seorang perempuan muda turut berargumen. Ucapnya teduh penuh saran.

Darsih menghela napas berat. Diembuskan kasar serupa sapi mendengus. Merasa disudutkan, dirinya ikut angkat bicara.

“Saya tidak sedang memimpin lomba lari. Tapi, mbok ya dilihat keadaannya. Kegiatan ini diadakan malam hari. Kalau siang kita semua sibuk di ladang masing-masing. Pastinya ada yang capek atau ada pekerjaan lain yang belum diselesaikan. Membaca cepat juga menghindari agar kita semua tidak pulang ke rumah masing-masing sampai larut malam.”

Hening. Nek Halimah bergemuruh dadanya. Ia membuka mulut, hendak bersuara, tetapi lidahnya kelu. Tidak ada jawaban satu pun. Sumi mengangguk-angguk. Perempuan muda tertunduk takzim. Tidak ada yang berani menentang Darsih. Ucapannya serupa sabda. Siapa pun akan tunduk padanya. Entah, barangkali karena ia istri Ustaz Amar, orang-orang jadi segan padanya.

Darsih menjamu para jemaah dengan beberapa jenis penganan. Nek Halimah tak makan apa pun. Masih kesal batinnya. Beberapa kali ditawari, Nek Halimah hanya sekali menyesap teh yang sudah dingin.

Malam Jumat berikutnya, kegiatan yasinan tetap berjalan. Ibu-ibu duduk bersimpuh membuat lingkaran dan bersiap membuka kitabnya masing-masing. Kali ini Nek Halimah tidak hanya membawa kitab dan tongkat yang biasa digunakan untuk membantunya berjalan. Dirinya juga membawa kacamata minus yang dibeli usai menjual sekarung gabah. Dengan begitu, dirinya dapat membaca tulisan dengan jelas tanpa takut tertinggal, harapnya.

“Audzubillahi minasyaitani rajiim. Bismillahir rahmanir rahiim ….”

“Aamiin.”

“Yaasiin. Wal Qur’aanil hakiim ….” Jemaah mengikuti imam Yasin.

“Litundzira qaumam maa undzira abaa uhum fahum ghaafiluun.” Sepersekian detik kemudian.

Nek Halimah membereskan kitabnya. Kacamata dilepas, dilipat lagi, lalu dimasukkan ke dalam kotak. Ia mengangkat rok gamisnya lalu terdoyok-doyok menuju pintu keluar. Mencari-cari sendal tidak ketemu, ia mengumpat, lantas memakai sekenanya—entah milik siapa. Nek Halimah berjalan pulang dengan langkah gegas. Malam Jumat kali ini ia meneruskan yasinan di rumahnya, sendirian.

Pacitan, Januari 2022.

Multi-Page

One Reply to “Yasinan”

  1. Ping-balik: Yasinan - FinKafi

Tinggalkan Balasan