Yang Memperjuangkan Kesetaraan Gender Melalui Tafsir

1,195 kali dibaca

Isu-isu tentang gender terus marak menjadi topik perdebatan hangat. Lahirnya kaum feminis atas budaya patriarki yang berkembang di masa klasik membuat para pejuang kesetaraan gender mulai menyuarakan gagasannya. Dari negara Mesir, misalnya, muncul seorang tokoh perempuan yang aktif dalam hal memperjuangkan kesetaraan gender tersebut. Ia bernama Zaynab al-Ghazālī.

Zaynab lahir di Desa Mayeet Yaisy, Mayeet Ghumar, daerah al-Daqiliyyah, Buhairah, Mesir. Ia lahir pada tanggal 2 Januari 1917 M. Ia memiliki nama lengkap Zaynab Muḥammad al-Ghazālī al-Jubaylī. Namun, ayahnya sering memanggilnya dengan panggilan Nusaybah (Nusaybah binti Ka’ab al-Maziniyyah al-Anṣāriyyah, sahabat Nabi yang terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya saat ikut berjuang bersama Nabi dalam Perang Uhud).

Advertisements

Ayahnya yang bernama Muḥammad al-Ghazālī al-Jubaylī memiliki jalur nasab sampai kepada Khalifah ‘Umar ibn Khaṭṭāb Raḍiya Allāhu ‘Anhu. Sedangkan, dari jalur ibunya, nasab Zaynab sampai kepada Sayyidinā Ḥasan ibn ‘Alī Raḍiya Allāhu ‘Anhu.

Zaynab memulai berbagai studi keilmuannya di kampung kelahirannya dan ikut mengaji di al-Azhar. Meskipun, sempat mendapatkan larangan untuk mengikuti pengajian di al-Azhar oleh kakak pertamanya, Zaynab masih beruntung karena kakak keduanya yang bernama Ali masih mendukung kegiatan studinya. Bahkan ia diberikan beberapa buku karya ‘Aisyah al-Taymuri untuk dipelajari.

Ia juga diketahui masuk salah satu sekolah khusus perempuan ketika umurnya masih 12 tahun. Beberapa orang yang tercatat menjadi guru Zaynab dari al-Azhar diantaranya, Syaykh ‘Alī Maḥfūẓ, Syaykh Muḥammad Sulaymān al-Najjār, dan Syaykh al-Majīd al-Labbān. Berkat pengajian yang diikutinya, Zaynab berhasil menggabungkan dua sistem keilmuan, yakni modern dan tradisional berdasarkan talaqqī dari guru-guru tersebut.

Ilmu yang ia terima dari berbagai tempat itu mengantarkan Zaynab menjadi wanita yang cerdas dan aktif. Terbukti, ketika Zaynab sudah menjadi anggota Persatuan Wanita Mesir saat usianya masih remaja.

Ia juga pernah didaftarkan menjadi peserta perwakilan pelajar ke Perancis oleh ketua organisasinya yang bernama Huda Sya’rawī. Ia juga seorang pembicara handal dan aktif menulis artikel. Beberapa tulisannya termuat dalam berbagai penerbitan, seperti Majalah Dakwah dan Majalah Akhawāt Muslimah.

Setelah keluar dari Organisasi Persatuan Wanita Mesir, Zaynab tetap melanjutkan kiprahnyya berorganisasi dengan mendirikan Sayyidah Jamā’ah Muslimāt pada tahun 1937. Organisasi ini dianggap sebagai organisasi pertama yang berisi para perempuan. Capaian ini ia peroleh di umur 20 tahun.

Mesir yang menjadi tempat tinggal Zaynab adalah suatu negara yang sebagian besar daratannya berupa gurun pasir tak berpenghuni dengan Islam sebagai agama mayoritas yang dianut. pada tahun 1920 hingga sekitar tahun 1950 masih mengalami pendiskriminasian terhadap wanita.

Negara ini tercatat menjadi salah satu negara Timur Tengah dengan tingkat kesetaraan perempuan yang rendah. Dari total 145 negara, Mesir masuk posisi ke -136 dengan kategori tersebut. Kemudian dalam hal gender gap di hal partisipasi dan kesempatan ekonomi menempati ranking ke-135, dalam hal kesetaraan pendidikan menempati ranking ke-115, dan dalam hal pemberdayaan politik perempuan menempati posisi ke-136.

Keadaan sosial Mesir yang seperti itu menggugah jiwa aktivis Zaynab untuk dapat memperjuangkan hak kerja wanita. Selain berjuang dengan mendirikan Sayyidah Jamā’ah Muslimāt dan mengikuti Persatuan Wanita Mesir, Zaynab juga aktif dalam organisasi Ikhwanul Muslimin.

Beberapa hal yang terjadi di Mesir, seperti kudeta militer, koflik antar militer, serta terjadinya konfrontasi terbuka antara kelompok militer dengan kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin menjadikan organisasi ini dibekukan dan para anggotanya ditangkap.

Sebagian juga ada yang dipenjara bahkan dihukum mati, bahkan para aktivis Islam, secara umum, mendapatkan serangan dari para penentangnya yang dimotori oleh pemerintah yang diktator. Mereka mengepung dari berbagai arah.

Tak jarang keputusan yang diambil untuk para aktivis Islam ini hanya didasarkan pada dugaan. Muslim yang taat mereka beri tekanan yang berat, para pemikir dan pemimpin agama Islam dihukum gantung, para pemilik ghīrah dalam agama dimasukkan penjara, bahkan mereka menyebar pembunuh di berbagai tempat yang telah menjadi sasaran. Sehingga suasana yang tergambar pada saat itu terasa mencekam.

Zaynab yang saat itu ikut merasakan dinginnya sel penjara dengan berbagai ketitakadilan yang terjadi, mulai menulis sebuah catatan, yang menjadi penglipur lara dan teman khalwatnya. Catatan tersebut ditulis di atas lembaran-lembaran mushaf Al-Qur`an yang diletakkan di tepi lembaran mushaf ataupun diantara baris ayat.

Namun, sebelum sempat diselesaikan, catatan tersebut telah terlebih dahulu dirampas. Baru setelah dibebaskan dari penjara dan mulai menyampaikan dakwah, Zaynab mulai mencatat kembali pemahaman yang ia dapatkan dari Al-Qur`an di sela-sela kesibukannya tersebut hingga berhasil menjadi sebuah kitab tafsir.

Kitab ini selesai dikarang oleh Zaynab pada awal tahun 1990-an. Ia dapat menghasilkan dua jilid tafsir, di mana jilid yang pertama berisi tafsir surah al-Fātiḥah hingga surah Ibrāhīm dan jilid kedua dimulai dari surah al-Ḥijr hingga al-Nās. Sebelum dicetak, tafsir ini diteliti dan diberi kata pengantar oleh ‘Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, seorang guru besar Universitas al-Azhar, Kairo yang menerbitkan kitab al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī.

Kitab tafsir ini, yang disinyalir mengandung isu-isu gender, tidak menjadikan Zaynab menafsirkannya seliberal kamu feminis lain, melainkan memberi porsi yang seimbang antara peran laki-laki dan perempuan. Dalam artian, Zaynab tidak melakukan penyimpangan dengan memihak pada salah satu kecondongan gendernya, yakni perempuan.

Salah satu contoh kesetaraan gender yang dibahas dalam tafsirnya, terdapat dalam ayat 34 dari surah al-Nisā` mengenai kepemimpinan laki-laki. Zaynab memaparkan tentang adanya keputusan Allah untuk menjadikan laki-laki sebagai seorang pemimpin, dalam arti seorang laki-laki memiliki hak untuk memimpin. Namun, hal tersebut juga tidak menafikan bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi pemimpin, yakni pemimpin rumah tangga dalam hal pengelolaan kemaslahatan.

Hal ini membuktikan bahwa, walaupun Zaynab seorang tokoh feminis, namun ia mampu menggiring pembahasan tafsir ayat berbau patriarki menjadi ayat yang berbasis kesetaraan gender dengan tetap memperhatikan batasan-batasan setiap gender tersebut. Tidak  mengunggulkan salah satu, maupun menjatuhkan yang lain.

Sikap seperti ini patut untuk dicontoh. Sekukuh apapun kita mempercayai suatu keyakinan, kita harus tetap memperhatikan kemungkinan yang lain, karena sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah-tengah atau dapat dikatakan seimbang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan